Aku seekor kuda yang memiliki tubuh kekar, kuat, perkasa. Sehari-hari aktifitasku kuhabiskan di kendang. Yang aku lakukan hanya menikmati perawatan yang dilakukan oleh perawat kandangku. Makanan selalu diberikan yang terbaik, dia menjaga Kesehatan tubuhku dengan berbagai macam ramuan. Tak kurang 2 kali sehari aku dimandikan dengan penuh kasih sayang. Karena perawatku tahu betul jika terjadi sesuatu pada diriku tuanku akan marah.
Aku Gagak Rimang yang dipelihara dengan perawatan istimewa, diberi nama yang gagah, layaknya seorang anak manusia. Arya Penangsang nama majikannku ia memberikan nama disesuaikan dengan warna kulitku yang hitam menggambarkan keberanian yang aku miliki. Memang aku sangat berani aku tak takut oleh rintangan yang berada di depanku aku setia kepada tuanku Arya Penangsang.
Suatu hari tuanku mendatangi kandangku seolah dia berkata “Gagak Rimang besok kita akan bersama-sama turun ke medan perang melawan orang-orang utusan Hadi Wijaya atau Joko Tingkir”. Bukan aku takut terhadap perang tersebut perang, perasaan ku berkata ini merupakan perang terakhir bagi tuanku Arya Penangsang. Sehari sebelumnya aku mendengar perkatan Sunan Kudus yang berbunyi “Barang siapa diantara kalian yang merendamkan kakiknya ke sungan Bengawan sore maka dia akan mengalami kekalahan”.
Tugas yang begitu mulia sebagai kuda pemeberani tak akan surut mundur kebelakang. Namun pada bulan-bulan ini aku dan saudara-saudaraku memasuki musim kawin. Belum melampiaskan nafsu ku kepada kuda betina, tuankku sudah siap membawaku menuju medan laga.seperti biasa Arya Penangsang selalu membawa senjata pusakanya yaitu keris setan Kober yang banyak ditakuti lawan-lawannya.. Arya Penangsang memang seorang pemberani seperti diriku ditambah dengan keris setan kober yang ada di pinggangnya menambah kegagahan Arya Penangsang.
“Ayo kita menuju medan laga kita rebut kembali kekuasaan Demak yang seharusnya aku miliki bukannya Hadi Wijaya”.Tteriakan itu membuatku melompat dengan gagahnya mendahului kuda-kuda prajurit lainnya, kupacu langkahku dengan cepat melesat menembus jalan terjal tanpa ada rasa takut. Sampai akhirnya tiba di tepian sungai Bengawan Sore.
Ku memandang ke arah seberang, di sanalah berdiri beberapa tokoh dari Pajang utusan Hadiwijaya. kulihat ada Ki Juru Mertani, Ki panjawi, serta Ki Ageng Pemanahan, oh tidak masih ada satu lagi seorang anak kecil yang menunggangi kuda putih yang begitu anggun dan mempesona ku. Ya d iatas kuda itu duduk dengan gagah Danang Sutawijaya putra dari Ki Ageng Pemanahan. Tidak-tidak itu tombak kyai Pleret peninggalan leluhur, keturunan Brawijaya ke-5 ada di punggung Sutawijaya. Senjata itu mampu mengalahkan senjata saksi lainnya termasuk keris Setan Kober.
Ah tapi aku tidak peduli itu kuda cantik sekali, aku ingin bertemu dengan dia, aku ingin melepaskan nafsuku dengan dia aku tak peduli terhadap tuanku Arya Penangsang aku tak peduli dengan peperangan ini saat ini aku hanya peduli dengan nafsuku. Aku meronta dibawah kendali Arya Penangsang aku men jingkrak membuat tuanku kewalahan dan akhirnya aku berhasil memaksa tuanku untuk menyeberangi sungai Bengawan sore. kulihat raut pucat wajah Arya Penangsang, dengan penuh kekhawatiran akan ramalan sunan Kudus.
Arya Penangsang menggiringku untuk menerjang Sutawijaya yang berdiri paling depan. namun keinginan Sutawijaya sungguh berbeda dengan keinginan ku, aku hanya menginginkan kuda betina itu membuat gerakan ku dan gerakan Arya Penangsang tak terarah. Tanpa kusadari tuanku telah terluka oleh tombak kyai Pleret yang dihunuskan kan Sutawijaya.
Luka parah tuanku, perutnya robek besar sehingga bagian perutnya keluar termasuk usus. Dalam kondisi seperti itu ku lihat dia masih sanggup berdiri dan melililitkan usus it uke kerisnya. Sejurus kemudian Arya Penangsang mampu mendekati Sutawijaya dan mendesaknya ke tanah. Amarah besar yang dimiliki oleh Arya penangsang itu membuat di menghunuskan keris untuk menghabisi Sutawijaya. Teriakan keras keluar dari mulut Arya Penangsang, kulihat semua ususnya terburai terpotong kerisnya sendiri, Arya Penangsang Lupa ususnya sudah melingkar di warangka kerisnya. Sedih ku melihat situasi ini Tuan ku yang menyangiku telah tewas terbunuh oleh nafsunya sendiri.
Ku berlari kecil menjauhi medan perang, melewati tepian sungi Bengawasan Sore. Seraya merenung apa yang telah terjadi. Bahwa ketidak patuhan ku terhadap perintah Tuanku membawa kekalahan yang fatal. Aku berjanji tidak akan lagi menolak perintah dari siapa saja yang nanti akan menjadi tuanku. Saling memaksakan keinginan berujung tidak menyenangkan karena akhirnya keinginan ku ingin berkencan dengan kuda betina tidk tercapai, keinginan Arya Penangnsang untuk mengalahkan lawannya tidak berhasil.
Tuanku Selamat Jalan. Penyesalan ini akan ku bawa pada ketaatan.
By. Nurhadi.