Aku menyadari bahwa aku sakit asma ketika aku duduk diMA atau setara SMA, dari kecil sudah ada penyakit ini tapi karena pikiranku yang masih bersih, belum ada rasa beban, keingianan atau apapun asma jarang sekali menyerang asal tidak sangat capek karena bermain.
Beda ketika sudah semakin dewasa pikiranpun bermacam-macam singgah, mulai dari keadaan orang tua, ekonomi keluarga, cita-citaku, teman-teman sekililingku semua hinggap dalam kepala dan imajinasiku.
Apalagi sekolah dilingkungan pondok seperti saat itu, tidak ada mata pelajaran olah raga praktis penyakit ini kian merajalela.
Hampir setiap bulan ke rumah sakit dekat sekolahku, gratis juga ke dokter dekat rumahku, datang dan pergi penyakit ini. lambat laun aku belajar memahami diriku kapan aku kambuh kapan harus minum obat kapan harus istirahat.
Aku tidak seperti temanku yang lain, yang bebas bergerak dan makan apapun yang disukai es yang menggiurkan atau bakso yang amat pedas dan berwarna merah. pasti akan kambuh batukku pilekku dan sekaligus asmaku. setelah itu badan akan sangat lemah, lemas tak berdaya, nafas sangat lah berat atau mungkin seperti rasanya bernafas didalam air.
cita – cita ku masihlah tinggi membahagiakan ibukku, aku harus bisa mengendalikan asmaku aku harus bersahabat dengannya sakit atau tidak sakit tetap bersikap biasa saja.
lama aku belajar memahami diriku yang lemah ini, rapuh tak bisa banyak beraktivitas, kelelahan pasti akan sakit. sampai obat apapun sudah ku coba dan aku menyimpulkan kita yang harus berdamai menerima dia ada dalam diriku. mengajaknya bersujud kepadaNya untuk bersama-sama bahwa kita sama-sama lemah dihadapanNya.
Dia yang menciptakan aku dengannya. Dia pulalah yang menyeimbangkan kita, terima saja jangan pernah mengeluh. Berterima kasih saja atas kepercayaanNya kepada kita. Dan Allah tahu kita sanggup hidup seimbang denganNya.
Sama-sama tahu kapan harus beristirahat sejenak karenanya, kapan kita bebas darinya dan kita akan tahu dia akan datang dan kita pun sudah siap untuk bersama, beristigfar dengannya.
Allah mungkin mengirimnya untuk memberitahukan begitu sayang Dia kepada hambanya, supaya tidak lupa akan hakekat untuk apa kita diciptakan, “Sesungguhnya aku ciptakan jin dan manusia hanya untuk menyembah kepada Ku.”
Mungkin jika tanpa asma, aku akan berjalan dimuka bumi ini dengan pongahnya, kutepuk dadaku karena semua berkat kerja kerasku. Padahal daun yang gugurpun atas kuasaNya.
Sekarang ku bisa bersyukur Allah mengirim asma itu, andai tanpa rem itu, bagaimana aku bisa mengenali diriku yang lemah ini.
Terima kasih Tuhan atas kasih sayangMu yang nampak seperti beban untukku.