Cinta Sama Dengan Nol (25)

Fiksiana, Novel39 Dilihat

Bulan Bintang

Langit masih biru di kala bulan berbentuk sabit muncul di antara arakan awan. Ia menampakkan rupanya dalam putih pucat. Seolah tak sabar berganti peran dengan matahari. Menyinari pekat malam lewat temaram cahayanya.

Asty memandangi benda langit yang tampak kecil dari  pintu rumah tempatnya berdiri saat ini. Lihatlah, bulan itu tak bercahaya. Ia hanya memantulkan sinar matahari. Dahulu orang percaya bulan memiliki cahaya sendiri. Namun seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terkuaklah kebenaran bahwa sinar bulan berasal dari matahari. Wah, canggih sekali Iptek ini. Bulan yang jauh dan tinggi di atas sana sudah pernah dijangkau manusia. Neils Amstrong nama astronot itu. Ia menjadi orang pertama yang melangkahkan kaki di bulan. Betapa kerennya ia. Betapa luar biasanya orang-orang di sekelilingnya yang ikut menyokong tercapainya pendaratan di bulan tersebut.

Tak lama, azan maghrib menggema. Jingga perak keemasan menguasai langit. Sebuah lukisan alam maha indah ciptaan sang pemilik alam semesta. Asty pun segera shalat dan mengaji seperti biasanya.

Setelah itu, Asty berjalan-jalan di halaman rumahnya. Kini, bulan dan bintang gemintang bertaburan di langit hitam. Malam telah memangsa sinar kuning keemasan senja. Alunan suara jangkrik menyemarakkan gulita.

Asty menengadahkan kepalanya. Matanya memandang hiasan langit, namun pikirannya mengenang masa lalu. Saat ia berjalan kaki dengan Nina dan Doni di malam hari menuju warung bakso Pak Lek dekat kosan mereka.

“Hei, kenapa ya bulan dan bintang-bintang itu berjalan mengikutiku terus. Apa karena aku cantik banget ya? hahaha,” Nina terbahak sendiri dengan pertanyaannya.

“Seolah-olah mengikutimu Nin, tampaknya aja begitu. Dasar Ge Er,” sahut Doni.

“Maksudnya Suhu?” Nina mengerjap-ngerjapkan matanya seolah-olah tak mengerti.

“Nin, jarak bumi tempat kita tinggal ini tiga ratusan kilo meter lebih ke bulan. Sangat jauh. Dengan jarak sejauh itu, sudut pandang matamu terhadap bulan akan tetap sama. Sehingga saat kamu berjalan, bulan dan benda langit lainnya seolah-olah mengikutimu.”

“Iya iya…serius banget sih jawabnya. Aku kan bercanda.” Seloroh Nina.

“Haha, padahal aku juga punya pertanyaan yang sama lo Nin. Mengapa mereka selalu mengikutiku.” Asty ikut nimbrung

“Hoalah, ternyata aku selama ini hidup di antara dua bocah lugu yang tak tahu apa-apa. Yo wis, gak usah dipikirkan sekarang. Besar nanti kalian akan mengerti sendiri. Makanya sekolah yang tinggi. Pelajari ilmu pengetahuan itu dengan sungguh-sungguh. Kita bahkan bisa ke sana kalau mau.” Doni bicara menggurui yang disambut tawa Asty dan Nina.

Mengingat percakapan itu, membuat Asty tertawa lagi. Betapa seru dan gembiranya persahabatan mereka. “Ahh, bagaimana kabar kalian di sana? Apa kalian sudah menikah?” Asty bicara sendiri.

Tinggalkan Balasan