Hari ini, kami masih belum boleh belajar tatap muka. Namun, menerangkan pelajaran matematika melalui media blog dan video youtube rasanya kok belum cukup. Maklum, kami belum bisa mengakses Zoom atau media sejenis seperti G-Meet. Bahkan video call dengan WA pun masih terkendala sinyal internet yang belum stabil dan merata.
Oleh karena itu, sembari siswa yang lain belajar dengan media blog, beberapa anak kuminta datang. Kali ini kelompok Eva mendapat giliran belajar di kelas. Tidak lama, sebentar saja. Tapi, tahukah Anda berapa yang datang? Hanya empat orang. Yang satu, perempuan, tidak datang. Kami tidak tahu apa alasannya tidak bisa hadir. Satu lagi, laki-laki. Kata Eva, ia membantu neneknya mengusir burung di sawah. Aku pun memaklumi. Saat ini burung pipit menjadi hama di areal persawahan yang padinya mulai menguning. Meskipun tidak mengirim kabar melalui gadget, setidaknya, dari Eva aku tahu alasan ketidakhadirannya.
Di sela-sela menerangkan konsep volume prisma segiempat, Bibik Tahu datang. Pada motor matic-nya, Bibik Tahu mengikat box berisi tahu kulit dan tahu putih untuk dijajakan. Aku bukan pelanggan tetap tetapi sering membeli. Maksudnya bukan pelanggan tetap adalah tidak setiap ia datang aku membeli tahu dagangannya.
Kebetulan, materi pelajaran matematika yang akan kuajarkan kepada kelompok kecil itu tentang konsep bangun ruang. Tahu yang baru dibeli kugantungkan di motor. Kuambil empat buah tahu saja dan kubawa masuk ke dalam kelas. Beruntungnya, di dalam tas ada cutter. Alat ini selalu berdampingan dengan gunting kecil dalam katong pensil.
“Anak-anak, kalian berempat lihat tahu-tahu ini! Dengan tahu ini kita akan belajar cara mencari volum prisma segiempat,” kataku sambil menunjukkan empat potong tahu kepada mereka.
Setiap anak kuberi satu buah. Lalu satiap tahu kupotong menjadi empat bagian yang relatif sama besar.
“Anak-anak, apakah volum itu?” Aku bertanya kepada mereka setelah menuliskan kata “Volume” di papan tulis.
“Isi, Pak!” jawab Eva sambil mengacungkan telunjuk jari tangan kanannya.
“Benarkah, Yuli?” Kulempar pertanyaan kepada Yuli.
Yuli diam saja. Mungkin ia tidak yakin dengan jawaban Eva. Mungkin juga ia belum tahu pengertian volume.
“Secara sederhana, volum disebut juga penakaran. Menakar banyaknya ruang yang bisa ditempati. Benar juga kata Eva, volum disebut juga isi. Jika bendanya berongga, kita bisa mengisinya dengan benda lain.” Aku pun menerangkan sambil mendekati meja masing-masing anak.
“Lihat tahu kalian! Masing-masing saya potong menjadi 4 bagian. Ada berapa tahu kecil sekarang?” Aku menerangkan sambil bertanya.
Mendengar mereka bergumam, pertanyaan itu pun aku jawab sendiri. “Ya, ada empat tahu kecil.”
Segera kutuliskan di papan tulis “Isi = 4″. Kemudian aku menggambar tiga kotak dengan tulisan masing-masing panjang, lebar, dan tinggi.
Dari depan papan tulis, aku kembali bertanya. “Tahu di depanmu, panjangnya ada berapa tahu kecil?”
Serentak mereka menjawab, “Dua!”
“Berapa tahu kecil lebarnya?” tanyaku lagi.
Mereka pun menjawab, “Dua, Pak.”
“Eva, berapa tahu kecil tingginya?” Pandangan mata dan pertanyaan kutujukan kepada Eva.
“Hmm, ada satu, Pak …” jawab Eva.
Setiap kali anak menjawab, jawaban mereka kutulis pada kotak yang sudah kugambar sebelumnya.
Mencari Volume Prisma Segiempat
Setelah anak-anak paham mencari volum satu buah tahu, mereka kuminta untuk menumpuk tahu miliknya dengan tahu teman sebelahnya. Aku pun mengajak mereka bertanya jawab tentang isi tahu yang sekarang sudah mereka tumpuk. Bersama temannya, mereka aku ajak menyimpulkan bahwa panjang kali lebar merupakan luas alas, sehingga volum tahu yang ditumpuk dapat dicari dengan rumus luas alas kali tinggi.
Luas alas prisma yang terbentuk dari dua buah tahu adalah 4 buah tahu kecil sedangkan tingginya ada dua tahu kecil. Dengan demikian, prisma yang terbentuk dari dua buah tahu tersebut volumenya adalah delapan tahu kecil. Setelah itu kami bersama-sama menyimpulkan dan mereka pun asyik mencatat kesimpulan kami tadi. Setelah itu aku beri mereka sedikit soal latihan. Agar tidak mengganggu, tahu-tahu tadi aku singkirkan dan kumasukkan kembali ke dalam plastik kecil.
“Pak … Pak …!” bu Fitri berlari-lari kecil ke arah kelas kami.
“Ada apa, Bu?” tanyaku setengah terkejut melihat petugas perpustakaan yang bertubuh tambun itu lari terengah-engah.
“Itu, Pak. Tahu yang baru Pak beli dipatuk ayam! Recai tahunyo,” jelas bu Fitri setengah tertawa.
Segera saja aku berlari ke parkiran. Plastik bening wadah tahu sudah tidak karuan bentuknya dipatuk ayam. Kepingan tahu pun berhamburan. Tahu yang kubeli dengan uang 7.000 rupiah itu pun tinggal lima yang bisa diselamatkan.
******
Tulisan ini sudah terbit di blog pribadi
blogsusanto.com
Catatan:
Recai = seperti pecah berkeping-keping
tahunyo = tahunya