Leluhur atau nenek moyang pastinya terkait dengan generasi entah berapa tingkatan di atas kakek nenek. Sebagai seseorang yang terlahir di Denpasar Bali dari seorang ayah berasal dari suatu desa atau lazim disebut juga dengan negeri di bagian Timur Indonesia yakni kepulauan Kei, khususnya pulau Kei Kecil di kabupaten Maluku Tenggara, provinsi Maluku dan ibu berdarah Sunda asli dari desa kecil di kabupaten Sumedang Jawa Barat, ada rasa beruntung karena mewakili wilayah Timur dan Barat Nusantara ini juga wilayah tengah karena dilahirkan disana. Sedangkan besarnya di mana-mana di beberapa daerah Indonesia. Jadi bolehlah kalau dibilang orang Indonesia Asli
Selain itu sebagai seorang anak serdadu yang banyak disebut orang sebagai anak kolong, juga sempat juga mersakan hijrah berkeliling berpindah dari satu daerah ke daerah lain mengikuti tempat ayah bertugas. Mengapa anak-anak tantara ini disebut dengan anak kolong, karena konon katanya anak-anak ini hidup di asrama tentara zaman dulu dalam satu kamar yang tidak begitu luas dengan tempat tidur yang tinggi seperti di rumah sakit, Orang tua tidur di atas, anak-anaknya tidur di kolong, itu menurut cerita benar tidaknya walahualam.
Mekipun tidak lama berdiam di satu tempat karena harus berpindah ke daerah lain sempat juga menikmati suasana yang beragam dari sebagian kekayaan budaya dan adat istiadat bumi Nusantara ini selain juga banyak mengenal kawan baru. Belum lagi keindahan panorama alamnya yang asri penuh pesona dihiasi pegunungan dan pantai dengan air laut yang biru berkilauan membentang di kaki langit sejauh mata memandang. Tetapi ada kalau Pendidikan rasanya belum tuntas di satu sekolah sudah harus berpindah ke sekolah yang lain.
Menikmati suasana desa penuh kenangan masa kecil di wilayah Jawa Barat sudah biasa, karena sebagian besar waktu sampai beranjak dewasa saya habiskan di tatar bumi Parahyangan tempat leluhur darimana ibu berasal. Berkeliling ke berbagai daerah dari ujung pulau Sumatera sampai ke Papua di ujung Timur Indonesia juga sudah kujalani lewat perjalanan karena tugas-tugas yang diemban dalam pekerjaan.
Ada secercah kerinduan lama yang terpendam dalam dada, bahkan kerinduan yang membawa sebersit kepedihan yang sewaktu-waktu datang menyelinap dalam kesunyian yang hening dikala menyendiri. Rindu akan tanah leluhur nun jauh di Timur sana tempat ayah dilahirkan, Desa Ngufar atau lebih tenar dengan sebutan Wab Ngufar. Secercah rasa pedih ini terdimpan karena janji kepada almarhum ayah yang tidak sempat kupenuhi. Memang semasa hidup almarhum ayah, kami berdua pernah berbincang untuk mencari waktu menyempatkan diri mengunjungi negeri leluhur ini. Namun janji itu tidak sempat terwujud karena ayah berpulang ke pangkuan Sang Pencipta pada tahun 1982 diusianya yang ke 72 tahun, setelah beberapa lama menderita sakit.
