Abraham Raubun, B Sc, S.Ikom
Di tahun 1800an sejarah mencatat penduduk Eropa rata-rata berbadan pendek. Seratus tahun kemudian (1980an) di kenal paling tinggi, kecuali Inggris. Menarik jika menelisik terjadinya hal ini. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi?
Telusur punya telusur ternyata Gross Domestic Product (GDP) dari suatu negara punya andil besar. Korelasi antara tinggi badan dengan GDP ini sangat besar. Jika negara makin kaya, tinggi badan rata-rata penduduknya semakin tinggi, juga negaranya semakin maju. Lihat saja negara Belanda misalnya, kini penduduknya paling tinggi di dunia.
Memang sejak awal abad ke 19 banyak negara yang masih miskin. Tinggi rata-rata penduduknya berkisar pada angka 160an cm. Baru di tahun 1960an ada negara yang makin maju, setengah maju dan tidak maju. Ini terefleksi dari rata-rata tinggi badan penduduknya.
Secara umum penduduk dunia sekarang ini lebih tinggi dari 100 tahun yang lalu. Untuk laki-laki dari 162 cm naik menjadi 171 cm, sedangkan perempuan dari 157 cm menjadi 159 cm.
Horton dan Steckel (2013) mencatat di Asia, sejak tahun 1900an sampai 2000an tinggi badan penduduk Jepang terus merambat naik. Diikuti Korea dan China yang meningkat tajam mulai di era 1960an. Di Amerika Selatan Brasil berada di posisi atas diikuti Columbia.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Di tahun 2016 ada studi yang menunjukkan laki-laki Indonesia terpendek di dunia. Jika dikaitkan dengan tingkat GDP dan kemajuan, tentu masih jauh tertinggal dari banyak negara.
Indonesia tengah berupaya keras terutama mengatasi beban ganda. Kekurangan zat gizi makro dan mikro, juga masalah obesitas yang mulai mengintip. Tak pelak pemerintah menabuh “genderang perang” melawan akar penyebab gagal tumbuhnya anak balita yang kini sudah mulai akrab disapa setiap bibir awan dengan kata Stunting.
Stunting ini akibat kekurangan zat gizi berkepanjangan. Daya tahan tubuh menjadi rendah, sehingga penyakit infeksi sering berkunjung ibarat pesawat ulang-alik.
Bukan hanya tinggi badan yang terpengaruh tetapi juga kapasitas otak. Tingkat intelegensinya jadi rendah. Tingkat IQ mereka jelas di bawah anak-anak yang tidak menderita stunting. Ujung-ujungnya merambah aspek ekonomi.
Ada fakta yang menunjukkan dari sisi pendapatan pun, di tahun 2010 anak-anak yang pernah menderita stunting, tingkat pendapatannya jauh lebih rendah dari mereka yang tidak stunting. Tinggi badannya terpaut 10-15 cm. Masa depan mereka pun tidak secerah mereka yang tidak stunting.
Pemerintah sudah mematok target 14% di tahun 2014. Untuk mencapai ini semua pihak harus “siaga satu”. Perintahnya harus ditangani secara konvergen. Artinya semua pihak harus bekerja keras secara sinkron, serasi dan harmonis. Satu gerak langkah yang seirama. Jauh melepas “ego” sektor. Ini “tidak semudah yang diucapkan” tandas Wakil Presiden RI, dalam arahannya beberapa waktu lalu dalam Rakornas bertema:”Bergerak bersama untuk percepatan penurunan stunting” pada 23 Agustus 2021 lalu.
Data yang diolah Tim percepatan penurunan stunting menunjukkan dampak stunting menghambat pertumbuhan dan ekonomi produktivitas pasar kerja. GDP akan hilang sebanyak 11%. Juga mengurangi pendapatan pekerja dewasa sebesar 20%.
Nampaknya pendapat umum yang menganggap tubuh pendek karena keturunan, sudah harus dikikis habis. Kesadaran akan pentingnya Gizi dalam kaitan negara maju, GDP meningkat serta SDM berkualitas yang kini didukung “political will” yang dipaparkan harus terus dikumandangkan dengan dunguh-sungguh.
Kalau tidak ditangani sekarang, kapan lagi. Jika bukan oleh semua pemangku kepentingan, utamanya insan Gizi siapa lagi?