Kumpulan Kisah Kami di Masa Pandemi (17)

Terbaru35 Dilihat

Kumpulan Kisah Kami di Masa Pamdemi (17)

Bab. 17

Antara Guru dan Ibu..

Menjadi guru itu gampang-gampang susah. Gampangnya, guru tinggal berangkat ke sekolah, masuk kelas mengajar, ngasih tugas, selesai. Tapi, susahnya ternyata lebih banyak. Pertama, guru harus lulusan sarjana keguruan. Kedua, harus mumpuni ilmunya. Ketiga, harus punya karakter yang bagus. Keempat, harus mampu mengatur waktu untuk diri, keluarga, dan kerja. Dan di masa pandemi ini, faktor keempat adalah yang saya rasa paling susah. Terutama yang berhubungan dengan PJJ. Saya harus bisa memberi perhatian kepada siswa dan juga anak bungsu saya yang duduk di kelas 4 SD. Parahnya, anak saya lebih memilih ibunya daripada bapak atau kedua kakaknya.
Dilematis memang. Di satu sisi, saya harus memberikan pembelajaran yang bermutu, bermakna, menarik, dan menyenangkan kepada siswa. Di sisi lain, saya pun harus memberi perhatian, menemani, mengawasi, dan membimbing anak saya yang masih SD. Berbeda dengan kedua kakaknya yang sudah kuliah dan SMP. Mereka sudah bisa belajar mandiri. Tak butuh pengawasan dan perhatian yang lebih seperti adiknya.

Anak saya tiga. Yang pertama laki-laki, Zulfikar namanya. Kuliah semester 3 di Unpas Bandung. Yang kedua perempuan bernama Hasina, sekolah di SMPN 1 Subang kelas IX. Yang terakhir Ben Ali, masih kelas 4 SD, di SDIT Al-Furqon Subang. Untuk menghadapi PJJ, setiap anak memegang satu HP. Jadi kalau sedang ada PJJ daring, mereka berjejer, kadang sambil duduk, kadang rebahan. Kelihatan kompak sekali. Untuk kedua kakaknya, PJJ tidak terlalu sulit untuk diikuti. Sebaliknya, sang adik sering membuat saya pusing tujuh bahkan sepuluh keliling. Setiap ada tugas yang diberikan gurunya, sering ia abaikan. Lain halnya jika saya mengawasi dan menyuruhnya mengerjakan. Tak jarang, pemaksaan pun terjadi. Tapi, apa daya saya. Tugas siswa juga harus diperiksa satu-satu. Belum menyiapkan bahan ajar untuk pertemuan berikutnya.

Yang paling membuat saya kesal, ketika saya sedang menyiapkan materi berbarengan waktunya dengan Ben mengerjakan tugas. Lalu ia merengek pada saya untuk membantunya. Padahal, ada dua orang kakaknya yang sedang bermain game atau sosmedan. Kalau saya suruh membantu adiknya, jawabannya pasti cape. Lalu saya sendiri gimana? Minta bantuan ke bapaknya, sama saja. Sibuk mengerjakan urusannya. Jika tidak, ngantuk..Ampun deh! Mau tak mau, sayalah yang menjadi korbannya. Dengan berat hati saya bantu dia. Saya tinggalkan laptop untuk beberapa menit. Jika terasa lama, baru saya memaksa kakaknya untuk membantu.

Enaknya, jika ada waktu senggang. Dengan leluasa saya bisa mencurahkan waktu untuk membantunya. Tugas-tugas selesai ia kerjakan. Saya standby di dekatnya hingga tuntas. Kadang bergantian dengan bapaknya. Terutama ketika ada tugas membuat hasta karya. Pasti bapaknya yang paling semangat membantu.

Jika saya amati cara belajar daringnya, tak berbeda jauh dengan kakak-kakaknya. Media pembelajaran menggunakan Zoom Meeting dan Whatsapp. Kadang juga menggunakan video Youtube. Cara mengumpulkan tugas kebanyakan via WA. Jadi, dari segi teknologi digital, sudah cukup baik. Anak-anak sudah dikenalkan dengan teknologi belajar daring yang bervariasi. Kekurangannya, masih ada anak yang belum mengerti materi yang disampaikan (termasuk anak saya). Mungkin karena kurangnya motivasi untuk belajar.

Saat ini, PJJ berusia hampir satu tahun. Kesadaran belajar mandiri Ben sepertinya tidak ada peningkatan. Justru sebaliknya, mengalami penurunan yang signifikan. Dari yang semula masih rajin mengerjakan tugas, sekarang tidak lagi. Dan ternyata itu berlaku juga pada teman-temannya. Alhamdulillah, dia masih mau mengikuti Zoom Meeting dan TTQ (Tahsin Tahfidz Quran). Mungkin ia merasa senang jika berkumpul dengan temannya walaupun secara virtual. Tapi untuk mengerjakan tugas, sepertinya dia sudah merasa bosan. Dan saya sebagai ibuya, hanya bisa pasrah. Apalagi jika lelah sudah menguasai sekujur badan. Urusan saya bukan hanya mengajar, tapi juga keluarga. Paling hanya bisa mengingatkan, “De, awas ya nanti ada Zoom”. Bisa juga, “De, nanti tugasnya dikerjakan ya!” Atau, “De, jangan lupa nanti ditelepon Pak Pebri lho.” Pak Pebri itu guru TTQ nya. Kemudian Si Dede hanya jawab, “Iya, Mah..” Begitu seterusnya..

Terakhir kali saya pernah dengar keluhannya pada PJJ. Inginnya cepat tatap muka lagi. Ternyata sama ya dengan siswa saya. Sama juga dengan kedua kakaknya. Mungkin sama dengan semua peserta didik yang ada di muka bumi ini. Semua ingin pandemi ini cepat berakhir. Termasuk kami para pendidiknya. Kami sudah sangat merindukan bertemu muka di kelas nyata dengan para siswa. Kami rindu tingkah polah mereka. Kami rindu sapaan manjanya. Kami rindu keluhannya. Kami rindu semuanya..Bagaimana dengan kalian, guys? Tetap berdoa ya semoga cepat normal kembali..

Subang, 17 Februari 2021

Salam guru blogger Indonesia..

Tuti Suryati, S.Pd

SMPN 2 Subang




Tinggalkan Balasan