Tak dinyana tak di duga atas seizin Tuhan Yang Maha Kuasa kesempatan menapakkan kaki di negeri leluhur itu datang juga. Adalah Kementerian Pemberdayaan Masyarakat (PMK) menggelar program tahunan yang dinamakan Ekspedisi NKRI, sebagai aksi sosial menyasar masyarakat di pelosok desa-desa terpencil utamanya yang terletak di Papua bagian Selatan. Di tahun 2017 ketika saya berumur 67 tahun, saya berkesempatan bergabung dalam suatu ekspedisi ke Papua bagian Selatan saya berkesempatan mengunjungi desa-desa yang berada disepanjang pesisir Timur pulai Kei kecil. Memang ekspedisi NKRI yang dikoordinasikan oleh Kementerian Pemberdayaan Masyarakat dan Kebudayaan ini bekerjasama dengan TNI Angkatan Laut dan TNI Angkatan Darat, khususnya Komando Pasukan Khusus (KOPASSUS) membawa misi kemanusiaan, khususnya bagai masyarakat yang berada di desa-desa mulai dari Kabupaten Muna dengan titik singgah di Ambon, Tual dan Dobo menelusur Papua bagian Selatan mulai dari Asmat dan berakhir di Merauke. Selama satu bulan mulai dari bulan Oktober sampai dengan awal Nopember kami mengarungi lautan dengan menggunakan kapal perang KRI Banjar masin dari dengan komandan Letnal Kolone (L) Stanley Lakehena. KRI Banjar masin ini merupakan satu dari dua kapal terbesar yang dimiliki TNI-AL serta merupakan hasil karya anak bangsa dari PT.PAL. Kami berangkat pada tanggal 3 Oktober dari Pelabuhan Tanjung Priok pada pukul 10.00 menuju Papua bagian Selatan dengan titik singgah Muna, Ambon, Tual Dobo, Asmat dan berahir di Merauke pada tepat pada tangga 28 Oktober untuk mengikuti upacara peringatan hari Sumpah Pemuda. Salah satu titik singgah dalam perjalanan ekspedisi NKRI ini adalah Tual di kepulauan Kei. Wilayah Kei ini terdiri dari dua pulau utama yang ada di gugusan Kepulauan Kei. Satu pulau Kei kecil dan satu pulau utama lainnya yakni Pulau Kei Besar.
Ketika memasuki Pelabuhan Tual, darah dalam tubuh terasa tersirap, gembira penuh haru meliputi perasaan dan tanpa terasa linangan air mata yang muncul mengalir membasahi pipi. Betapa tidak akhirnya saya dapat menginjakkan kaki di negeri leluhur ayah yang sebenarnya sudah lama saya rindukan. Ada janji kepada ayah untuk suatu saat kami berdua akan mengunjungi desa kelahiran ayah. Namun saya tidak sempat memenuhi janji itu, karena ayah berpulang pada tahun 1982 diusianya yang ke 72 tahun. Kei kecil ini adalah satu kecamatan, tidak terlalu luas. Ada 14 desa dan satu kelurahan di dalamnya. Ibu kota kecamatan berada di Langgur yang memiliki bandar udara. Langgur kini juga menjadi ibu kota kabupaten Maluku Tenggara yang merupakan pemekaran yang dipisahkan karena dibetuk kota baru yaitu kota Tual. Kecamatan ini terdiri dari 14 desa dan 1 kelurahan, yaitu Kelurahan Ohoijang Watdek. Meskipun berada di gugusan kepulauan, obyek wisata di Langgur, Maluku Tenggara, tidak melulu pantai berpasir putih atau terumbu karang. Di Langgur, ada gua bernama Gua Hawang letaknya di Desa Letvuan, gua ini menjadi salah satu obyek wisata yang memiliki kolam berair jernih dengan perpaduan stalagmit dan stalaktit. “Air di gua ini berasal dari aliran mata air Evu, memiliki kedalaman antara satu hingga tiga meter tergantung pasang surut air gua,” Selain keindahan pasir putih dan laut biru, Pulau Kei Kecil juga memiliki objek wisata rohani di Bukit Masbait, dari jelajah gua hingga keindahan Kota Tual dengan kampung warna-warni.
