Dahlan Iskan : Gading Wulan

Wulan Gading

Dahlan Iskan

disway.id
Ahad 251222

INI bukan cerita bagi para penggila kuliner. Tidak usah dibaca. Ini khusus bagi jenis orang yang seperti ini: memuliakan tubuh dengan cara yang mulia.

Dia seorang dokter. Spesialis patologi klinis. Namanyi: Wulan. Sudah menjelajah daerah yang paling dihindari seorang dokter baru: Papua. Bukan Jayapura, tapi Wamena. Bukan di Wamena tapi di Kurima. Bahkan bukan di Kurimanya, tapi lebih dalam lagi: di Puskesmas Angguruk.

Pokoknya pedalamannya pedalaman Jayawijaya, Papua Tengah. Itu jauh sekali dari Wamena yang jauh itu. Masih harus naik pesawat kecil 45 menit lagi.

Dari sana Wulan pindah ke daerah yang juga tidak diharapkan siapa pun: pulau Rote di NTT.

Tapi Wulan menjalani semua itu dengan bahagia. Begitu tahu akan ditempatkan di Papua, Wulan minta sekalian lokasi yang tersulit dari yang paling sulit.

Tiga tahun Wulan di pedalaman Kurima. Hanya sekali pulang pulang ke Kediri. Saking jauhnya.

Dari Kurima, Wulan masih ke daerah terpencil lainnya: di pulau Rote. Dua tahun lagi di sini.

Pilihan hidup Wulan awalnya ingin jadi arsitek. Sedang ibunyi sangat berharap Wulan jadi dokter.

Wulan anak nomor 9 dari 10 bersaudara. Banyak kakaknya yang sakit-sakitan. Dari situlah keinginan sang ibu lahir. Wulan harus jadi dokter.

“Saya lupakan arsitektur. Saatnya saya menunjukkan bakti ke ibu,” ujar Wulan.

Wulan lulus tes di Universitas Brawijaya, Malang. Tidak terlalu jauh dari ibunyi di Kediri.

Setelah kembali dari Rote, Wulan mengambil spesialis patologi. Juga di UB Malang. Di kota Arema itu pula Wulan mendapat jodoh: dokter spesialis bedah jantung vaskuler.

Tapi bukan itu yang akan diceritakan hari ini. Itu tidak penting bagi pembaca yang suka durian. Tidak penting pula bagi yang suka makan Soto Banjar. Bakso Krian. Sate Tegal. Tengkleng Solo. Apalagi Nasi Kapau.

Wulan sendiri akhirnya menjalani hidup yang sebenarnya tidak dia inginkan: KetoFastosis. Yang awalnya begitu berat.

Semua itu demi kakak nomor 8. Yang hanya beda umur 1,5 tahun. Masih seperti sebaya. Seperti teman sepermainan. “Saya memang sayang sekali ke kakak nomor 8 itu,” ujar Wulan.

Sang kakak sakit. Kanker pita suara. Awalnya suara sang kakak hanya berubah. Serak. Kian serak. Lalu suara itu hilang sama sekali.

Wulan sedih.

Sang kakak sendirian. Tidak mau kawin. Tidak ada yang merawat. Maka Wulan ingin merawatnya. Apalagi dia juga seorang dokter.

Dalam perjalanan Wulan jadi dokter dulu, kakaknyi yang menemani sang ibu. Pun ketika Wulan bertugas bertahun-tahun di wilayah nun jauh. Sampai sang kakak tidak kawin.

“Kakak saya tidak mau kawin dengan alasan sayang ibu dan harus merawat ibu,” ujar Wulan mengutip pengakuan sang kakak.

Begitu parah kanker pita suara itu. Lalu muncul jaringan-jaringan tumor. Mengumpal sebesar bola pingpong. Sampai tidak bisa bernapas. Leher itu harus dilubangi. Agar bisa bernapas.

Berbagai obat sudah tidak mempan. Setelah dibiopsi jelaslah: itu kanker ganas. Harus dioperasi.

Sang kakak menolak operasi. Pun setelah dirayu dengan berbagai cara. Tapi ia mau kalau ”hanya” dikemo.

Kemo pun tidak mengatasi. Padahal sudah ia jalani dua seri. Tidak juga membaik. Bahkan tubuhnya melemah.

Dalam keadaan lemah itu ia menulis untuk Wulan. “Saya mau hidup,” tulis sang kakak. Ia memang sudah tidak bisa mengeluarkan suara, tapi ia masih bisa menulis. Semua keinginan sang kakak dikemukakan lewat tulisan. Termasuk keinginan untuk hidup.

Tapi ia tetap tidak mau dioperasi.

Ia bandel. Sajak SMA sudah merokok. Ia seperti kereta lama. Tidak mau jalan kalau tidak ada asap mengepul.

Memang ada jenis perokok ekstrem seperti itu. Saya sering memuji perokok militan dengan sanepo.

“Perokok itu paru-parunya lebih awet. Seperti bandeng asap”. Dan lagi, belum ada orang yang sedang merokok meninggal dunia. Padahal banyak orang yang lagi olahraga tiba-tiba jatuh dan tewas.

Sang kakak bukan sakit bandeng asap. Ia kena kanker pita suara.

