Pengalaman ketika masuk sekolah rakyat (SR) tahun 1958. Umur enam tahun didandani baju kodok oleh emak dan tak bersepatu. Baju kodok adalah baju terusan, celana dan baju jadi satu, ada tali dipunggung sebagai pengikat. Dirumah, ada sepatu tapi punya Bapak. Sepatu kulit besar bertali tali untuk bekerja di pemboran minyak. Mana boleh awak pakai kesekolah
Awak ke sekolah disuruh pergi sendiri. Mak mana sempat antar – mengantar, emak banyak kerjaan rumah tangga. Pergilah awak ke sekolah bertelanjang kaki. Hati berdebat debar, bekal keberanian masih belum bisa diandalkan. Mak menyiapkan minum air putih dan sarapan ubi. Belum ada lagi buku.
” Angkau pergi sendiri ke sekolah, cepatlah hari sudah terang”
Sampai di depan poliklinik hati semakin berdebar, ada apa ini awak jadi takut sendiri. Ketika melewati pasar Tempino dusun awak, banyak preman pasar duduk disitu. Preman gaya dusun anak anak krosboi menggoda awak.
” hei mau kemana buyung ”
preman itu iseng menegur (kedengarannya membentak).
” buat apa sekolah buyung, pulang sana kerja di kebun….”
Awak terkesiap, semakin takut, sekolah masih jauh lagi diujung jalan. Serta merta ketakutan itu menyuruh kaki awak balik kebelakang sambil menangis,….. awak pulang kerumah, takut benar dengan krosboi itu. Anak kecil memang masih anak ingusan (bener masih banyak air lendir menetes di ujung hidung).
Mak heran melihat anaknya pulang sambil menangis,
” mengapa angkau pulang” .
Sambil segugukan tak bisa berbicara, menangis terus. tampaknya Mak iba, ada rasa salah di diri emak karena tak mengantarkan anaknya kesekolah.
Hari pertama sekolah adalah neraka bagi anak anak kecil . Kata orang orang, masuk ke lingkungan baru, bertemu guru dan sebagainya yang belum pernah dikenal adalah segumpal ketakutan. Ketakutan yang bisanya hanya di wujudkan dengan isak tangis anak kecil enam tahunan
Mak mengganti baju. Seragam rumahnya kebaya rumahan bertukar dengan kebaya melayu nan elok. Mak tidak bertanya lagi kenapa si Tahamrin menangis. Mak sudah tahu tabiat anaknya. Inilah anaknya yang ke- 6 yang super cengeng dan penakut.
Dipakainya selendang minang menutupi rambutnya yang mulai memutih. Mak menuntunku. Dipegangnya tanganku dengan lembut walau aku merasa seperti diseret -seret agar mau pergi ke sekolah.
Awak sudah berhenti menangis, sempat emak mengusap pipi awak sambil menatap tajam mataku.
” Angkau harus jadi anak pemberani, ini dusun kita, apa yang angkau takutkan”
Mak berjalan kencang, hari sudah hampir siang. Emak risau anaknya ditolak masuk sekolah, karena di hari pertama anak baru harus hadir disana. Kami melewati pasar.
Preman pasar itu masih disana. Mak menegakkan kepala, Mak tahu dan mengenal anak anak kampung yang tidak pernah sekolah itu. Anak anak yang sering mencuri curi buah buahan di kebunku. Preman itu beranjak pura pura tidak tahu, Mereka takut kepada emakku.
Terengah engah sampai juga awak di muka sekolah. Bu Guru kelas satu sudah meng absen anak anak baru. Awak lihat banyak juga bapak ibu yang mengantar anaknya disitu. Ada anak perempuan yang tak mau lepas dari Ibunya, terus menggelayut dibadan ibunya, mungkin masih takut dengan suasana baru.
Ibu guru kelas satu terus tersenyum. Ibu guru sudah tahu kondisi anak anak kecil. Kami tak pernah sekolah di Taman Kanan Kanak (TK) karena belum ada di zaman itu. Jadi inilah benar benar hari pertama sekolahku.
Emak dan Bu Guruku satu kampong. Orang minang banyak yang menjadi guru, Dua orang adik Emak , Etek Raginam dan Etek Arisyam pernah jadi guru ketika masa Jepang. Emakku tak mau jadi guru, beliau lebih berbakat menjadi pengusaha (pedagang). Bu Guru Djuraidah mengecek bahasa Padang dengan Mak ku.
Awak tidak menegerti apa yang di bicarakan. Bu Guru menegurku
” hai buyung siapa namamu …….”
Awak tercekat, lama tak menjawab.
” Thamrin ”
itulah suara yang kudengar tetapi bukan dari mulutku. Emak yang mengucapkannya dengan tasjid yang jelas. Aku belum bisa bicara, mulut terkunci rasa takut yang belum juga hilang, walau Emak sudah menggosok gosok tangannya punggungku.
Salam Literasi
BHP, 051220
YPTD