Es Kado dan Misteri Tembok Putih Sasana Hinggil Dwi Abad

Berita, KMAB, Kuliner, Wisata118 Dilihat

Jalan-jalan di Kawasan Alun-Alun Kidul belum selesai. Setelah sejenak beristirahat sambil menyaksikan kegiatan masayarajat yang berolahraga, bermain dan juga berwisata kuliner, perjalanan di lanjutkan lagi menuju sisi timur laut.

Berjalan terus ke utara, saya melewati persimpangan jalan Langenastrean Kidul. Di sini tampak Gapura bertuliskan Pasar Sore Langenastran.  Di sudut kiri juga ada tulisan Kampung Digital Langenastran.  Sementara di atas sebelah belakang tembok putih pembatas alun-alun juga ada spanduk bertuliskan Food Court Kampung Langenastran,  Rupanya kalau sore hingga malam hari di sini ada food court yang menambah keramaian di sini.

Di sebelah utara, terdapat Nasi Kuning Alkid Bu Yuni dengan spanduk besar yang ditempel di tembok putih.  Selain Nasi Kuning, dijual juga Lontong Opor dan Bubur Ayam. Bahkan terlihat bahwa gerai ini juga melayani pembelian dengan menggunakan aplikasi seperti Gofood atau Grabfood.

Di sepanjang jalan ini, ada juga penjual  Atun Lumpia dan Dewi Cakra Zuppa. Wah dua pedagang ini memang lebih suka menggunakan nama yang berbahasa Inggris karena menggunakan hukum MD dibandingkan Hukum DM.   Sementara tidak jauh di sebelahnya terdapat Soto Ayam Lenthol Cabang Pak Man Alkid.  Pada spanduk dijelaskan juga alamat warung atau resto di Jalan Parang Tritis.

 

Di sebelahnya, ada gerai yang bahkan menggunakan bahasa Jawa dengan tulisan “Sugeng Rawuh ing Gudeg Bukasih.  Bahkan ada penjelasan mengenai menu dan harga yang relatif terjangkau.

Setelah melewati jalan Langenastran Lor, masih ada lagi beberapa warung yang menjual berbagai minuman dan juga es Semangka.  Dan kita akan tiba d sudut Timur Laut Alun-Alun Kidul. Di sini terdapat kantor Balai Pemuda dan Olahraga DIY, sebuah gedung tua dengan arsitektur Jawa yang cantik.

Di sebelah barat gedung ini terdapat gedung terbesar dan termegah di Alun-Alun Kidul, yaitu Sasana Hinggil Dwi Abad.  Demikian tertulis dengan warna merah pada fasad depan gedung yang berbentuk pendopo. Di sini banyak orang sedang beristirahat, bahkan ada yang memarkirkan sepedanya.

Saya menaiki anak tangga menuju ke beranda. Tampak lantai ubin berwarna kuning tua menghiasi beranda dan anak tangga, sekilas kondisinya kurang terawat kebersihannya.

 

“Peletakan Batu Pertama Rebo Wage 29 Pebruari 1956/18 Redjeb Dal 1887, Peresmian Achad-Kliwon 7 Oktober 1956/2 Mulud Be 1888 (200 Th Kota Jogjakarta 7 Oktober 1756 – 7 Oktober 1956).” Sebuah prasasti menjelaskan sejarah Sasana Hinggil Dwi Abad sekaligus tanggal lahir kota Yogyakarta.  Dengan membaca prasasti ini kita juga lebih mengetahui mengenai hari pasaran serta nama-nama bulan dalam penanggalan Jawa.

 

Ada jalan kecil dengan konblok dan diapit tembok tinggi warna putih yang mengeliling Sasana Hinggil Dwi Abad ini. Jalan ini tampak sepi, tidak ada orang maupun kendaraan yang lewat.  Berjalan di sini, saya bagaikan kembali ke masa lampau melewati mesin waktu.  Yang mengingatkan akan masa kini hanyalah cermin jalan yang ada di sudut jalan yang sayangnya dalam keadaan retak.  Fasilitas umum yang mirisnya kurang terawat di kota Yogya yang sedang mengejar status sebagai Warisan Dunia. Yang menarik adalah Larangan Buang Sampah dan Kencing yang menjadi satu-satunya hiasan di tembok putih ini.

 

Setelah belok kanan, jalan dengan kedua sisi tembok putih nan tinggi masih dominan, di ujung jalan juga terdapat cermin jalan yang sama retaknya. Di sini, saya melihat pintu belakang Sasana Hinggil Dwi Abad yang tertutup rapat. Gedung ini tampak angkuh dan dingin sekaligus penuh misteri karena semua jendela yang besar pun tertutup rapat.

 

Tepat lurus di belakang gedung, ada jalan yang tertutup tembok penghalang, mirip seperti bangunan di dalam kraton yang sehabis pintu gerbang biasanya ada tembok penghalang sehingga kita harus sedikit berbelok untuk masuk.   Ternyata ada lapangan besar dengan sebuah bangunan besar dengan atap joglo di tengahnya.  Di sekeliling, tembok putih sangat dominan dan sebagian digunakan untuk tempat parkir kendaraan, termasuk odong-odong yang disiang hari tidak seindah di malam hari.

 

Kembali menuju Sasana Hinggil Dwi Abad, di salah satu tembok, terdapat sebuah sangkar besar yang beratap joglo.  Sangkar ini dalam keadaan kosong dan juga kurang terawat.  Akhirnya saya kembali ke beranda depan Sasana Dwi Abad dan duduk bersama penjual susu murni. Susu ini dijual  seharga 3000 Rupiah dan lumayan banyak anak-anak yang membeli.

 

Selain tukang susu, ada juga penjual Es Kado.  Nama Es Kado membuat saya sedikit penasaran sehingga saya tertarik untuk bertanya dan melihatnya. Ternyata es Kado merupakan jajanan tradisional jaman dulu yang sebenarnya adalah Es Potong.  Tidak lama kemudian, penjual Es Kado menggowes sepedanya meninggalkan Sasana Hinggil Dwi Abad menuju ke Jalan Langenastran Lor diikuti dengan pandangan mata saya.  Lebih lima belas menit dia menunggu, namun tidak ada seorang pun yang membeli es kado.

 

Yogyakarta, Juli 2022

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan