Wanita Tangguh Itu Ibukku
Di malam yang sunyi setelahku terbangun dalam mimpi indah bertemu dengan sosok seorang ibu yang begitu sangat berharga dalam hidupku. Di bawah payung langit, kurangkai aksara sebagai penawar rasa yang membuncah di jiwa. Kau adalah malaikat pertama di dunia ini yang memelukku dengan penuh cinta. Membersamaiku dalam suka dan duka serta menyayangiku tanpa henti, membuatku seperti sekarang ini. Kini hanya bayangmu, senyum indah itu yang menemani.
Ibu…
Senyumu masih kusimpan
Di sudut-sudut kamar
Saat hati gelisah
Mengatur arah
Kutatap bingkai-bingkai asamu
Aku rindu belaiamu, aku rindu pelukmu
Senyum yang kau ukir dulu
Menghias hidupku
Pada relung malam yang sunyi
Hadirlah kau dalam mimpi
Sekedar untuk melepas rindu yang menghimpit hati
Ibu… kau adalah sosok wanita yang sederhana namun begitu bersahaja. Berapapun nafkah yang di berikan bapak, kau terima dengan rasa syukur dan tak pernah mengeluh. Dengan berbagai usaha yang kau lakukan agar bisa menambah penghasilan untuk sekedar mencukupi kebutuhan hidup. Membiayai tujuh orang anak tidaklah mudah pada saat itu. Namun kau tetap tabah dan selalu menunjukkan kau adalah wanita kuat dan sabar.
Masih jelas dalam ingatanku saat aku menangis untuk meminta di belikan sepatu. Aku harus menuggu bapak pulang dulu. Sementara aku harus segera mengikuti les kegiatan olah raga saat itu. Sedangkan sepatu yang kupunya telah usang dan sedikit sobek. Terkadang aku sebagai seorang anak merasa iri pada teman-teman sepermainanku. Mereka memakai sepatu dan baju yang bagus-bagus saat pergi sekolah. Tas mereka berganti-ganti. Kadang aku malu dengan keberadaanku. Aku marah dengan ibu.
Tak tau apa yang di rasakan ibu aku hanya ingin ibu bisa menuruti keinginanku.
“Nduk, sabar ya sebentar lagi bapak pulang dan membawa uang nanti hal pertama yang ibu lakukan segera membeli sepatumu” ucapnya sambil mengelus kepalaku.
“Kelamaan ibu, sudah aku tidak usah ikut les saja,” jawabku dengan nada sedikit kesal.
“Jangan begitu nduk, sayang jika tidak ikut les, pakai saja sepatumu itu, untuk hari ini saja.”
Perintah ibu sambil mengambilkan sepatu yang masih juga tergeletak di samping meja belajar yang ada di ruang tengah rumahku.
Jika ingat hal itu aku merasa sangat menyesal, aku selalu ingin seperti mereka yang hidup berkecukupan tidak pernah sedikitpun mengerti keadaan ibuku. Rasa iri yang terbersit dalam pikiranku adalah hal yang harusnya tidak hadir dalam diriku. Ibu mengajarkanku untuk bersyukur atas pemberian Allah, tidak boleh berkaca pada orang yang dalam hal dunia di atas kita. Ibu mengajarkan aku untuk dalam hal dunia kita harus melihat ke bawah tapi jika melihat hal ibadah atau agama kita harus melihat ke atas.
***
Ibu selalu mengajarkan kesederhanaan pada kami baik dari cara makan ataupun berpakaian, saya dan adik serta kakakku yang belum menikah di belikan baju hanya satu tahun sekali di hari lebaran, itupun ibu harus bergantian dalam membelinya tidak di hari yang sama. Mengingat uang yang ibu miliki tidak cukup untuk membeli secara bersamaan. Sinar mata bahagia dapat aku lihat tatkala ibu melihat kami tertawa riang mencoba pakaian yang ibu belikan.
Ibu selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Beliau rela tidak memikirkan dirinya, kebutuhannya, yang terpenting adalah anak-anaknya. Sampai akhir aku sekolah di tingkat SLTA ibu selalu berusaha menemani aku belajar dan saat puasa senin kamis yang ibu ajarkan pada kami, ibu juga selalu menemani melakukan puasa. Di setiap habis salat juga di sepertiga malam ibu selalu doakan untuk kesuksesan anak-anaknya.
Banyak yang telah kau kurbankan untuk kami ibu. Jiwa ragamu semuanya telah kau berikan sepenuhnya untuk kebahagiaan kami. Rasa lelah tak kau rasa siang malam kau bekerja untuk kami. Hingga di suatu hari kau jatuh sakit. Ibu yang selama ini selalu menyiapkan segalanya kini aku harus bisa menyelesaikannya sendiri.
