MENGUNGKIT KAPASITAS APARATUR DESA

Terbaru28 Dilihat

Abraham Raubun, B.Sc, S.Ikom

Desa semakin diandalkan untuk membangun Indonesia. Terlebih menghadapi era globalisasi yang disertai pesatnya perkembangan teknologi canggih. Implikasinya menuntut kesiapan desa dari berbagai aspek.

Desa memang sudah ada sebelum NKRI terbentuk. Punya peranan dalam mewujudkam cita-cita kemerdekaan dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Karenanya diakui dan dihargai memiliki hak asal-usul dan hak tradisional serta kewenangan mengatur dan mengurus masyarakatnya.

Kini jumlahnya telah mencapai 74.962 desa, dan telah berkembang dalam berbagai bentuk. Untuk itu perlu dilindungi agar kuat, maju, mandiri dan demokratis. Ini akan menjadi dasar utama melaksanakan Pemerintahan dan pembangunan masyarakat desa yang adil, makmur dan sejahtera.

Tetapi dalam hal tingkat perkembangan masih sangat variatif dengan keberagaman kapasitas yang dimiliki. Terutama dalam hal menyelenggarakan Pemerintahan Desa.

Tugas dan Fungsi Pemerintahan Desa memang cukup kompleks. Ada yang terkait Pemerintahan, hasilnya diharapkan pelayanan publik menjadi baik. Ada pembinaan kemasyarakatan, tujuannya agar terwujud ketentraman dan ketertiban. Selain itu pembangunan dan pemberdayaan agar kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat meningkat serta tingkat kemiskinan menurun.

Untuk menggapai harapan-harapan itu jalan yang harus ditempuh tidak mudah. Banyak kendala yang menghambat. Salah satunya adalah kapasitas Aparatur Desa yang belum merata. Tercatat saat ini sebesar 63% Kepala Desa berlatar belakang pendidikan SMA atau yang sederajat. Sarjana 15%, SMP 17% dan masih ada 5% lulusan SD.

Kewenangan yang diberikan kepada desa pun cukup luas. Ada kewenangan berdasarkan hak asal-usul, kewenangan lokal berskala desa, serta kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota serta kewenangan lain yang juga ditugaskan. Kesemuanya harus berfokus pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Dari sisi regulasipun begitu banyak diluncurkan untuk mengatur desa dan harus dipahami dan diterapkan oleh Pemerintah Desa yaitu Kepala Desa dibantu perangkatnya.

Dari sisi rentang usia sebagian besar (75%) Kepala Desa berada pada kisaran usia produktif (25 -50 tahun). Namun sampai saat ini upaya meningkatkan kapasitas Aparatur Desa dari 74.962 desa dengan rata-rata personil 10-12 orang itu masih terbatas.

Karena itu arah kebijakan yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri melalui Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa khususnya Direktorat Fasilitasi Pengembangan Kapasitas Aparatur Desa, salah satunya adalah mewujudkan Peningkatan Kapasitas Aparatur Desa. Aparatur Desa dalam hal ini dimaknai sebagai seorang yang karena haknya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku memiliki kedudukan dan jabatan dalam kelembagaan desa yang sesuai dengan susunan organisasi dan tata kerja (SOTK) yang ditetapkan dengan perundang-undangan.

Kegiatannya dilakukan melalui Pendidikan Dan Pelatihan (Diklat) secara kolaboratif dengan semua pemangku kepentingan. Pendekatan ini dilakukan secara terencana, terukur, terstandar dan berkelanjutan di seluruh wilayah Indonesia.

Ada 4 komponen (Pilar) yang didisain dalam konsep Pengembangan Kapasitas Aparatur Desa tersebut. Pertama, penguatan pengetahuan, keterampilan dan sikap Aparatur Desa. Di dalamnya mencakup 4 strategi yaitu pelaksanaan proses dan kegiatan belajar sesuai karakteristik belajar Aparatur Desa atau kompetensi yang dibutuhkan.

Kedua, Penguatan sistem dan prosedur Pelatihan yang di dalamnya memuat 3 strategi yaitu harmonisasi strukrur dan instansi Pembina penyelenggara Diklat, perumusan dan harmonisasi kebijakan dan regulasi di berbagai tingkatan Pemerintahan untuk mendorong Diklat Aparatur Desa terpadu, penyediaan dan mobilisasi anggaran untuk mendukung Diklat Aparatur Desa.

Ketiga, Penguatan organisasi dan kelembagaan yang meliputi
Penguatan lembaga pengampu dan stakeholders Pelaksana Diklat Aparatur Desa, penerapan regulasi terkait standard dan mutu pelatihan Aparatur Desa,

Keempat, penguatan sistem informasi Dan koordinasi yang terdiri dari 2 strategi yaitu mengembangkan data base dan sistem informasi Diklat Aparatur Desa yang bersifat menyeluruh dan terintegrasi dengan kerangka monitoring dan evaluasi, Pengembangan dan pelaksanaan monitoring dan evaluasi secara berkala untuk memanfaatkan hasil sebagai umpan balik bagi pemangku kepentingan.

Tahapan dalam konsep yang diperkenalkan itu adalah Pertama, semua Aparatur Desa terlatih. Ini untuk meningkatkan kompetensi teknis Pemerintahan desa.Tahap berikutnya terbina agar tercipta tata kelola Pemerintahan yang baik, sehingga pada akhirnya berkinerja baik dalam menyelenggarakan Pemerintahan Desa untuk memenuhi standar Pelayanan Minimum Desa.

