BINCANG RINGAN TENTANG MASA DEPAN

Edukasi, Terbaru24 Dilihat

Pagi tadi adalah hari pertama pertemuan tatap muka di kelas. Saya mengajar anak-anak yang duduk di semester dua untuk mata kuliah umum. Tapi belum ada penyampaian materi yang berhubungan langsung dengan mata kuliah yang saya asuh/emban.

Saya hanya menyampaikan kepada mereka tentang apa dan bagaimana mengikuti perkuliahan untuk dan selama satu semester ke depan. Semua hal yang berhubungan dengan suksesnya mereka kelak. Kami hanya berbincang ringan. Selain itu juga ada semacam saling bertukar informasi tentang masa liburan yang barusan mereka dan saya, kami, alami lewati.

Belum semua mahasiswa hadir di kelas. Mungkin ada yang masih menikmati masa liburan dan lupa bahwa semester genap telah dimulai. “Ada juga yang masih di kampung, Pak!” Kata mereka yang ada di kelas hampir serempak. Ya, mereka belum kembali ke kota perjuangan. Mungkin juga masih keasyikan libur.

Oleh karena itu, mereka yang hadir di kelas saya perkirakan hanya berkisar setengah dari jumlah sesungguhnya. Sekitar belasan anak saja. Saya juga hanya menerka saja. Tidak sempat menghitung sehingga tidak tahu persis. Selain itu, daftar absensi juga belum ada. Sehingga tidak bisa tahu persis jumlah mereka semua.

Dalam pertemuan itu, sekali lagi, saya hanya semacam berbagi tips dan trik agar berhasil selesai kuliah dengan lancar. Saya mengajak mereka untuk menilik kembali visi misi mereka kuliah. Apa yang mendorong mereka belajar di program studi ini? Dengan begitu mereka bisa tahu dengan jelas ke mana mereka akan pergi. Dan, untuk apa?

Saya juga mengubah (mengulas dan memberi masukan) cara pandang mereka yang keliru tentang kuliah. Bahwa belajar di perguruan tinggi, bahkan sejak di tingkat sebelumnya, bukanlah untuk memperoleh nilai saja. Tetapi yang lebih utama adalah pengetahuan dan keterampilan yang terbaik.

Kenapa saya harus menyampaikan itu? Karena dalam bincang-bincang ringan itu ada yang sampaikan ikhwal itu. Bahwa kuliah untuk memperoleh nilai. Dan nilai yang tinggi artinya sama dengan prestasi terbaik. Tidak salah. Tapi tidak juga benar seutuhnya.

Orang yang belajar hanya demi memperoleh nilai, maka usahanya tidak akan bertahan lama. Artifisial. Semu. Usahanya akan berakhir ketika nilai telah diperoleh. Itu sebabnya, saya tekankan bahwa belajar yang berdampak adalah demi menguasai secara teoritis maupun praktis. Atau demi mengusai pengetahuan dan keterampilan.

Saya mengajar di Program Studi PJKR (Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan Rekreasi). Maka beritahu mereka tentang dunianya guru olahraga. Apa yang harus dikuasai selama kuliah. Dan bagaimana menjalani profesi itu kelak setelah dinobatkan.

Sebagai calon guru olahraga mereka harus mengusai teori dan praktik keolahragaan. Terutama cabang-cabang olahraga yang diajarkan di sekolah-sekolah. Supaya ketika dia mengajar nanti, dia mampu mentransfernya kembali dengan baik. Dengan begitu mereka akan mempengaruhi anak untuk giat berolahraga.

Saya katakan bahwa sekarang ini, saat kuliah, mereka diibaratkan sebagai sepotong spons. Yaitu spons kering dan, pastinya, ringan lalu diletakkan di dalam sebuah wadah berisi air. Lama kelamaan spons itu akan meresap air sebanyak yang ia mampu. Dengan begitu ia akan berat karena berisi air tadi.

Jadi tugas mereka selama kuliah adalah menyerap semua pengetahuan dan keterampilan yang diajarkan. Mereka harus memaksa diri untuk melahap dengan ‘rakus’ apapun yang diberikan selama kuliah. Dengan demikian ketika menjadi guru mereka sanggup memberikan apa yang mereka punyai.

Pengetahuan teoritis diperoleh dengan cara membaca secara giat dan terus makin bertambah. Bertambah secara kuantitas maupun kualitas bacaan. Dengan begitu mereka akan memiliki daya nalar yang mumpuni dalam pemecahan masalah. Masalah yang berhubungan dengan dunianya mengajar ataupun dalam kehidupan secara luas.

Sedangkan keterampilan hanya dapat diperoleh dan kuasai melalui latihan. Tidak ada cara lain untuk terampil, kecuali latihan. Latihan adalah suatu cara pemaksaan diri mengulang-ulang gerakan hingga terbentuk sebuah kondisi yang disebut otomatisasi. Yaitu kemampuan melakukan gerakan olahraga secara benar indah tanpa berpikir.

Jadi, seorang guru olahraga harus kaya pengetahuan dan keterampilan agar bisa bermanfaat berdampak bagi anak didik. Maka otak, hati dan otot harus padat berisi. Sebab bila ketiga sumber daya manusia ini terisi maka kita sanggup memindahalihkan kepada siswa.

Membaca adalah cara sederhana mengisi dan memperkaya diri (otak) dengan pengetahuan. Mendahulukan kebutuhan/kepentingan orang lain, anak murid adalah cara mengisi hati. Akan terbentuk empati. Dan latihan yang takkenal lelah adalah cara mengisi otot agar terampil luwes bergerak.

Sebagai penutup, saya sampaikan bahwa guru olahraga juga harus mampu bahkan harus terampil menulis. Karena dengan demikian ia akan meninggalkan jejak pengetahuan dan keterampilan yang bermanfaat bagi generasi selanjutnya. Dan, semoga akan menorehgambarkan tapak literasi yang menginspirasi.

Tabe,pareng, punten!

 

Tilong-Kupang, NTT

Senin, 15 Februari 2021 (22.39 wita)

Tinggalkan Balasan