Selasa besok tepat dua minggu aku berada di ruang tunggu. Memang tidak seharian ku menunggu. Dalam penatku aku memerhatikan ini dan itu. Dan rupanya tak selamanya buruk ketika ku menunggu.
Ruang tunggu itu berada di pelataran yang disediakan bagi keluarga pasien IGD dan ICU. Ada alas keramik dan beratap, hanya tetap dibiarkan terbuka, sehingga angin kencang pun terasa di tubuh.
Awal-awal aku menunggu, jarum jam terasa lambat bergerak. Sambil duduk aku merasa cemas apa yang terjadi pada ayah. Bagaimana kondisinya dan sebagainya. Ketika ada panggilan timbul deg-degan, namun jika sekian hari tak ada panggilan juga membuatku bertanya-tanya.
Kemudian insting sosialisasiku hadir. Aku pun berteman dan bersosialisasi. Sambil tetap jaga jarak karena masih masa pandemi kami pun membuka pagi sambil bercerita itu dan ini. Tentang kegelisahan kami, harapan kamu, juga rasa penat itu dan ini.
Banyak keluarga pasien dari luar kota. Dari Pacitan, Trenggalek, juga Jawa Tengah. Ada yang berhari-hari di ruang tunggu hingga lebih dari sebulan. Mereka menanti dengan harap dan doa agar pasien segera sembuh dan pulang.
Ketika matahari terbenam, penunggu pun mulai menggelar tikar. Situasi pun berubah seperti tempat pengungsian. Ada yang begitu lelah dan langsung terlelap. Tekanan mental memang membuat mudah lelah. Tidur pun tak nyenyak karena sewaktu-waktu bisa ada panggilan. Sebagian pengunjung berhari-hari menginap di sana hingga seperti rumah kedua.
Ada kisah pertemanan, berbagi cerita, berbagi makanan, juga rasa was-was akan kehilangan harta benda disebabkan ada oknum yang nakal. Hujan angin, bocor, dan angin kencang yang dingin menjadi tantangan. Semua berupaya kuat agar tetap bisa menjaga sanak saudara yang sedang dirawat.
Selama dua minggu aku mendapat pengalaman berharga. Aku belajar lebih banyak bersyukur, menghargai kesehatan, dan juga merasai pentingnya keluarga.
Selamat malam