“Nduk maafkan ibu ya, sekarang kau dan adikmu harus bisa bantu ibu menyelesaikan tugas rumah setelah kalian pulang sekolah” kata ibuku.
“Iya bu, aku dan adik akan kerjakan semuanya , ibu harus istirahat dulu,“jawabku dengan sedikit kawatir tentang keadaan ibu.
Ya ibu sakit pada bagian perut. Kata dokter ibu sakit batu ginjal. Beberapa bulan ibu mengkonsumsi obat herbal. Berharap batu ginjal itu bisa hilang dan ibu akan sembuh. Kadang rasa sakit itu datang dengan tiba-tiba. Jika sudah demikian ibu sangat merasa kesakitan namun ibu hanya menahannya dan tidak mengeluhkan. Kami kadang hanya di suruh untuk mengambilkan minyak gosok untuk di oleskan bagian perut ibu agar rasa nyeri itu hilang, namun aku lihat ibu menggigit bibirnya dan sebentar memejamkan mata. Aku tahu ibu menahan sakit yang teramat sangat. Tidak tega aku melihatnya.
Pengobatan alternatif sudah ibu lakukan, namun tidak ada tanda-tanda ibu sembuh. Pada akhirnya bapak mengajak ibu untuk cek dokter lagi, dokter minta agar ibu di foto rontgsent. Benar adanya batu yang ada di ginjal ibu belum luntur dan jelas terlihat masih menempel disana. Ibu harus operasi. Mendengar hal itu aku sangat sedih sekali, tapi itulah jalan terbaik yang harus ibu tempuh. Saran dokter harus di laksanakan agar ibu terbebas dari rasa sakit itu. Kami ingin ibu sembuh. Kami ingin ibu kuat seperti dulu.
Biaya operasi tentu saja sangat mahal, maka Bapak segera minta rujukan ke puskesmas terdekat untuk selanjutnya akan periksa ke rumah sakit daerah. Sehari bapak telah mendapatkan rujukan itu. Selanjutnya di hari kedua ibu segera di bawa ke rumah sakit daerah. Di rumah sakit daerah ibu segera mendapatkan ruang perawatan. Satu minggu di rumah sakit itu namun belum ada tindakan sedangkan rasa sakit yang ibu rasakan semakin menjadi. Padahal sudah jelas untuk rujukan ibu harus di operasi namun belum ada tindakan sama sekali. Ibu hanya di beri obat. Bapak pun menanyakan kenapa belum juga di operasi? kata dokter masih menunggu antrian, kadang alasan karena dokter sedang cuti dan entah alasan apa lagi yang di berikan pada kami.
Ya Allah ya Rabb, beginilah nasib pengguna BPJS, mengapa pihak rumah sakit tidak memahami keadaan pasien mana pasien yang harus di prioritaskan. Akhirnya bapak meminta rujukan untuk operasi ke rumah sakit di ibu kota propinsi. Saat itu juga ibu di bawa ke rumah sakit yang lebih besar di kota Yogya. Setelah selasai mengurus syarat-syarat, ibu pun mendapatkan ruang perawatan dan juga sudah mendapatkan jadwal untuk operasi. Satu hari di sana ibu sudah di minta untuk puasa dan segera akan di lakukan operasi.
Detik-detik pelaksanaan operasi aku sangat kawatir, aku takut saat itu hanya bersama adikku. Kakak dan bapak masih di rumah untuk mengambil sesutu yang di butuhkan di rumah sakit paska operasi. Entah mengapa waktu terasa lama bapak dan kakakku saat itu belum kembali juga. Aku lihat ibu memakai baju operasi dan terbaring lemah di tempat tidur pasien dan segera di bawa ke ruang operasi.
Air mata menetes di pipi, “Ya Allah sembuhkan ibukku.”Doaku dalam hati. Adikku yang saat itu bersamaku juga tak kuasa menahan tangis.
“Dik, yang kuat jangan sampai ibu tau kita menangis. Jangan buat ibu sedih. Sudah hapus air matamu,” pintaku pada adikku. Adik pun segera memalingkan muka agar tangisnya tidak terlihat oleh ibu yang sesekali menahan sakit dengan menggigit bibir dan memejamkan mata.
Sebelum ibu masuk ke ruang operasi, aku dengar ibu berpesan padaku. Dengan suara lirih.
“ Nduk jangan sedih ibu tidak apa-apa ibu akan sembuh, doakan ibu ya. Ibu akan sehat lagi. Ibu sudah pasrah pada Allah, Allah yang memberi penyakit dan Allah pula yang akan sembuhkan, tugas kita berusaha dan menerima ganjaran ini dengan iklas,” kata ibuku.