Wulan terus mencari cara menyembuhkan sang kakak. Tentu dengan cara yang bisa diterima. Sampailah Wulan mempelajari KetoFastosis. Masuk akal. Wulan ingin kakaknyi menjalani itu. Berat, tapi masuk akal.

Melihat watak sang kakak, Wulan tidak yakin KetoFastosis dijalankan. Begitu banyak makanan yang harus dihindari. Begitu panjang puasa yang harus dilalui.

Gula dilarang total.

Tepung dilarang total.

Karbohidrat dilarang total.

Pun yang mengandung tiga hal itu: kue, kecap, bakso, bihun, dan durian, dan mangga, dan apa saja.

Buah yang boleh dimakan hanya dua: alpukat dan zaitun.

“Makanan itu ada yang bisa membuat sehat, ada juga yang membuat sakit. Metabolisme harus diperbaiki,” ujar Wulan.

Intinya: kadar gula dalam darah harus bisa mencapai di bawah 80. Maka seminggu pertama, tiap hari harus tes gula darah. Bila sudah stabil mencapai angka itu baru boleh ke level berikutnya. Kalau belum, jalani terus sampai stabil 7 hari berturut-turut.

Ada aturan lain: harus puasa 16 jam sehari. Setelah jam 8 malam tidak boleh lagi makan apa pun. Itu makan terakhir hari itu. Itulah makan sahurnya. Lalu puasa. Sampai pukul 12 siang keesokan harinya. Selama 16 jam.

Jam 12 siang jendela dibuka: jendela makan. Hanya jendela. Bukan pintu.

Tapi jendela itu lebar. Anda boleh makan apa saja yang Anda suka: asal jangan yang dilarang tadi. Ayam dan daging goreng pun boleh. Sate boleh. Tempe goreng boleh. Asal tidak dibumbui gula atau terigu.

Gorengan itu akan jadi lemak. Lemaknya akan jadi sumber energi bagi tubuh.

Yang tidak ada batasan masuk ke perut adalah ini: air putih. Pun di saat jam puasa, Anda boleh minum air putih.

Wulan menjelaskan itu ke sang kakak. Bisa dimengerti. Sang kakak menuliskan jawabannya: “Saya mau hidup”.

Wulan pun mengendalikan dapur. Tidak boleh ada gula di dapur.

Misalnya masakan sayur asam. Itu memang sayur. Tapi unsur gulanya lebih mencelakakan daripada unsur manfaat sayurnya. Pun masakan sayur lainnya.

Ada masalah teknis. Haruskah Wulan punya dua dapur. Untuk kakaknyi dan untuk dirinyi sendiri.

Ribet.

Maka muncullah tekad baja-kurima Wulan: ikut sekalian menjalani KetoFastosis. Cukup satu dapur. Tanpa gula dan tepung apa pun. Dia ingin menyembuhkan sang kakak secara total. Dia juga memberitahu kakak: sang kakak tidak menjalani KetoFastosis sendirian.

Kebetulan suami Wulan juga lagi perlu turun berat badan: 88 kg. Harus ikut sekalian KetoFastosis. Sang suami mau.

Kebetulan keluarga ini tidak perlu menyediakan makanan untuk anak. Semua anak di situ adalah anak asuh.

Mulailah program keras ini dilakukan: tiga orang menjalani KetoFastosis bersama-sama. Berat sama dipukul. Ringan, kebetulan tidak ada yang perlu dijinjing.

Hari-hari pertama, kata Wulan, bukan main beratnya. Badan lemes. Tapi sang kakak harus sembuh.

Bahwa hari-hari pertama itu berat, mereka sudah tahu. Begitulah literaturnya. Masa berat itu harus bisa dilewati. Setelah itu semuanya akan bisa dijinjing.

Bahwa hari-hari pertama lemes, itu karena otak belum mencari sumber energi yang lain. Begitu hari ketiga tidak juga ada gula dan karbo otak mulai mencari sumber energi yang lain: lemak.

Begitu otak menemukan lemak, badan tidak lemes lagi. Energi dari lemak juga lebih hebat. “Satu gram karbo hanya menghasilkan 4 kc energi. Satu gram lemak menghasilkan 9 kc energi,” ujar Wulan.

Hari kelima sang kakak membaik. Tumor sebesar bola pingpong itu mengecil. Hari ketujuh tumor itu kempes sama sekali. Semua senang. Semua bahagia.

Hari ke-8 sang kakak meninggal dunia.

Usianya 53 tahun.

Wulan sendiri sudah melewati masa-masa yang berat. KetoFastosis itu sudah melewati masa kritis. Otak Wulan sudah menemukan sumber energi non-gula dan non-karbo.

Berat badan suaminyi pun mulai turun.

Wulan bertekad meneruskan hidup dengan KetoFastosis. Pun Sang suami.

Ini sudah tahun ke-8 Wulan dan suami hidup dalam KetoFastosis. Berat badan suami kini stabil di 74 kg. Wulan 52 kg.

Gajah mati meninggalkan gading. Sang kakak mati meninggalkan dr Eko Wulandari yang berjiwa gading. (Dahlan Iskan)

Tinggalkan Balasan