Enyek adalah salah satu jenis makanan ringan atau cemilan. Sebenarnya cemilan ini dikenal juga di berbagai daerah tetapi mungkin dengan nama yang berlainan.Terbuat dari singkong yang diparut, dicampuri bumbu, dibentuk tipis-tipis tapi lebar. Kemudian dikukus lalu dijemur. Ketika akan disajikan digoreng terlebih dahulu. Rasanya gurih dan renyah.Cemilan ini khusus di Sukabumi dinamakan Enyek, di wilayah lain Jawa Barat ada juga yang menyebutnya kecimpring, opak dan lain sebagainya.
Dalam tulisan ini bukan semata-mata menceritakan jenis makanan ringan ini tetapi ada cerita menarik dibalik kegiatan para pengrajin Enyek di desa Nagrak, kecamatan Cisaat-Kabupaten Sukabumi. Cerita tentang kelompok ibu-ibu pengrajin Enyek atau kecimpring ini yang tergabung dalam kegiatan program Pendidikan fungsional (Functional Literacy). Pembelajarannya mengenal aksara dan angka bagi ibu-ibu anggota kelompok yang kemampuan membaca dan menulisnya masih terbatas.
Menarik ketika menyimak cara tutor mengajarkan aksara dan angka itu. Ibu-ibu ini tidak diperkenalkan denganalfabetik yaitu deretan huruf mulai dari a sampai dengan z. Tetapi dimulai dengan kata “Enyek” sebagai awal pengenalan abjad. Ketika ditelusur alasan dibalik itu, para tutor menjelaskan bahwa mereka memilih cara mengajar membaca dan menulis dengan memperkenalkan kata “Enyek” karena kata itu sudah dikenal dalam kehidupan sehari-hari bahkan menjadi sumber penghasilan mereka. Ini memang prinsisp Pendidikan fungsional yang mengaitkan materi pembelajaran dengan kegiatan hidup sehari-hari. Karena itu kata “Enyek” digunakan untuk memulai memperkenalkan aksara yang terdiri dari unsur-unsur huruf yang membentuk kata tersebut. Dimulai dari huruf E, N, Y, E dan K.
Proses mengajarkannya juga menarik. Tutor memulainya dengan menulis kata Enyek di papan Tulis, membacanya kemudian meminta ibu-ibu menirukan bacaan tersebut. Berikutnya Tutor meminta ibu-ibu menulis dalam buku catatatan masing-masing. Setelah masing-masing ibu selesai menulis, tutor mengajak ibu-ibu itu untuk mengeja masing-masing huruf kemudian melafalkannya sebagai kata Enyek. Kata kedua yang diperkenalkan adalah “Bahan”. Diawali dengan tutor menanyakan apa bahan-bahan untuk membuat Enyek. Secara bergiliran satu persatu bahan disebutkan dan ditulis dipapan tulis yang kemudian ditulis oleh masing-masing ibu di dalam buku catatan mereka. Setiap selesai mencatat tutor mengajak semua ibu untuk membaca dengan cara mengeja huruf-huruf yang membentuk kata-kata yang ditulis. Demikian proses ini berlangsung sampai semua bahan selesai ditulis. Tahap berikutnya adalah memperkenalkan kata “Cara Membuat” proses belajar yang ditempuh sama dan akhirnya semua ibu dapat mencatat resep membuat Enyek, lemkap dari mulai bahan dasar, bumbu-bumbu yang digunakan sampai pada cara membuatnya atau mengolahnya. Pada akhir pembelajaran Tutor memeriksa apakah semua ibu sudah mencatat resep itu dengan betul. Demikian juga untuk resep-resep cemilan atau makanan ringan yang lain yang diproduksi oleh kelompok pengrajin itu. Pada tahap pembelajaran berikutnya Tutor akan memperkenalkan angka dengan proses yang sama dengan memperkenalkan huruf, namun diajarkan juga tentang berapa harga jual Enyek dan perhitungan untung ruginya. Selain itu anggota kelompok diajari bagaimana membuat kemasan bagi produk yang dihasilkan agar baik dan menarik. Dengan demikian harga jual akan tinggi dan banyak menarik minat orang untuk membeli.
Sungguh suatu cara pembelajaraan fungsional yang efektif dan kreatif penuh dengan kebebasan mengembangkan ide. Mungkin seperti inikah yang dimaksud dengan konsep “Kampus Merdeka”? dimana arus kreativitas mengalir dengan bebas menerabas kaidah-kaidah yang terlalu mengikat erat mengungkung pemikiran yang inovatif untuk meningkatkan sumberdaya manusia berkualitas serta produktivitas yang nyata dalam meraih kesejahteraan masyarakat. Sayangnya ide-ide kreatif semacam ini nampaknya hanya ada di tempat tertentu yang kurang di perhatikan apa lagi disebarluaskan. Hal ini apakah kurang diinformasikan atau ada alasan lain. Ide kreatif yang muncul dari buah pikiran para tutor yang sederhana di tingkat desa itu, masihkah saat ini dipertahankan dan bertahan hidup ataukah sudah tergantikan oleh ide lain yang lebih mumpuni? (Abraham Raubun)