Salah satu tujuan pengaturan desa yang diamanatkan dalam undang-undang adalah mewujudkan Pemerintahan Desa yang professional, efisien Dan efektif, terbuka dan bertanggung jawab. Untuk itu pelaksananya yaitu Aparatur Desa dipersiapkan agar kompeten mencakup pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja yang memadai.

Untuk itu Aparatur Desa tentu harus memiliki kemampuan dasar yaitu kemampuan penyusunan regulasi, pengetahuan tentang Pemerintahan Desa dan pemahaman mengenai tugas pokok dan fungsi dalam jabatannya.

Selain itu memiliki kemampuan manajerial. Ini meliputi kemampuan pengelolaan SDM, Pelayanan publik serta pengelolaan keuangan dan aset desa. Kemampuan lain adalah kemampuan teknis dan kemampuan sosial kultural.

Kemampuan teknis meliputi penataan dan administrasi desa, penataan kelembagaan desa, pelaksanaan penugasan pemerintah. Sedangkan kemampuan sosial kultural antara lain mencakup hal-hal terkait integritas, kerjasama, komunikasi, Pengembangan diri dan orang lain, pengelolaan konflik dan kompetensi lain yang dibutuhkan.

Peningkatan kapasitas ini dilakukan secara berjenjang dan berkesinambungan. Selain proses belajar di Desa secara Mandiri, juga dilakukan pendampingan baik dari tingkat kecamatan yaitu Pembina Teknis Pemerintahan Desa (PTPD) juga dari kabupaten, provinsi maupun pusat bahkan oleh pihak-pihak non pemerintah sesuai dengan kebutuhan.

Pendekatan Diklat Aparatur Desa yang dilaksanakan menggunakan metode yang beragam, terutama yang mendorong proses Pembelajaran yang partisipatif sesuai dengan karakteristik belajar Aparatur Desa dan lingku gannya. Pada ujungnya diharapkan dapat mendongkrak belanja desa bagi pembangunan yang efisien, efektif secara menyeluruh.

Menilik sasaran yang akan dicapai melalui program Pengembangan Aparatur Desa, tentu ini semua mengarah pada SDM yang ada pada saat ini. Untuk mencapai SDM unggul dengan generasi emas di masa depan, tentu tak kalah penting juga membenahi “bahan bakunya” yaitu generasi berkualitas yang harus dipersiapkan secara dini, sehingga tercipta SDM yang bertumbuh kembang secara optimal. Siap memasuki era teknologi canggih yang penuh persaingan dengan bangsa-bangsa dari berbagai negara di dunia.

Upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas SDM dini ini perlu digalakkan secara sistematik dan berkesinambungan. Diharapkan Aparatur Desa dengan berbagai kemampuan yang dibekalkan melalui diklat saat ini dapat diwujudkan  melalui kewenangan yang dimiliki.

Tentunya terutama kewenangan berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan lokal berskala desa yang dapat diterapkan sepenuhnya tanpa mengesampingkan penugasan dari pemerintah di atasnya. Jika arus pengaturan dari atas terlalu deras diterapkan bagi desa, tentu makna kewenangan lokal berskala desa akan tersamar bahkan mungkin tersendat.

Semisal penerapan kewenangan lokal berskala desa untuk meningkatkan kualitas SDM berbasis masyarakat melalui posyandu dan PKK sebagai lembaga kemasyarakatan. Regulasi pengaturan dan pembinaannya telah tersedia. Namun nampaknya dalam hal alokasi anggaran untuk mendorong peningkatan kualitas Kesehatan dan gizi berbasis masyarakat yang bersumber dari pendapatan desa nampaknya masih terbatas. Tidak dapat dipungkiri sebagian besar alokasi pembiayaan pembangunan masih bertumpu pada Dana transfer (Dana Desa) yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

Padahal sementara ini pemerintah tengah giat mencanangkan program untuk menekan angka kejadian “stunting” yaitu suatu kondisi pada anak yang terjadi akibat kekurangan Gizi dalam waktu yang lama. Dampaknya diketahui tidak hanya menghambat pertumbuhan fisik, tetapi juga perkembangan intelektual yang berpengaruh pada kualitas SDM secara signifikan.

Target telah dipatok, prevalensi stunting harus mencapai angka 14% pada tahun 2024. Suatu upaya yang tidak mudah dan memerlukan kerjasama yang konvergen dari semua pemangku kepentingan.

Penanggulangan “Stunting” merupakan titik masuk (entry point) bagi upaya perbaikan gizi secara komprehensif sehingga memberikan bonus demografi generasi emas di masa depan. Setidaknya sudah nampak di tahun 2045 yang akan datang.

Menyikapi kebijakan pemerintah dalam upaya peningkatan kualitas SDM ini, tentu upaya peningkatan kapasitas Aparatur Desa diharapkan memberi kontribusi bermakna dalam penyelenggaraan pembangunan desa. Utamanya kemampuan mengelola keuangan dan aset desa serta memprioritaskan alokasi anggaran yang memadai dari sumber-sumber pendapatan desa untuk mendorong upaya perbaikan gizi generasi muda yang memberikan daya ungkit bermakna bagi peningkatan kualitas SDM desa di masa depan.

 

Tinggalkan Balasan