Ayah berasal dari satu kampung yang terletak dipesisir sebelah timur pulau Kei kecil. Banyak orang lebih mengenal orang-orang dari wilayah ayah ini sebagai orang Wab. Menurut catatan dalam bahasa Kei Wab berarti ikrar atau sumpah yang dilakukan oleh 4 desa yaitu Ngufar, Watngil, Ohoibadar dan Arso. Ayah berasal dari dari Ngufar. Sumpah ini sangat mengikat tali kekerabatan dan persaudaraan dari ke 4 desa itu secara turun temurun. Desa Ngufar berada di paling ujung. Dari 4 desa yang berikrar itu satu desa yaitu Ohoibadar semua penduduknya adalah pemeluk agama Islam. Di wilayah ini sempat dilanda kebingungan ketika terjadi kerusuhan di Maluku, termasuk di Maluku Tenggara karena terjadi bentrok antara sesama kampung berpenduduk Muslim dan Kristen karena ulah pihak yang tidak bertanggungjawab. Juga kerusuhan ini hampir-hampir mengoyakkan dan meluluhlantakkan persaudaraan di 4 desa yang telah lebih dari satu abad dikukuhkan lewat sumpah atau Wab yang dilakukan.
Ketika sampai di Pelabuhan Tual, setelah meminta izin kepada ketua rombongan, saya menyempatkan diri berkunjung ke kampung halaman ayah yaitu Ngufar. Dipelabuhan yang sudah dijemput oleh keponakan yang sorang Kepala Puskesmas kemudian kami bersama-sama berangkat menyusuri pantai bagian Timur. Di kampung ayah kami disambut oleh beberapa keponakan ayah dengan gembira dan peraaan penuh haru karena memang saya tidak memberitahu akan datang takut membuat kecewa mereka mengingat jadwal di setiap titik persinggahan KRI. Banjarmasin yang singkat.
Tetapi waktu yang singkat itu membekas dalam ingatan, karena saya sempat berkeliling kampung menikmati suasana pantai yang jaraknya hanya beberapa puluh Langkah saja dari rumah-rumah pendudk yang berjajar di sepanjang pantai. Hidangan tradisionalpun sempat saya nikmatai, karena di kampung ayah ini makanan pokoknya berupa umbi-umbian ada talas, singkong dan olahannya yang dinamakan enbal, ubi, ada juga sukun dan sayur daun papaya yang ditumis namaya aruan sirsir. Semuanya lengkap dihidangkan ditemani ikan bakar lengkap dengan sambal coclo-colo (kecap dengan ncampuran irisan, cabe, tomat, bawang merah). Ikan bakar itu yang ranya asa gurih karena masih segar baru ditangkap langsung dari laut. Cara menangkapnyapun tidak dengan dipanjing atau dijala melainkan dipanah. Sore hari setelah puas beramah tamah denngan sanak saudara dan menikmati hidangan
Ketika memasuki Pelabuhan Tual, darah dalam tubuh terasa tersirap, gembira penuh haru meliputi perasaan dan tanpa terasa linangan air mata yang muncul mengalir membasahi pipi. Betapa tidak akhirnya saya dapat menginjakkan kaki di negeri leluhur ayah yang sebenarnya sudah lama saya rindukan. Ada janji kepada ayah untuk suatu saat kami berdua akan mengunjungi desa kelahiran ayah. Namun saya tidak sempat memenuhi janji itu, karena ayah berpulang pada tahun 1982 diusianya yang ke 72 tahun.
Kei kecil ini adalah satu kecamatan, tidak terlalu luas. Ada 14 desa dan satu kelurahan di dalamnya. Ibu kota kecamatan berada di Langgur yang memiliki bandar udara. Langgur kini juga menjadi ibu kota kabupaten Maluku Tenggara yang merupakan pemekaran yang dipisahkan karena dibetuk kota baru yaitu kota Tual. Kecamatan ini terdiri dari 14 desa dan 1 kelurahan, yaitu Kelurahan Ohoijang Watdek. Meskipun berada di gugusan kepulauan, obyek wisata di Langgur, Maluku Tenggara, tidak melulu pantai berpasir putih atau terumbu karang. Di Langgur, ada gua bernama Gua Hawang letaknya di Desa Letvuan, gua ini menjadi salah satu obyek wisata yang memiliki kolam berair jernih dengan perpaduan stalagmit dan stalaktit. “Air di gua ini berasal dari aliran mata air Evu, memiliki kedalaman antara satu hingga tiga meter tergantung pasang surut air gua,” Selain keindahan pasir putih dan laut biru, Pulau Kei Kecil juga memiliki objek wisata rohani di Bukit Masbait, dari jelajah gua hingga keindahan Kota Tual dengan kampung warna-warni.
Ayah berasal dari satu kampung yang terletak dipesisir sebelah timur pulau Kei kecil. Banyak orang lebih mengenal orang-orang dari wilayah ayah ini sebagai orang Wab. Menurut catatan dalam bahasa Kei Wab berarti ikrar atau sumpah yang dilakukan oleh 4 desa yaitu Ngufar, Watngil, Ohoibadar dan Arso. Ayah berasal dari dari Ngufar. Sumpah ini sangat mengikat tali kekerabatan dan persaudaraan dari ke 4 desa itu secara turun temurun. Desa Ngufar berada di paling ujung. Dari 4 desa yang berikrar itu satu desa yaitu Ohoibadar semua penduduknya adalah pemeluk agama Islam. Di wilayah ini sempat dilanda kebingungan ketika terjadi kerusuhan di Maluku, termasuk di Maluku Tenggara karena terjadi bentrok antara sesama kampung berpenduduk Muslim dan Kristen karena ulah pihak yang tidak bertanggungjawab. Juga kerusuhan ini hamper-hampir mengoyakkan dan meluluhlantakkan persaudaraan di 4 desa yang telah lebih dari satu abad dikukuhkan lewat sumpah atau Wab yang dilakukan.
Ketika sampai di Pelabuhan Tual, setelah meminta izin kepada ketua rombongan, saya menyempatkan diri berkunjung ke kampung halaman ayah yaitu Ngufar. Dipelabuhan yang sudah dijemput oleh keponakan yang sorang Kepala Puskesmas kemudian kami bersama-sama berangkat menyusuri pantai bagian Timur. Di kampung ayah kami disambut oleh beberapa keponakan ayah dengan gembira dan peraaan penuh haru karena memang saya tidak memberitahu akan datang takut membuat kecewa mereka mengingat jadwal di setiap titik persinggahan KRI.
Banjarmasin yang singkat.Tetapi waktu yang singkat itu membekas dalam ingatan, karena saya sempat berkeliling kampung menikmati suasana pantai yang jaraknya hanya beberapa puluh langkah saja dari rumah-rumah penduduk yang berjajar di sepanjang pantai. Hidangan tradisionalpun sempat saya nikmati, karena di kampung ayah ini makanan pokoknya berupa umbi-umbian ada talas, singkong dan olahannya yang dinamakan enbal, ubi, ada juga sukun dan sayur daun papaya yang ditumis namaya aruan sirsir. Semuanya lengkap dihidangkan ditemani ikan bakar lengkap dengan sambal colo-colo (kecap dengan ncampuran irisan, cabe, tomat, bawang merah). Ikan bakar itu rasanya gurih kemanisan karena masih segar baru ditangkap langsung dari laut, istilahnya ikannya baru mati satu kali. Berbeda dengan ikan-ikan di Jakarta misalnya, yang sudah dibekukan dan matinya berkali-kali. Cara menangkapnyapun tidak dengan dipanjing atau dijala melainkan dipanah. Sore hari setelah puas beramah tamah denngan sanak saudara dan menikmati hidangan kami kembali ke kapal d yang berlabuh di Pelabuhan Tual, dan keesokan harinya pagi-pagi KRI Banjarmasin lepas jangkar berlayar menuju ke Dobo ibu kota kabupaten kepulauan Aru.