Kisahku sebagai Guru di Papua: Busur, Panah, Kapak, dan Cinta

Terbaru252 Dilihat

 

Bersama siswa yang aku cintai dengan tulus – dok Susana Alkorisna

 

 

Penulis: Susana Alkorisna

Mari berkisah bersama peluh yang aku nikmati setahun lebih di tanah Papua. Kisah ini aku alami selama menjadi guru penggerak daerah terpencil, tepatnya di Kampung Memes, Distrik Venaha, Kabupaten Mappi. 

Ini tentang sensasi diancam busur panah dan kapak oleh siswa yang aku cintai tanpa syarat, seperti orang tua ke anak. Kisah busur, panah, kapak, dan cinta ini aku bagi menjadi dua. Uniknya, kedua peristiwa berbeda tahun ini terjadi pada tanggal yang sama yaitu 27 November.

Kisah pertama: busur dan panah

Pada 2019 lalu, tepatnya ketika memasuki dua bulan aku mengabdi sebagai guru penggerak kabupaten, aku membayangkan, para murid akan menerima niat baikku memajukan pendidikan.

Hari-hari  dimulai dengan catatan indah pengalaman kedekatan antara guru dan siswa. Berulang aku bersujud syukur dengan kata yang tidak dapat mewakili betapa ajaib rencana Sang Khalik mempertemukan aku dan murid-muridku dalam saling belajar makna kehidupan.

Sepanjang hari hanya terlihat senyum ramah dan berusaha saling kenal lebih dekat sampai tidak ada sekat. Kedekatanku dan para muridku benar-benar seperti orang tua ke anak.

Guru sebagai orang tua anak di sekolah rupanya juga mengalami kesalahpahaman dalam mengartikan cara mengubah perilaku. Penyebab utamanya karena perbedaan latar belakang. 

Cara biasa dalam memberikan hukuman dianggap berlebihan. Pun sebaliknya. Alat berburu yang biasa dipakai warga setempat, yakni busur dan panah bisa mendatangkan rasa takut bagi guru pendatang yang hanya melihat panah dan busur dalam foto dari internet.

Perbedaan itu kemudian dicari jalan tengah dengan semangat dialog toleran untuk kembali bersatu tanpa mengabaikan niat memajukan pendidikan. Singkat cerita, kisah yang semula berwarna cemerlang diselipi sedikit warna kelabu, tanpa mengurangi keindahan pelangi niat tulus. 

Aku sampai benar-benar lupa, bahkan kemarin ketika melihat kembali perjalanan setahun mengabdi, kejadian panah dan busur itu menyadarkan aku bahwa setiap orang memiliki cara pandang masing-masing. 

Perlu waktu dan kesabaran untuk sungguh saling memahami perbedaan cara pandang budaya.

Kisah kedua: parang

 

Beranjak ke 27 November 2020, adegan berulang tanpa disadari persis terjadi setahun lalu. Seorang siswa setelah melakukan tindakan di luar peraturan mengancam dan membawa kapak ke sekolah untuk bertarung dengan teman yang mengkritik perbuatan tidak baiknya. 

Kronologi kejadiannya sengaja tidak ditulis supaya tidak ditiru sobat usia dini. Selebihnya biar menjadi perenungan untuk menangkap makna di balik kejadianya. Tanpa menghakimi dan mengklaim kebenaran menurut versi masing-masing. 

Bagi seorang guru, segala kejadian pelik di sekolah menjadi perkara pribadi. Juga menjadi tantangan menyusun strategi yang terus diperbaharui sesuai karakter anak yang dinamis mengikuti perkembangan waktu.

Perasaanku ketika mengalami kejadian kedua sama seperti ketika mengalami kejadian menakutkan di tanggal yang sama tahun lalu. Sama-sama menakutkan.

Beranjak dari dua kejadian tersebut, aku berpikir jauh ke depan. Jangan-jangan tahun depan senjata yang dibawa ke sekolah adalah parang atau alat berburu lainnya. 

Tahun ini ada yang berbeda. Jika tahun lalu kejadian itu dilaporkan ke polisi, kali ini meski getir sendiri, aku memilih menghadapinya. Aku sadar bahwa lari bukan solusi. Sebrutal apa pun, orang akan takluk dengan ketenangan dalam menghadapinya.

Kisah ini bukan agar aku mendapat simpati, melainkan untuk menginspirasi siapapun dan dimanapun para guru mengabdi demi pendidikan di negeri tercinta ini. 

Keyakinan dan niat tulus mencerdaskan anak bangsa akan selalu diberkati Pencipta dan direstui semesta.

Mengajar dengan penuh cinta di Papua- dok Susana Alkorisna

 

Apapun masalah dan cara menghadapinya, para guru tetap pribadi hebat yang berdamai dengan segala keadaan meski dalam diam. Kisah saya hanya secuil dari hasil perjalanan panjang mengikuti panggilan jiwa sebagai pendidik. 

Kembali tentang tanggal 27 November. Jika sebelumnya aku khawatir kejadian serupa akan berulang pada tahun berikutnya, kini  aku sadar bahwa memprediksi masa mendatang hanya dengan melihat masa lalu itu tidak benar. Belum tentu kejadian serupa akan terjadi tahun depan.

Aku tetap di sini, di Papua yang aku cinta sepenuh hati. Menikmati pelangi panggilan jiwa sembari yakin ketika aku tak lagi bertugas di sini, aku akan merindukan tempat ini.

Salam edukasi!

Susana Alkorisna, Guru Penggerak Daerah Terpencil  di Kabupaten Mappi, Provinsi Papua.

Tinggalkan Balasan

1 komentar