Oleh: Lili Suriade, S.Pd
Setengah sadar, aku mengangkat telphon dari Nalia.
“Hallo..” Suara Nalia dari seberang.
“Ya Na..ada apa?” jawabku sambil mengucek mata yang masih mengantuk.
“Apakah kita jadi berangkat ke Muaro sekarang Bu?” Tanya nya kemudian.
“Astagfirullahal azim..ibu lupa. Sudah jam berapa Na?”
“sudah jam 7 pagi Bu.”
Aku segera bangun, setelah itu langsung menuju kamar mandi. Aku baru ingat hari ini harus pergi ke kantor Samsat Kabupaten, untuk membayar pajak sepeda motorku. Untungnya aku masih belum sholat, lagi haid jadi aman jika bangun kesiangan seperti ini.
Sebelum aku selesai mandi, aku mendengar suara teriakan Nalia di depan rumah.
“Iya..iya,,tunggu sedang mandi.”
Secepat rusa aku berbenah, hanya dalam hitungan 10 menit sudah selesai. Maklumlah aku bukan tipe perempuan yang suka dandan, yang penting mandi dan berpakaian bersih dan sopan, itu saja sudah cukup bagiku.
“Ayolah kita berangkat..”Ucapku pada Nalia yang sedang asik dengan smartphonenya di kursi tamu.
Dengan cekatan Nalia mengambil sepeda motorku dari tempat parkir di samping rumah. Aku segera naik, berbonceng di belakangnya.
“bismillahirrahmaanirrahiim..” Aku mulai membaca doa.
Sepanjang perjalanan begitu banyak kami bercerita. Aku yang memang kurang tidur semalam, sengaja bersuara terus supaya tidak mengantuk di jalanan. Akhirnya kami sampai di nagari Silokek, sebuah nagari yang masih asri dengan tempat-tempat rekreasi alaminya.
“Apa kita berhenti dulu?” Ucapku kemudian.
“Ayolah. Kita selfie dulu ya Bu.” Ungkap Nalia.
Aku hanya mengangguk dan segera turun dari motor.
Nalia adalah seorang alumni di sekolahku. Ia baru saja tamat setahun yang lalu. Setelah tamat, ia langsung bekerja di perpustakaan sekolahku. Sementara aku sendiri hampir setiap minggu harus mengikuti kegiatan MGMP ke Kabupaten yang berjarak 2 jam perjalanan dengan sepeda motor dari kampung kami. Jadi lantaran Nalia masih single dan kebetulan dia juga ada keperluan ke luar, aku pun menawarkannya untuk menemaniku.
“Na..selasa besok temani Ibu ke Muaro ya..”
“Selasa? “ Tanya Nalia lagi.
“Ia..ibu harus membayar pajak kendaraan.”
“Oke Bu. Kebetulan Na mau beli sepatu juga.”
“Jam berapa ya Bu?”
“jam 6 pagi kita sudah berangkat. Biar bisa cepat pulang.” Jelasku.
“Siip.” Ungkapnya kemudian.
Setelah puas berfoto, kami pun melanjutkan perjalanan ke Muaro Sijunjung. Aku benar-benar mengantuk di atas motor. Beberapa kali helmku berbenturan dengan helm Nalia, hingga bunyinya sampai berdentang. Namun aku tetap tidur di sepanjang jalan menjelang sampai di kantor Samsat.
“Bu..kita sudah sampai.” Nalia tiba-tiba mengagetkanku.
“Astagfirullah Na..ibu benar-benar ketiduran. Jadi malu nih.” Ungkapku sambil mengucek-ngucek mata.
Ternyata di parkiran kantor Samsat, sudah begitu banyak motor berderetan.
“Jangan lupa pasang maskernya Bu..” ungkap Nalia mengingatkanku.
“Oke. Ibu ke dalam dulu ya..!” Jawabku sambil berlalu meninggalkan Nalia di area parkiran.
“ ya Bu. Aku tunggu disini.” Jawab Nalia lagi.
DI dalam ruangan, aku langsung menuju ke tempat pendaftaran.
“Pak..saya mau bayar pajak motor sekalian ganti nomor plat.” Ucapku kepada petugas sambil menyerahkan seluruh persyaratan yang ada di tanganku.
“ Baik Bu. Silahkan menunggu.” Ungkap petugas sambil menyerahkan nomor antrian kepadaku.
Aduh..nomor antrian 69. Kelamaan nunggu nih! Gumamku sambil melihat jam di HP. Ternyata baru jam 9 pagi. Mending aku pergi makan dulu deh sama Nalia.
“Na..kita cari sarapan dulu ya. Nomor antrian ibu masih lama lho.”
“Oke Bu. Terserah ibu saja.” Jawab Nalia sambil menghidupkan motor Vario putih yang dari tadi didudukinya.
Kami segera melaju ke sebuah café langgananku di kota Muaro. Di ‘Warung pojok’ aku memesan menu kesukaan kami. Sekitar satu jam kami bersantai di sana lalu kembali ke kantor Samsat.
“Pak..apakah nama saya tadi sudah terpanggil?” aku bertanya kepada petugas sambil memperlihatkan nomor antrianku.
“Sudah Bu. Totalnya 385 ribu. Ini KTP sama STNK ibu. Untuk nomor plat tuggu 5 bulan lagi ya Bu.”
“5 bulan? Kok lama betul pak. Apa gak bisa dipercepat?” Tanyaku kepada petugas sambil menyerahkan sejumlah uang.
“Tidak bisa Bu. Antrian pembuatan Plat nomor kendaraan sangat banyak. Jadi harap maklum.”
“Makasih ya Pak.” Ungkapku kemudian.
