Catatan Kecil Dari Penjurian Lomba Tulis Ultah I YPTD 2021

Edukasi127 Dilihat

Suatu pagi ada telepon dari Pak Thamrin Dahlan, “Bang, jadi juri lomba tulis, ya.” Saya kaget bukan karena dipilih jadi juri, tapi rencana saya ikut lomba tentu harus saya batalkan.

Sejatinya sejak reporter sampai redaktur di Tabloid “Mutiara”, grup Harian Sore “Sinar Harapan”, saya lebih banyak menulis soal sosial, terutama kesehatan. Belakangan saya lebih khusus menulis tentang HIV/AIDS karena ketika itu, tahun 1982, tidak ada yang tertarik menulis berita dan reportase HIV/AIDS.

Tapi, dalam berbagai lomba tulis, antara lain diselenggarakan oleh PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) dan instansi dan institusi lain, dan terakhir di blog (Kompasiana), saya justru ikut LKT (Lomba Karya Tulis) dengan berbagi topik: pariwisata, asuransi, air bersih, pangan, gender, dan lain-lain. Sudah ada 17 juara LKT mulai dari juara harapan sampai juara pertama.

LKT jugalah yang membawa saya terbang ke Manila, Filipina, mengikuti Kongres AIDS Internasional Asia Pasifik IV tahun 1997 sebagai hadiah juara pertama LKT tentang HIV/AIDS (LP3Y Yogyakarta dengan dukungan Ford Foundation).

Begitu juga hadiah LKT Pariwisata (1991), sebagai juara ketiga dapat tiket Merpati ke Padang dan voucher menginap di Hotel Ambacang dari, waktu itu Deparpostel. Ketika terjadi gempa hotel itu porak-poranda.

  1. Wartawan Diajak Main Golf

Sedangkan hadiah LKT Asuransi (1997), juara kedua, hadiah diserahkan di Batam, Kepri. Sudah ada rencana mau menyeberang ke Singapura sehingga paspor pun dibawa. Tapi, apa lacur hadiah uang tunai ternyata diambil di BDN (Bank Dagang Negara) di Jalan Juanda, seberang Bina Graha, Jakarta Pusat. Rencana batal. Di Batam 3 hari 2 malam dari Jumat sampai Minggu.

Nah, hari Minggu wartawan pemenang lomba (enam) main golf, terserah mau berapa hole. Busyet, jangankan main golf bikin berita golf pun saya tidak pernah.

Berita olahraga yang pernah saya tulis: tinju (Ellyas Pical vs Khaosai Galaxy/Thailand di Jakarta), bulutangkis (mewawancarai Hastomo Arbi yang ketika berangkat ke Bangkok untuk final Thomas Cup 1984 tidak diperhitungkan (sebagai tunggal ketiga) karena diperkirakan dua tunggal dan dua ganda sudah menang. Tapi, kedukan 2-2 dan Hastomo jadi penyelamat yang kemudian banyak dapat pujian dan disebut sebagai ‘Hanoman’.

Saya juga pernah ditugaskan bikin reportase tentang Icuk Sugiarto yang hanya mau dilatih (alm) Tahir Djide. Lepas subuh saya ke, dulu Stadion Utama Senayan, amati latihan. Tahir Djide sempat curiga, tapi setelah saya sebut media saya dia pun paham. Soalnya, salah satu peliput bulutangkis, terutama All England, wartawan “Sinar Harapan”, Supardi.

Sebagai pengetahuan umum Tahir Djide itu dosen sepak bola di, dulu IKIP Bandung, tapi dia pemain bola tangan dan pelatih bulu tangkis. DIa punya tempat latihan bulu tangkis di Bandung.

Selain itu saya juga sering jadi ketua tim juri dan juri lomba. Tiga LKT tentang HIV/AIDS hadiahnya (20 wartawan cetak, online dan radio/TV) ikut Pernas AIDS di Yogyakarta dan Makassar, satu lagi ikut Kongres AIDS Internasional Asia Pasifik IX di Bali (2009).

Nah, ketika membaca tulisan-tulisan LKT tentang HIV/AIDS kesalahan yang paling banyak adalah tata bahasa. Mulai dari membedakan kata depan dan awalan serta kalimat yang tidak sempurna. Selain tidak ada sumber bacaan dan narasumber yang kompeten. Ada yang mewawancarai ginekolog dan tokoh agama. Ini jelas salah nalar karena mereka tidak kompeten. Guru belajar psikologi tapi tidak bisa disebut psikolog. HIV/AIDS adalah infeksi virus di darah, maka dokter ahli yang tepat diwawancarai adalah ahli hematologi dan penyakit dalam.

  1. Pemakaian “di” dan “ke” Sebagai Kata Depan dan Awalan

Pengalaman menulis HIV/AIDS pula yang membawa saya jadi fasilitator, narasumber dan instruktur pelatihan wartawan dan aktivis tentang penulisan empati HIV/AIDS dari Aceh sampai Papua dengan kegiatan hampir menyentuh angka 250.

