Indonesia terdiri dari banyak pulau dengan penduduk yang memiliki budaya, adat istiadat dan Bahasa yang beragam. Berdasarkan data tahun 2020, Indonesia memiliki lebih kurang 718 bahasa daerah suatu jumlah terbanyak kedua setelah Papua Nugini. Dapat dimaklumi kalau untuk berkomunikasi antar daerah terkadang mengalami kesulitan karena adanya perbedaan makna antara bahasa daerah yang satu dengan daerah yang lain. Namun kita patut mensyukuri karena di negeri yang terdiri dari 17.491 pulau ini ada bahasa pemersatu yaitu Bahasa Indonesia.
Sejak tahun 2015, Kementerian Dalam Negeri melalui Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa melaksanakan program peningkatan kapasitas bagi Aparatur Desa. Sasarannya adalah sekitar 800 ribu aparatur desa yang tersebar di 74.953 desa. Upaya peningkatan kapasitas ini dilakukan melalui suatu pelatihan yang melibatkan pelatih-pelatih dari tingkat pusat, provinsi dan kabupaten di berbagai daerah seluruh Indonesia. Dilakukan dengan memobilisasi pelatih dari suatu daerah untuk mendukung pelaksanaan di daerah lain yang membutuhkan.
Jumlah pelatih ini memang terbatas, apa lagi yang memiliki kompetensi sebagai pelatih yang menguasai metode pelatihan yang dibuktikan dengan sertifikat kompetensi metodologi yang dikeluarkan oleh Lembaga yang berkompeten semisal Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) suatu Lembaga di bawah tanggung jawab Presiden. Jumlah pelatih yang tersertifikasi ini baru sekitar 255 orang.
Kompetensi di bidang metodologi pelatihan ini penting dimiliki oleh seorang pelatih. Seperti diketahui pelatihan merupakan suatu proses yang didalamnya ada proses belajar dan berlatih serta peserta pada umumnya adalah orang dewasa. Karena itu kaidah-kaidah dalam pembelajaran orang dewasa patut dikuasai dengan baik. Selain itu dalam pelatihan dibutuh kan selain ilmu juga seni. Ilmu dan seni ini sangat terasa manfaatnya ketika menghadapi peserta dengan berbagai latar belakang budaya dan kebiasaan serta adat istiadat.
Misalnya pengalaman saya dan beberapa teman dari Jawa melatih aparatur kampung atau di tempat lain sama dengan desa, di Papua mengalami hambatan komunikasi. Apalagi materi yang disampaikan sangat teoritis karena menyangkut sistem perencanaan dan anggaran pemerintah. Jangankan untuk saudara-saudara di bagian Timur Indonesia yang memiliki karakteristik spesifik. Sebagai contoh dalam suatu pelatihan bagi Aparat Kampung tentang sistem perencanaan mengacu pada Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa. Berbagai istilah dikenal mulai dari Rencana Jangka Menengah desa (RPJMDesa), Rencana Kegiatan Pemerintahan Desa (RKPDesa) dan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (RAPBDesa).
Dalam mengajarkan dan memberi penjelasan tentang hal-hal tersebut di atas mengalami hambatan karena perbedaan makna dalam kata-kata yang digunakan untuk menyampaikan isi materi. Beberapa teman ketika menjelaskan proses perencanaan ini mengalami kesulitan karena nampaknya istilah yang digunakan kurang dipahami oelh Sebagian besar peserta yang terdiri dari kepala desa. Ketika seorang pelatih menanyakan siapa yang “membuat contoh RPJMDes” yang dibawa oleh para kepala kampung Sebagian besar tidak ada yang menjabab. Di mereka terlihat kebingungan tidak memahami apa yang dimaksud oleh pelatih. Sang pelatih berasumsi bahwa semua peserta menguasai bahasan Indonesia yang baik dan benar seperti menurut kebiasaan di daerah Jawa atau daerah Indonesia Bagian Barat yang lain. Nammpaknya terjadi komunikasi antar budaya yang tidak bersambung. Ternyata kata buat di wilayah Timur Indonesia lazimnya sepadan dengan kata “Untuk”. Jadi ketika pelatih mengatakan “siapa yang buat” itu nampaknya dimaknai sebagai “buat siapa”. Jadi dalam kebiasan berkomunikasi kata “buat” lazimnya digunakan untuk mengatakan sesuatu yang diberikan kepada urang lain. Buat saya, buat kamu atau buat siapapun. Ketika kalimat bertanya diubah menjadi “siapa yang bikin” maka hamper semua pesrta memberikan jawaban.
Demikian juga dengan istilah-istilah RPJMDes, RKPDes, dan APBDes. Kesemuanya perlu disampaikan dalam dialek daerah wilayah timur seperti: “Anam Tahun Kemuka Bapa mau bikin apa” untuk menjelaskan istilah RPJMDes yang memuat visi dan misi kepala desa selama masa jabatannya yang 6 tahun. Pertanyaan kemudia dapat disambung dengan “Tiap tahun bapa mau bikin apa” ini untuk menjelaskan RKPDes yang harus disusun kegiatannya selama satu tahun. Sedangkan untuk menjelaskan tentang APBDesa, pelatih dapat menanyakan “Bapa perlu uang berapa buat bikin itu semua” hal itu untuk menjelaskan tentang APBDesa.
Proses mengajar yang berorientasi pada peserta memang membutuhkan seni yang termasuk didalamnya komunikasi antar budaya untuk mencapai kesamaan makna dari apa yang disampaikan. Beberapa contoh kata yang sama tetapi mempunayai makna yang berbeda dalam Bahasa daerah yang satu dengan yang lain misalnya: kata jukut dalam Bahasa sunda dalam Bahasa Bali berarti rumput, Cicing dalam Bahasa Bali berarti anjing, sedangkan dalam Bahasa sunda berarti diam. Atos dalam Bahasa Jawa berarti keras, dalam Bahasa Sunda berarti sudah. Gedang dalam Bahasa Sunda berarti papaya, sedangkan orang Jawa mengartikannya pisang. Pusing-pusing orang Medan mengartikannya berjalan-jalan sedangkan pada umumnya di daerah lain mengartikan keadaan yang mengganggu dikepala. Demikian juga dengan istilah kereta di Medan, didaerah lain dapat dimaknai kereta api, padahal yang dimaksud adalah motor seperti kereta Honda yang bermakna motor bermerek Honda. Contoh lain orang di Kupang Nusa Tenggara timur menyebutnya kendaraan umum dengan Bemo, sedangkan di Jawa yang dimaksud dengan Bemo adalah kendaraan kecil beroda 3 dengan merek Daihatzu yang sekarang sudah digantikan dengan Bajaj. (Abraham Raubun).