Untuk kali ini ijinkan aku untuk tidak menyebut nama asli beliau. Sebab, adab dalam suku Batak, seseorang yang sudah berumah tangga, tidak boleh disebut nama, terlebih orang tua sendiri.
Maka nama panggilanku adalah Mak Ary, karena putra sulungku bernama Ary. Dan ketika Ary menikah serta memiliki anak, maka nama panggilanku berubah menjadi Oppung Azzam. Demikianlah adanya, aku tidak menyebut nama emak, sebagai rasa hormatku pada sosok wanita yang memberiku curahan kasih sayang tak bertepi.
Lahir di kampung Naga, sebuah dusun terpencil. Bahkan dengan perangkat secanggih google maps untuk melacak lokasi tak juga menunjukkan hasil. Ya, emak berasal dari keluarga petani yang bermukim di Naga, Kabupaten Simalungun.
Seingatku, ketika masa-masa SD, kami sering kerumah Oppung meski harus berjibaku, naik turun dilereng bukit, menahan bobot tubuh agar tidak terpeleset, karena sedemikian buruknya akses kesana.
Jarak dari simpang kerumah Oppung sangat jauh. Akses satu-satunya hanya jalan setapak, yang bahkan juga tidak bisa dilalui dengan sepeda. Tak jarang kami mendengar suara hewan seperti kera, siamang, dan lainnya ditengah perjalanan, namun keinginan untuk bertemu Oppung mengalahkan rasa takut. Setelah kembali dari rumah Oppung, maka terasalah kaki agak kebas, barangkali terlalu banyak berjalan.
Wajah cantik, kulit putih, hidung mancung milik Oppung Boru (Nenek) diwariskan ke emak. Ketika Oppung masih hidup, beliau menghabiskan masa tua dirumah kami, menganyam tikar setiap hari ditemani sirih sebagaimana kebiasaan para orang tua dimasa itu.
Emak, perempuan desa yang menikah dengan ayah, seorang Polisi, jika dipandang dari standar normal, tentulah sulit untuk menyamakan persepsi. Tapi ternyata tidak. Sebagai seorang istri abdi negara, yang kebetulan dianugerahi putra-putri teramat banyak untuk teori Malthus tentang Keluarga Berencana.
Sehari-harinya emak berladang. Hamparan tanaman jagung dan ubi ditanah seberang pancuran merupakan bukti kerja keras emak. Kelak, hasil ladang tersebut akan menjadi saksi, betapa perempuan desa itu mampu menyokong biaya rumah tangga. Itulah yang aku sebut bahwa emak mampu mengimbangi kecerdasan ayah yang abdi negara, tentu dengan kecerdasan emak sebagai seorang istri dan ibu.
Setiap hari emak bergelut dengan cangkul, parang, bahkan parang babat untuk membersihkan lahan dari gulma. Dengan mengenakan tudung seadanya (Ketika itu belum familiar topi lebar, andainya ada, aku juga tidak yakin emak bersedia mengenakannya), emak tekun meladang.
Terkadang, ketika ada tamu yang mencari emak, maka aku atau saudaraku yang lainnya memanggil emak yang berada diperbukitan dengan menggunakan suara maksimal. Cara kami memanggil emak supaya segera kembali kerumah merupakan salah satu hal praktis yang diajarkan, sebab jika harus menemui emak ke ladang, akan memakan waktu. Setelah dewasa, aku menjadi paham, kenapa suara kami, suku Batak cenderung keras.
Suatu ketika, aku menemani emak diladang. Aku bercerita banyak hal kepada emak, tiba-tiba sebuah pesawat melintas, fantasiku bekerja dengan cepat, “Mak, enak ya naik pesawat, nanti kalau sudah besar, mak kuajak naik pesawat”, ujarku. Seperti biasa, emak hanya menjawab singkat, “Banyak kalilah angan-anganmu” sembari tetap bekerja.
