Memakna Puisi Anak (8):
Kartu Truf Buat Corona
Oleh: Erry Yulia Siahaan
Sumber: https://www.freepik.com/premium-vector/goodbye-purple-virus_7979521.htm
Salam penuh harapan!
Kita sampai pada ulasan puisi terakhir subbab pertama buku Antologi Puisi: Elegi Pandemi & Rindu Rumah Kedua. Penulisnya adalah Zahra Putri Rahman. Sungguh tidak disengaja bahwa judul puisinya amat relevan untuk mengakhiri elegi kita tentang pandemi. (Penyusunan puisi dalam buku ini disesuaikan dengan urutan abjad nama penulisnya.) Saya yang tidak percaya pada kebetulan, sekali lagi terpukau melihat bagaimana sesuatu bekerja dengan indah dalam hidup saya.
Tentu saja klimaks dari penantian kita atas pandemi ini adalah saat mengucapkan “Jangan kembali, Corona!” Berikut ini adalah teks lengkap puisi Zahra.
Jangan Kembali Oleh: Zahra Putri Rahman Untukmu Covid-19 Kau datang tiba-tiba tanpa kabar dan berita Kau guncang dunia Kau buat orang tak leluasa Memang kecil wujudmu Tapi kau nyata adanya Sudah banyak korbanmu Data dan fakta berbicara Cepatlah kau pergi tinggalkan bumi kami Cepatlah kau pergi Dan jangan kembali Jangan kembali!
Cukup sederhana. Tergolong indah dilihat dari rimanya: a/a-a-a-a/a-b-a-b/a-a-a-a/a. Zahra cukup baik dalam menyusun kata hingga rima puisi enak disimak.
Apa yang menarik dari puisi ini? Zahra tidak mengatakan, “selamat tinggal, Corona”, tetapi “Cepatlah kau pergi/tinggalkan bumi kami/Cepatlah kau pergi/Dan jangan kembali”. Kemudian, kata “Jangan kembali!” diulangi sebagai penutup.
Buat saya, jelas sekali pesan yang ingin disampaikan oleh Zahra. Dengan repetisi “jangan kembali”, Zahra menunjukkan bahwa pemilihan kata-kata itu adalah disengaja, malah diberi penekanan dengan melakukan pengulangan.
Menyuruh secepatnya pergi dan mengatakan “jangan kembali” dilakukan saat kita sangat tidak suka akan kehadiran seseorang atau sesuatu, tapi kita tidak tahu harus bagaimana lagi selain menyuruhnya pergi.
Mengapa Zahra tidak memilih kata “Selamat tinggal, Corona” misalnya, atau “Goodbye, Corona”? Berikut ini tiga poin pandangan saya:
Pertama, dalam dialog dikenal etika bahwa sebaiknya yang memulai percakapanlah yang lebih dulu mengakhiri dengan mengucapkan “Goodbye”. Pernah terjadi cerita lucu. Seseorang mendapat telepon dari temannya. Karena dia diajarkan etika tadi, dia menunggu lama sekali temannya itu mengucapkan “goodbye”. Memang dia dikenal tak suka berpanjanglebar dalam berbicara. Tapi, dia juga terlalu sopan untuk mengakhiri percakapan. Dia baru bernapas lega ketika orang di seberang telepon akhirnya menutup dialog.
Kedua, lazimnya, kata “goodbye” diucapkan lebih dulu oleh seseorang yang merasa sudah saatnya menyudahi dialog. Mungkin dia ada keperluan lain. Jadi semacam pamitan. Baru setelah itu, lawan bicara mengucapkan “goodbye” sebagai kesepakatan menyudahi percakapan.
Ketiga, dalam klimaks kisah-kisah heroik, saat sang kebaikan atau tokoh jagoan ingin menyudahi pertarungan dan dia yakin bisa menyudahinya dengan kemenangan (karena memegang “kartu truf”), dia akan berkata “goodbye” pada si jahat.
Dari pandangan pertama, melihat etika dalam konteks pandemi, sedikit rumit. Bisa juga menjadi relatif, tergantung bagaimana kita melihat siapa sebenarnya penyebab awal datangnya (baca: trigger) pandemi dan apakah kita menganggap Corona sebagai makhluk baru.
Saya percaya bahwa semua makhluk sudah ada sebelumnya. Tentang kuman, kalaupun muncul strain baru yang jauh berbeda dari yang lazim dikenal, itu terjadi akibat mutasi, baik disengaja maupun tidak disengaja.
Dalam keadaan normal (terutama daya tahan tubuh baik) dan terjadi keseimbangan, makhluk yang dianggap jahat tidak bisa “unjuk gigi”. Contohnya adalah keseimbangan mikroflora dalam mulut seseorang. Jamur dan bakteri berada dalam keseimbangan. Saat seseorang terlalu banyak minum antibiotika (pembunuh bakteri), misalnya untuk mengobati penyakitnya, suatu waktu populasi bakteri akan tertekan. Sebab, saat antibiotika masuk ke dalam tubuh, bakteri lain (yang bukan penyebab penyakit) bisa ikut terhambat pertumbuhannya. Populasi jamur bisa muncul lebih banyak. Tak heran jika kemudian muncul giliran jamur menimbulkan masalah/penyakit.
Contoh konkret dalam hal ini adalah meningkatnya penyakit jamur dalam diri pengidap HIV/AIDS. Sebagaimana namanya, Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menekan sistem imunitas tubuh pada manusia. Pengidap HIV/AIDS mudah mengalami penurunan kekebalan tubuh, sehingga pengidapnya lebih mudah jatuh sakit. Mereka sering meminum antibiotik untuk mengatasi bakteri, baik sebagai kuman infeksi sekunder maupun primer. Hanya saja, antibiotik yang umum beredar adalah yang berspektrum luas, sehingga tidak hanya menyerang bakteri yang dituju. Bakteri-bakteri lain bisa ikut mati.
Kembali ke soal sebelumnya, Corona belum juga mengatakan “Goobye” pada kita. Apakah “Corona menunggu kita lebih dulu mengucapkannya”?
Puisi Zahra tampaknya berhasil tampil sebagai “pahlawan” dalam pemaknaan ini. Masalahnya bukan lagi tentang siapa triggernya. Kita benar-benar sudah tidak tahan. Kita tidak menunggu sampai Corona lebih dulu mengatakan “goodbye” atau mengakhiri pandemi dengan sendirinya, atau memutuskan menjadi tiada karena ini hal yang niscaya. Kita juga belum bisa mengatakan “goodbye” karena kita adalah “sang jagoan” yang belum tahu (pasti) bagaimana mengakhirinya (belum punya “kartu truf”-nya)
Dengan mengatakan “pergi dan jangan kembali”, Zahra datang dan melemparkan kartu truf baru sebagai pandangan saya yang keempat. Cara cerdas untuk menyudahinya. Aha!! ***