Aku berjalan keluar dengan langkah gontai.
“Sudah selesai Bu?” Tanya Nalia.
“Sudah!” Jawabku lesu. Nalia hanya diam sambil menghidupkan motor kembali.
“Sekarang kita kemana?”
“Pulang. Biar cepat sampai rumah.” Ungkapku.
“Baiklah. Kita lewat mana bu?”
“Lewat Silokek aja.” Jawabku.
Aku memang sangat capek. Sudah dua malam lembur di sekolah mempersiapkan bahan kenaikan pangkat hingga pagi. Jadi memang sangat kurang tidur. Gak sabar rasanya ingin segera merebahkan badan di rumah.
Di jalanan, kami melihat langit berwarna keruh. Di sekeliling sudah mendung. Di dalam hatiku berharap, agar tidak kehujanan.
Namun, baru 15 menit melaju tiba-tiba hujan datang. Aku ingat di dalam jok motorku selalu tersedia jas hujan.
“Berhentilah sebentar, kita pasang mantel.” Teriakku pada Nalia.
Di bawah sebatang pohon, kami berhenti. Namun aku begitu kecewa ketika jas hujanku tidak ada di dalam jok motor. Mungkin belum sempat dimasukkan waktu itu. Di dalam hatiku mulai dipenuhi oleh perasaan khawatir.
“Nanti kita beli aja. Sekarang gak ada pilihan kita harus segera jalan.” Ungkapku pada Nalia. Sementara hujan makin deras, kami terus saja melaju dalam serangan rintik air yang bertubi-tubi.
Duar!! Suara petir manyambar. Aku ingat, sebentar lagi kami akan melewati jalanan terjal, penuh pendakian dengan tanah merah yang sangat licin.
“Astaga.Buk..lihatlah jalannya!” Nalia tiba-tiba berteriak.
“Ya Allah..gimana ni?” Aku mulai panic. Tumpukan lumpur yang cukup tinggi akibat longsor menghadang langkah kami.
“Apa Ibu turun saja Nalia. Nanti kamu hati-hati ya.” Ungkapku pada Nalia.
Aku membuka sepatu dan kaos kaki yang sudah basah. Berjalan di antara tumpukan lumpur yang sebagian digenangi air. Setelah sampai di seberang jalanan berlumpur, aku melihat Nalia dari kejauhan tertatih-tatih. Namun beberapa saat kemudian Nalia dan motorku terguling ke samping.
Nalia?! Aku berteriak. Berlari mengejar Nalia. Dalam derasnya hujan kulihat tubuhnya terhimpit motorku.Ya Allah..tolooong..! Namun tak satu pun orang yang lewat.
Hampir setengah jam Nalia pingsan. Aku terus menangis. Sementara jaringan HP juga tidak ada disana. Ku lirik jam ternyata sudah sore. Aku mencoba memberikan pertolongan sebisaku. Walau darah segar terus mengalir dari mulut Nalia, Namun dia tetap ku pangku sambil kuhapus darah dengan hijabku. Tiba-tiba Nalia sadar, dia langsung berdiri.
“Ayo kita segera kembali Ibu. Kita lewat Tanjung Ampalu saja.” Ungkap Nalia kemudian. Aku yang memang sudah sangat kedinginan terpaksa menjadi sopir. Motor kuputar arah. Walau perjalanan akan semakin jauh, yang penting kami aman. Kurasakan tubuh Nalia menggigil di punggungku. Namun aku terus saja melaju.
Beberapa saat kemudian, kembali kami dihadang oleh gundukan tanah longsor.
“Ya Allah..kenapa Ini? Pantas saja dari tadi gak ada yang lewat.” Teriakku.
Aku mencoba menenangkan diri dalam kepanikan. Kulihat jarum jam sudah menunjuk angka 5 berarti tidak lama lgi akan gelap. Aku makin khawatir.
‘Tak ada pilihan.. kita kembali lagi ke belakang Na. Kita harus menembus jalanan tadi, jalan yang ini jauh lebih berbahaya,.” Ucapku pada Nalia.
“Iya Bu. Ayo.” Jawabnya.
Dengan tertatith-tatih, kami mendorong motor. Beberapa kali gagal, namun tetap kami coba lagi. Aku mulai merasakan lapar yang luar biasa. Jangankan makanan, minum saja lupa kami beli. Hari mulai gelap, namun gundukan tanah merah itu belum bisa kami lewati. Aku pun mencari kayu di sekitar lokasi. Dengan kayu ‘bilah’ yang kudapat kami mencongkel dan membuang tanah merah sedikit demi sedikit.
“Ayo kita coba lagi. “ Ucapku dengan tubuh yang sudah berlumuran lumpur. Aku tidak mempedulikan semua itu. Rasa dingin tak lagi kami hiraukan. Aku hanya memikirkan bagaimana supaya bisa meninggalkan lokasi ini secepatnya. Dengan sisa-sisa tenaga kami mendorong motor lagi. Sementara hujan tak jua berhenti.
Dua jam kemudian, akhirnya kami berhasil. Aku sudah semakin lemas. Dalam kelemasan, aku terus mengendarai motor. Sepanjang jalan, kami tak berbicara sepata kata pun. Rasanya begitu sulit diungkapkan apa yang kami pikirkan. Sampai di rumah ternyata waktu sudah menunjukakan pukul 11 malam. Aku yang sudah ditunggu keluarga besarku, langsung terpapar di dalam kamar dalam kondisi tubuh yang sudah mulai panas. “Ya Allah..semoga kejadian ini tak kan terulang lagi.” Ucapku lirih.
Sumpur Kudus, 1 Februari 2021