KMAA-29. Menulis dari Apa yang didengar

Terbaru24 Dilihat

Menulis dari Apa yang didengar

#Menepis Kesulitan Menulis

Penulis ketika menulis salah satu novel berlatar dialek daerah, penulis mencoba melakukan observasi keberbagai media, di antaranya melihat berbagai macam seni yang mengandalkan suara, kebetulan mengangkat dialek Betawi, maka penulis mencoba melihat dan mendengar dialog dalam seni budaya Betawi, seperti Lenong dan Topeng Betawi. Setidaknya dengan melihat dan mendengar dialog tersebut memperkaya tulisan yang sedang penulis tulis.

Penulis juga mendengarkan ceramah para ulama Betawi dan terjun langsung berdialog dengan orang Betawi tersebut. Banyak yang penulis peroleh, sehingga menambah perbendaharaan kata.

 

Disamping itu juga melihat dan mendengar dari yuotube dan televisi. Dari media tersebut banyak timbul ide untuk menulis. Salah satu sinetron Dul Anak Sekolahan, dari film tersebut setidaknya menambah wawasan, bagaimana membuat sebuah novel. Karena pada dasarnya film itu tidak jauh beda dengan buku atau novel. Bahkan justru film dan sinetron itu berawal dari sebuah novel.

 

Jadi banyak yang bisa kita jadikan ide atau bahan untuk ditulis dari hasil mendengar. Dahulu ketika kita sekolah, para guru sering bercerita atau mendongeng. Bahkan cerita tersebut masih kita ingat dan terekam di memori. Sehingga ketika kita ingin menuangkan ke dalam tulisan mudah sekali, mengalir begitu saja.

 

Dahulu ketika penulis duduk di bangku Madrasah Aliyah Negeri (MAN) setingkat SMA, ketika upacara, pembina upacara bercerita tentang seorang santri yang tidak pernah berprestasi, hingga santri itu malu. Santri itu pulang, di pertengahan jalan hujan begitu lebatnya, santri pun mencari tempat berteduh. Ketika santri itu sedang berteduh, tetiba matanya terpana oleh sebongkah batu besar yang sedang terketesi oleh air. Batu yang keras itu berlubang oleh tetesan air yang lunak itu. Hingga santri itu berpikir. Santri itu mendapatkan jawabannya sendiri. Kenapa batu yang keras itu berlubang, padahal air itu sifatnya lunak? Karena air itu terus-menerus menghantam batu. Dari peristiwa itu, santri mendapatkan ilmu, bahwa untuk menjadi santri sukses harus belajar berkesinambungan. Nah dari mendengar pembicaraan pembina upacara, lalu terpatri dalam memori. Jadilah sebagai bahan untuk menulis.

 

Jadi lewat apapun bisa kita jadikanĀ  untuk bahan menulis. Cukup menderkan radio, ceramah, dan televisi. Kontennya bisa kita jadikan tulisan. Mudahkan!!!!

 

Tinggalkan Balasan