Katapel adalah sebuah alat yang digunakan oleh anak- anak di kampung sebagai salah satu senjata mainan tradisional. Bahan dan cara membuatnya pun masih sangat tradisional. Benda ini bisa dikatakan berukuran sedang terbuat dari ranting kayu sedang yang cukup kuat. Bentuknya seperti huruf V. Pada masing – masing ujung huruf V, diikatkan tali pendek yang terbuat dari bahan yang lentur seperti karet. Bisa juga menggunakan karet gelang sampai beberapa helai atau juga potongan kecil bekas ucus sepeda yang dibentuk sesuai selera ideal pada umumnya, sehingga bisa lentur ditarik ketika digunakan.
Cara menggunakannya adalah dengan cara menjepit batu ukuran kecil (sejenisnya) menggunakan karet tersebut. Setelah itu ditarik atau direnggangkan lalu dilepas. Tentunya tembakan atau sasaran sudah diarahkan sebelumnya sehingga batu kecil yang dijepit itu akan melayang ke arah sasaran yang dimaksud. Katapel sering digunakan untuk menembak burung, mangga atau buah – buahan yang lainnya . Bila bidikan bagus dan tepat, maka hasil pun tidak akan meleset.
Demikian, pada suatu siang, anak – anak kampung saling ajak untuk mencari burung- burung kecil atau burung cuit yang banyak beterbangan di sekitar kebun yang masih rimbun di tepi sungai Palu. Mereka akan berburu burung dengan katapel masing – masing. Tiga bocah sekawan tentunya juga tidak luput dari rombongan itu. Kebetulan hari itu hari Jum’at.
Usai shalat Jum’at dan makan siang, anak – anak pun sudah jalan berombongan ke arah bungi/kebun. Teriknya matahari di jalur yang dilewati garis katulistiwa seakan tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk bergerak. Lokasi bungi memang cukup jauh juga dari perkampungan. Rimbunnya semak belukar yang melingkari jalan setapak membuat mereka berjalan satu – satu sambil terus berteriak riuh.
Perburuan burung pun langsung dimulai karena memang kawanan burung banyak sekali beterbangan di sekitar itu. Satu, dua bidik, akh meleset. “Nadoyo (nakal) burung ini, dia permainkan saya,” teriak Bio kesal. “Nakuya iko Bio?” tanya Fari (baca:kenapa kamu Bio) “Ini heh burung nambongo (bodoh) sekali hanya naik turun dia” Bio terus mengejar sasaran dengan gemas. Anak – anak lain tertawa sambil berkata “Nandasamo Bio” (baca:kewalahan Bio)
Sementara itu anak – anak yang lain berubah sasaran. Mereka mengincar buah kelapa muda yang ada di pohon di sekitar bungi. “Heh itu kelapa muda enak sekali minum airnya siang – siang begini,” kata Feri penuh semangat. “Ayo kita katapel saja, kalau bagus batembak jatuh itu kelapa. Percaya saya!” jawab Reza penuh percaya diri. “Coba kau tembak pake katapelmu Reza!” Feri mundur dan mengukur sasaran dari jauh. “Mari saya tembak kacang – kacang itu,” Reza menjawab pasti. (baca: gampang)
Sekali bidik belum kena. Kali kedua belum kena. Meleset terus rupanya. Kali berikut dan berikut, sasaran kena, namun bidikan kurang kencang. “Adooh…bagaimana ini?’ jerit Reza. “Pokoknya saya coba terus, bikin penasaran,” lanjutnya. Yang lain seakan ikut tidak sabar dan menyoraki Reza yang lagi siap menembak untuk kesekian kalinya.
“Heh…kurangaja! sema itu? Nambela balenggaku vatu tano! pakajaga komiu nha!” Seseorang muncul dari balik semak yang rimbun dengan suara keras. Dia berbahasa Kaili yang artinya “Kurang ajar! Siapa itu? kepalaku kena batu! awas kalian semua!” Feri sigap berteriak kencang, “Lariiiiiii… semua!”. Semua berlari menyelamatkan diri dari kejaran pemilik kebun. Mereka lari tunggang langgang tanpa henti hingga ke perbatasan kampung di tepi jalan besar.
Burung tidak dapat, kelapa muda juga tidak dapat. Dengan napas tersengal – sengal para bocah kampung itu menjatuhkan diri di rumput di tepi lapangan bola.
Salam Literasi
Astuti, S.Pd, M.Pd.
SMPN 14 Palu – Sulawesi Tengah