Jawaban emak tidak memuaskan hatiku. Aku bergegas kebawah pepohonan, mencari tempat paling nyaman untuk berkhayal. Maka, muncullah berbagai keinginan dalam benakku. Aku akan belajar lebih giat, cita-citaku jadi orang kaya yang memiliki uang berjuta-juta, itulah yang menjadi impianku. Akhirnya, aku terbangun setelah emak menepuk pipiku yang lelap dibuai mimpi. Panjangnya angan-angan membuatku tertidur dibawah pohon jengkol, tanpa merasakan aroma menyeruak dari buah jengkol yang sudah siap panen.
Keuletan emak berladang, diterpa terik matahari, ternyata tidak membuat kulit emak menghitam. Sejatinya, jika berpanas-panas disengat sang surya, wajah memerah dan kulit akan menghitam. Namun wajah dan kulit emak putih bersih, meski kena terjang panas dan pasti tanpa skin care.
Kelak setelah makin dewasa, aku memahami, bahwa keikhlasan emak berpanas terik demi menyokong hidup keluarga, adalah kunci utamanya, maka wajah emak tetap putih berseri. Aku yakin akan hal ini, sebab, tak jarang kutemui wajah-wajah yang tak pernah jeda dari rawatan skin care, kurang nyaman dipandang. Akan tetapi, sekali lagi, ini adalah pendapat pribadi.
Suatu waktu, hari rabu siang, aku ingat betul karena setiap rabu ada pekan di ibukota Kecamatan yang jaraknya 10 kilometer dari rumah kami. Aku berlari-lari menemui emak yang sedang memasak, dengan suara keras aku berucap: “Masihkah kenal aku?”. Emak terkekeh, dipandanginya aku, dan baju baru yang aku kenakan.
Emak tahu aku suka buat kejutan, maka mana mungkin beliau tidak mengenaliku hanya karena memakai baju baru?. Kenangan masa kecil seolah slide gambar yang berputar, mengingatkanku pada masa-masa sulit. Ya, sangat sulit, maka kami hanya bisa dibelikan baju baru setahun sekali.
Banyak hal yang kukagumi dari emak. Beliau adalah perempuan pekerja keras, tidak mau “Bertandang” ke tetangga jika tidak penting, barangkali itu juga yang membuatku kurang suka bertandang.
Emak juga seorang ibu yang solutif. Ketika kakak kami mengeluhkan bahwa ember besar untuk wadah piring-piring kotor yang akan dibawa ke pancuran dipakai untuk pakaian basah, maka emak segera memberi solusi.
Hal-hal kecil seperti itu terkadang membuatku terkesima. Jauh dilubuk hati aku berjanji, kelak jika jadi emak, aku harus bisa seperti emak yang cerdas mencari solusi. Meski, tak serta merta juga aku berkhayal menjadi emak muda pada saat itu.
Setiap pagi, emak minum kopi hitam, beda dengan ayah penggemar teh manis. Nikmatnya sesapan kopi emak membuatku tertarik untuk mencoba, yang ternyata memang sungguh sedap. Itulah awal ketertarikanku dengan kopi, hingga kini. Meski begitu, bukanlah kopi yang membuatku sulit tidur sebelum pukul 24.
Seperti perempuan Batak lainnya, emak tidak begitu perduli dengan penampilan. Sebab, berlaku filosofi “Anakkonhi do hamoran di au”, yang artinya anak adalah harta kekayaan.
Maka jika anda mendengar kisah-kisah inspiratif tentang perjuangan perempuan Batak menyekolahkan anak hingga kejenjang tertinggi, rela berpanas berhujan, bahkan lupa untuk memoles wajah dengan bedak dan pemerah bibir, itu benar.
Setelah acara makan malam yang harus dihadiri anggota keluarga dengan lengkap, maka emak mulai mencari posisi enak. Beliau menyandarkan tubuh kekarung beras didekat balai-balai tempat kami makan malam.
Tepat pukul 9 malam, kami sudah menunggu siaran TV dengan acara “Dunia dalam berita”. Ayah mewajibkan kami menonton, usai acara tersebut maka kami bertanya tentang apa saja yang belum dipahami. Yang paling betah berlama-lama diskusi dengan ayah adalah aku, sementara emak dan saudaraku yang lainnya sudah beranjak dari depan TV.
Butir-butir kenangan bersama emak, masih berlanjut pada episode berikutnya. Salam literasi dari bumi Kualuh, basimpul kuat babontuk elok.