Surat dari Leiden
Penulis : Santi Syafiana, S.Pd
Asty sedang sibuk membaca tugas mengarang siswa di mejanya. Ia tersenyum bahagia. Kemampuan Bahasa Inggris mereka dalam meramu setiap kata menjadi cerita yang menarik, patut diacungi jempol. Jauh berbeda dari awal mula jumpa. Pemakaian tobe saja belum tahu. Apalagi pengucapannya, antah barantah.
Tak terasa setahun sudah Asty membersamai mereka dalam hal mendidik, mengajar dan menggali ilmu pengetahuan. Syahdu keharuan merembes di hatinya. Rasa sedih pun perlahan ikut merambat relung-relung jiwa. Dalam hitungan hari, masa baktinya habis. Ia harus kembali ke kampung halaman.
“Bu Asty, kok termenung?”Bu Rani ternyata sudah sejak tadi berada di samping Asty.
“Oh maaf Bu, saya sedang periksa tugas anak-anak!” Asty jadi gelagapan.
“Oo ya sudah. Ini ada surat Bu. Tadi Pak Pos mengantarnya ke sekolah saat Bu Asty di kelas.” Bu Rani menyodorkan surat beramplop merah jambu ke tangan Asty.
“Surat? Oh ya, terima kasih Bu,” Asty terkejut sekaligus penasaran dengan surat yang diterimanya. Dalam hati ia bertanya-tanya, siapa yang masih berkirim surat di zaman internet ini.
Membaca nama dan alamat pengirim yang tertera di amplop surat membuatnya terperanjat. Dari Nina, di Leiden Belanda.
Hei perempuan keren, apa kabarmu di sana? Apakah menghilang dari peredaran membuatmu bisa mengalahkan kecantikanku? Aku mendapatkan alamat ini dari adikmu. Sebenarnya sudah lama aku ingin mengirim surat tapi kuurungkan niat itu. Aku yakin kau sedang berbahagia di sana dengan siswa-siswamu.
Aku diterima di Universitas Leiden. Begitupun dengan Doni. Ini adalah tahun pertama kami di sini. Lelaki pecinta ikan salmon ini hampir setiap hari mendesakku mengirim surat padamu. Ada banyak hal yang ingin kami ceritakan. Namun tak akan mampu kutuliskan semuanya. Karena akan banyak pohon yang ditebang untuk menampung semua cerita itu di atas kertas.
Kau tahu? Aku merindukan laskar propana setiap hari. Tak ada propana jika atom karbonnya hanya dua. Kemarilah! Gapai impianmu. Impian kita. Kami sudah tak sabar menjadi kakak kelasmu.
Dari temanmu yang memesona
Nina
Membaca surat dari Nina, hatinya berdebar tak karuan. Denyut jantung Asty kehilangan ritmenya. Ia seakan disetrum aliran listrik bertegangan tinggi. Semangatnya seketika terpompa. Impiannya melayang-layang di depan mata dan kerinduan pada mereka begitu deras alirannya. Tunggu aku Tems, aku akan datang, tekad Asty.