Di dalam 49 tulisan dari 34 peserta lomba tulis YPTD hampir semua ada kesalahan ejaan, tidak bisa membedakan awalan dan kata depan serta kalimat yang tidak sempurna.

Sebagai contoh judul ini: Teruslah Menulis di Terbitkan Buku Gratis. “di” dalam judul ini bukan kata depan tapi awalan sehingga harus disambung. Juga judul ini: MAKIN DI CICIP MAKIN MENGIGIT. “di” dalam kalimat ini bukan kata depan tapi awalan. Di dalam naskah tulisan juga ada yang tidak bisa membedakan “di” sebagai awalan atau kata depan.

Lihat saja iklan ini: Mobil Di Jual. Yang lain Di Kontrakan (ini kan artinya seseorang ada di kontrakan), yang pas adalah Dikontrakkan.

Maka, kapan, sih, “di” dan “ke” dipisah? Ya, sangat gampang asal ingat rumus ini: kalau menunjukkan tempat pisah!

Begitu juga dengan pemakaian kata “nya”. Banyak yang tidak pas. “nya” adalah kata ganti. Sebagai contoh: Rangkaian KA Parahiyangan Gambir-Bandung terdiri atas 11 gerbong. ResrotanNYA ada di gerbong 3. “nya” di sini menggantikan ‘rangkaian KA Parahyangan Gambir-Bandung’.

Penyiar TV sering sebut: kurs dolar hari ini sekian rupiah per dolarNYA. Ini rancu.

Banyak narasi ber ISBN. Ini tidak baku. Juga tidak ada penjelasan tentang apa untung rugi buku dengan atau tanpa ISBN.

Pemakaian huruf kapital pun perlu diperhatikan. Kalimat dengan huruf kapital tidak semerta lebih diperhatikan.

Dalam beberapa tulisan juga banyak terjadi salah pemakaian huruf kapital. Yang jelas awal kalimat kapital. Sedangkan dalam kalimat kapital dipakai kalau mengikuti nama: Kemarin presiden meninjau vaksinasi (presiden huruf kecil karena tidak mengikuti nama). Dia tinggal di Kabupaten Bogor (kabupaten kapital karena mengikuti nama).

Sebuah kalimat minimal ada tiga unsur yaitu subjek, predikat dan objek (SPO). Kecuali kata seru: Tolong! Ini sudah merupakan kalimat.

Saya pergi ke pasar. Unsur SPO tidak bisa dipindah-pindah, kecuali keterangan – SPO (K). Kemarin, saya pergi ke pasar atau Saya pergi ke pasar kemarin.

  1. Menghindar Jadi Plagiat

Pakailah kata-kata baku (dikenal dan dipahami secara luas dengan arti atau makna yang sama). Misalnya, kursi. Bandingkan dengan tempat duduk. Tempat duduk belum tentu kursi, tapi kursi adalah tempat duduk. Begitu juga dengan penulisan usahakan dengan kalimat denotatif (makna yang pasti).

Menghindar memakai kalimat majemuk, apalagi majemuk bertingkat karena bisa menghilangkan makna kalau tidak pas. Pakai kalimat pendek lebih aman. Namun, harus dengan variasi kalimat majemuk. Usahakan kalimat aktif.

Selain itu sebaiknya alinea jangan terlalu panjang. Perlu juga diperhatikan ‘bridge’ yaitu ide atau gagasan yang menyambungkan antar alinea.

Yang paling penting adalah menghindar plagiat, maka setiap kutipan sebutkan sumbernya. Jika hanya sebagai bahan bacaan ganti kalimat agar tidak sama dengan yang dikutip. Kabarnya Google bisa deteksi plagiat dengan akurat.

Tulisan saya tentang HIV/AIDS banyak di-copy paste, bahkan dilakukan oleh mahasiswa. Selalu saya kejar, bahkan saya tulis surat ke perguruan tinggi tempat mereka kuliah. Cuma, ada mahasiswa dari Indonesia timur yang sombong ketika saya tanya mengapa dia tidak sebut sumbernya. Soalnya persis 100% per alinea: Saya memang baca tulisan Bapak, tapi saya lupa apakah saya kutip. Ini mahasiswa model apa? Gelar doktor pun sudah beberapa yang dicabut karena plagiat.

Ada satu atau dua tulisan yang mengutip data, tapi tidak menyebut sumber. Ini jadi tidak akurat.

Yang paling lemah dari tulisan lomba YPTD adalah tidak ada informasi yang komprehensif tentang ‘menulis gratis’, semua serba tanggung jika dibaca oleh pembaca yang belum mengetahui YPTD. Jangan menganggap yang membaca tulisan akan mengetahui semua yang ditulis karena ada term of reference (tingkat referensi) dan frame of experience (tingkat pengalaman) pembaca.

Ini untuk ‘peer’: (1) Kapan “pun” dipisah? (2) Banjir yang menerjang Kampung Pulo, Jatinegara, Jakarta Timur, menyebabkan 25 KK mengungsi – Berapa orang yang mengungsi?

Salam Literasi!

Ilustrasi (Sumber: arab-oil-naturalgas.com)

Tinggalkan Balasan