Dalam keadaan sakit pun ibu masih menguatkan kami. Hingga dokter membawanya ke ruang operasi aku dan adiku masih berdiri di depan pintu masuk ruang operasi itu. Kami seperti tidak bisa bergerak dan berkata apa-apa. Seperti akan di pisahkan dengan ibu. Akupun menangis dan saling pandang dengan adiku tanpa bisa berucap, seketika kami meluapkan tangis dalam pelukan. Sebagai kakak aku harus bisa menguatkan adiku.
“Sudah dik ayo kita berdoa jangan menangis terus ,“ ucapku sambil melepas pelukan itu.
Satu jam waktu yang sangat lama , ya.. pelaksanaan operasi berjalan satu jam . namun sebelum ibu sadar ibu belum di keluarkan dari ruang operasi. Sementara satu jam hampir berlalu bapak dan kakak belum juga sampai di rumah sakit. Aku dan adikku hanyut dalam pikiran masing-masing. Kami membisu. Kadang kami di kagetkan pintu ruang operasi terbuka, namun ternyata bukan ibu yang keluar. Rasa was-was kembali hadir setelah dua pasien keluar dari ruang operasi.
“Mana ibu kok belum keluar juga.“
Pikiranku menerawang jauh membayangkan kemungkinan terburuk yang terjadi. Hanya doa yang bisa menguatkanku dan menghilangkan kekawatiranku pada ibu.
Satu jam lebih tiga puluh menit akhirnya ibu keluar dari ruang operasi, aku lihat ibu komat kamit membaca sesuatu sesekali merintih. Ibu sudah sadar namun belum sepenuhnya. Aku dan adikku mengikuti dokter yang membawa ibu. Untuk segera di pindah ke ruang perawatan.
“Termakasih ya rabb operasi berjalan lancar”.
Setelah dokter menyampaikan apa yang harus kami lakukan pada ibu setelah paska operasi. Dokterpun berlalu meninggalkan aku dan adikku. Kupandangi tubuh kecil ibuku, kupegang tangannya yang lembut sembari aku terus berdoa dan menunggu ibu sadar sepenuhnya. Ibu pun sadar dan memanggilku dengan lirih. Senyum tipis menghiasi wajahnya.
“Aku mau minum nduk, haus sekali,” pinta ibu.
“Bu, Ibu sudah sadar? Aku bangkit dari duduk dan mendekat ke wajah ibuku.
“Ibu belum boleh minum, menuggu ibu bisa keluar angin dulu,” kataku.
“Tapi aku haus,” lanjut ibuku.
“Sabar ya bu insya Allah sebentar lagi ibu segera bisa minum,”jawabku menenangkan ibu.
Menunggu beberapa jam baru ibu bisa minum. Alhamdulilah aku ikut merasakan hawa sejuk setelah ibu minum sedikit air putih. Bapak dan kakak pun tiba di rumah sakit. Segera menanyakan keadaan ibu, akupun menjelaskannya. Bapak minta maaf karena tidak bisa menunggui jalannya operasi.
Satu minggu ibu di rawat di rumah sakit selama itu pula kami bergantian menunggu dan menjaga ibu di rumah sakit. Kami baru merasakan betapa tugas ibu sangatlah berat. Di tinggal beberapa minggu saja kami merasakan kelelahan. Dengan ibu sakit aku dan adikku jadi tau bagaimana perjuangan ibu untuk keluarga. Selama ini kami tidak pernah memahami, kami hanya minta dan minta tak peduli ibu bagaimana mendapatkannya. Maafkan kami ibu. Terimakasih atas pelajaran berharga ini.
Ibu sudah kembali ke rumah dan beraktivitas seperti dulu, hanya saja paska operasi ibu harus lebih hati-hati, tidak boleh terlalu capek. Namun kadang ibu lupa dengan keadaanya, hingga ibu semakin hari semakin lemah dan sering jatuh sakit.
Ibu sangat bersyukur melihat putra putrinya telah jalani hidup selayaknya orang lain, mempunyai pekerjaan, mempunyai pasangan bahkan sudah punya anak serta telah memiliki rumah. Kini ibu telah tiada penyakit diabetes yang ia rasakan megantarkanya di peristirahatan terakhirnya.
Ku pejamkan mata, merasakan hembusan angin yang menyusup kulit. Mensyukuri semua nikmat yang telah diberi Allah Swt yang maha Rahman. Banyak pelajaran hidup yang telah ku dapati. Kini saatnya aku meneruskan perjuangan ibu.Wanita yang kuat dan Tangguh. Tenanglah di sana ibu semoga Allah selalu melimpahkan kasih-Nya dalam syurga-Nya yang indah.
#KarenaMenulisAkuAda
#Day40KMAAYPTDChallenge
Gunungkidul, 29 September 2021