Abraham Raubun, B.Sc, S.Ikom
Asyik juga ketika menonton televisi sambil menikmati sekantong plastik kripik kiriman seorang teman dari Bandung. Semula terpikir ini kripik kentang, ternyata setelah melihat tulisan dalam kemasannya, di situ tertulis keripik gadung. Terdorong oleh rasa ingin tahu, segera tangan meraih ponsel mencari info lebih lanjut dari mbah Google.
Pernah mendengar nama tanaman Taring Pelandok? Itu sebutan di Malaysia yang ternyata ini di Indonesia dikenal dengan nama gadung. Lazimnya diolah menjadi keripik, tetapi ada juga yang mengonsumsinya sebagai makanan pokok.
Tampilannya menyerupai keripik kentang. Berwarna putih, rasanya renyah dan gurih. Makanan camilan ini banyak dijual di toko oleh-oleh tradisional. Tetapi siapa nyana bahan dasar camilan ini mengandung racun memabokkan bahkan bisa mematikan.
Keripik gadung dibuat dari umbi gadung yang sebenarnya merupakan umbi batang. Umbi-umbian merupakan bagian akar atau batang yang digunakan sebagai tempat menyimpan makanan cadangan tumbuh-,tumbuhan. Ada banyak jenis umbi-umbian yang dikenal sudah lazim dapat dimakan seperti singkong, ibu jalar, kentang dan sebagainya termasuk gadung.
Gadung serupa dengan ubi gembili, tetapi beracun. Ada catatan mengatakan istilah “gadungan” yang artinya palsu atau tiruan berasal kata gadung ini karena dapat serupa tapi tak sama yang bisa “menipu” orang yang memakannya. Ada juga jenis ular gadung (Ahaetulla prasina), dinamakan demikian karena warna dan bentuk tubuhnya menyerupai pucuk tanaman gadung yang kurus semampai.
Gadung nama asingnya Dioscorea hispida,
mengandung racun yang dapat mengakibatkan pusing dan muntah apabila salah atau kurang baik mengolahnya.
Umbi ini sering digunakan sebagai racun ikan atau melumuri mata panah. Sepotong umbi sebesar kepalan tangan saja cukup untuk menghilangkan nyawa seseorangk dalam waktu 6 jam. Efek pertama muncul rasa tidak nyaman di tenggorokan, yang berangsur menjadi rasa terbakar. Kemudian diikuti oleh pusing, muntah darah, rasa tercekik, mengantuk dan kelelahan.
Tetapi meski beracun, ada juga manfaatnya. Di Indonesia dan Cina digunakan sebagai obat luar untuk mengobati penyakit kusta tahap awal, kutil, kapalan dan mata ikan. Di Thailand, irisan dari umbi gadung dioleskan untuk mengurangi kejang perut dan kolik, dan untuk menghilangkan nanah pada luka-luka. Di Filipina dan Cina, umbi ini digunakan untuk membersihkan luka binatang yang dipenuhi belatung.
Umbi gadung mengandung lendir kental yang ada zat glikoprotein dan polisakarida yang larut dalam air. Glikoprotein dan polisakarida merupakan bahan bioaktif yang merupakan serat dalam bahan makanan larut dalam air dan bersifat hidrokoloid. Zat-zat ini dipercaya bermanfaat untuk menurunkan kadar glukosa darah dan kadar total kolesterol terutama kolesterol LDL (Low Density Lipoprotein) atau dikenal dengan kolesterol jahat. Juga mengandung diosgenin yang telah lama dipergunakan sebagai bahan baku pil pencegah kehamilan.
Catatan sejarah menunjukkan pada tahun 1628, ketika Batavia dikepung serdadu kolonial bahan makanan terbatas. Terpaksa masyarakat memakan singkong dan gadung. Selain itu gadung sudah dikonsumsi oleh masyarakat di pulau Jawa sejak tahun 1830 dan sebagian wilayah Timur Indonesia sebagai pengganti jagung dan sagu.
Informasi ini diperkuat dengan kebiasaan makan nasi yang mulai menyebar pada 1800 Masehi. Dijelaskan pada masa itu serdadu VOC jika bertugas ke kampung-kampung sering membawa nasi sebagai bekal makanan mereka. Nampaknya nasi belum dikonsumsi secara umum di abad ke 19. Umbi-umbian semacam gadung inilah yang dimakan pada masa penjajahan Kolonial Belanda.
Kandungan alkaloid dioskorina (dioscorine) yang ada di dalam umbi gadung dapat menyebabkan pusing-pusing. Mulai tahun 80-an, gadung dapat ditemui di pasar-pasar Indonesia, terutama di Pulau Jawa diolah berupa keripik.
Di Baling, Kedah-Malaysia, ubi gadung ini juga dijadikan sebagai makanan yang dikukus, setelah melalui berbagai proses. Di sana, ubi dimakan bersama campuran sedikit kelapa parut, garam, dan gula.
Sampai kini, gadung masih dianggap sebagai makanan orang miskin. Meski memiliki potensi dapat dijadilan beragam makanan, kebanyakan baru diolah menjadi makanan ringan atau camilan.
Suatu penelitian menunjukkan sehektar umbi gadung dapat menghasilkan 40 ton tepung gadung. Tepung gadung bisa diolah menjadi berbagai makanan seperti nasi gadung, roti gadung dam sebagainya. Memang pengolahannya memerlukan proses panjang untuk menghilangkan kandungan racun dalam umbinya.
Seperti di Ambon misalnya, irisan umbi gadung diremas-remas dahulu dalam air laut kemudian direndam kembali ke laut selama 2-3 hari sampai menjadi lembek. Setelah itu, baru dijemur.
Di Aceh irisan atau parutan umbi gadung (janeng) ini dimasukkan dalam karung atau keranjang dan dialiri air bersih yang mengalir terus menerus (misalnya dalam sungai yang mengalir) selama sekurang-kurangnys 24 jam atau lebih. Setelah itu dijemur sampai kering.
Di Bali, setelah gadung dikupas dan diiris-iris menjadi kepingan, maka dicampur dengan abu gosok. Kemudian direndam dalam air laut (atau dalam air garam), dan dicuci lagi dengan air tawar. Terus di jemur selama 3 hari. Untuk mengetahui apakah racun yang ada sudah hilang, maka biasanya dicoba diberikan kepada ayam, jika ayam tidak mabuk pertanda kandungan racun sudah hilang. Ada cara lain yang dilakukan masyarakat di Kebumen, Jawa Tengah. Setelah gadung dilumuri abu gosok, gadung dipendam dalam tanah selama 3-4 hari. Kemudian dicuci dengan air tawar sambil diremas-remas seperti mencuci beras. Apabila racun telah hilang, air cucian yang terakhir menjadi bening, tidak berwarna putih susu lagi seperti air bilasan sebelumnya. Memang proses pengolahannya agak ribet karena jika salah atau kurang baik bisa fatal akibatnya.
Itulah kisah tentang camilan gurih di balik umbi beracun ini. Memang agak memakan waktu lama menyiapkannya. Tidak secepat waktu kita menyantapnya.