Sepatu Pertama

“Tidurlah Nak, jangan kau risau besok kita ke Jambi, kita beli sepatu ya.”

Emak membimbing tanganku ke bale. Hari sudah malam, jam dinding di ruang tengah berdentang 12 kali. Aku memang tidak bisa tidur malam itu, risau memikirkan sepatu. Alas kaki yang bernama sepatu itu tidak pernah kumiliki. Enam tahun duduk di Sekolah Rakyat (SR) kami anak anak dusun tidak pernah menggunakan sepatu ke sekolah. Sekolah memang tidak melarang bertelanjang kaki ke sekolah, karena demikianlah kondisi sosial ekonomi warga Tempino Jambi saat itu.

Aku risau, tiga hari lagi mulai belajar di SMP, aku belum punya sepatu. Risau pertama adakah sepatu yang muat dengan ukuran raksasa kakiku, risau kedua apakah emakku punya uang untuk membelikan sepatu pertamaku. Semua anak laki-laki Dusun Tempino telapak kakinya besar-besar, kekar melebar ke kiri kanan dan memanjang. Telapak kaki itu kokoh, kuat, keras, kapalan, karena seumur hidup tak pernah dibungkus. Telapak kaki yang tak mempan dengan kerikil, duri onak hutan, jalan buruk berlobang, semua rintangan di jalan ditembus dengan berlari dan berlari berkaki telanjang.

2 minggu lalu Kepala Sekolah mengumumkan hasil ujian yang kami ikuti di dusun sebelah Bajubang. Bapak-ibu guru dan orang tua serta Kepala Dusun bergembira ria karena murid kelas 6 dari SR milik PN Pertamina Tempino Jambi dinyatakan lulus semua pada ujian negara. Kami ditanya, mau melanjutkan ke mana karena di kampungku tidak ada sekolah lanjutan.

Bapak dan Makku berkata,

“Angkau harus sekolah terus, masuklah SMP di Jambi. ”

Seolah Mak paham jalan pikiranku soal sepatu, ibundaku orang minang ini tegas berucap,

“Pecahkan tabungan, kita beli sepatu.”

Melanjutkan sekolah di SMP wajib bersepatu, timbul kegelisahan dialam pikiranku betapa malunya ketika anak-anak kota menertawai aku tak beralas kaki.

Pagi-pagi aku dibangunkan Emak, kami sholat subuh berjamaah,

“Kita berangkat agak pagi agar bisa pulang menjelang Shalat Asar.”

Mak sudah berkemas dengan pakaian kebaya melayu dan selendang. Tadi samar-samar Mak bercakap serius dengan Bapak, kemudian terdengar seperti barang dibanting. Oh ada apa gerangan, ternyata Mak dan Bapak sepakat memecahkan kendi tabungan.

Mak membawa tas, uang tabungan itu dililitkannya di sapu tangan besar kemudian dimasukkan ke tas tenteng. Kami sarapan pagi. Bapak Ayahanda Dahlan bin Affan asal Bengkulu memandangku tanpa berucap sepatah kata pun. Beliau memang pendiam. Kulihat Mak mengambil daun pisang di kebun depan rumah. Mak membungkus nasi dan lauk seadanya sebagai bekal makan siang nanti. Aku diam saja, menyaksikan kegesitan Mak.

Sepatu Bata

Kami keluarga sederhana dengan gaji Bapak yang pas-pasan. 2 orang kakakku Uda Syahrir (Buyung) dan Nurhayati sudah sekolah di Jambi, satu lagi Uni Husna kuliah di Universitas Sriwijaya Palembang, sedangkan adikku Yahya masih kelas 3 SR. Kami harus hidup prihatin, mendahulukan pendidikan daripada kepentingan yang lain.

Setiba di Pasar Tempino, sudah menunggu beberapa mobil angkutan ke Kota Jambi. Aku dan Emak naik oto, sudah ada beberapa penumpang. Mak memilih duduk di ujung, aku dipangkunya, padahal masih ada tempat duduk kosong.

“Diamlah, jangan kau lasak.”

Mak memangku diriku agar tak kena bayaran ongkos oto. Badan besarku dipeluk aku didudukkan di atas pahanya. Oto merek Chevrolet tua mulai bergerak menempuh jarak 27 km, jalan rusak berlubang menuju Kota Jambi. Kasian Emak, aku mau duduk di lantai oto saja, tapi Mak melarang,

“Kotor nanti sarawamu.”

Oto penuh sesak. Di tengah jalan banyak penumpang yang naik, ada yang bergelantungan di pintu oto. Kami tiba di Kota Jambi. Berjalan cukup jauh dari terminal antarkota ke pasar, padahal ada mobil angkot. Ada 1 jam kami berjalan. Bagi kami orang dusun, berjalan kaki adalah hal biasa, tak terasa penat sedikit pun.

Mak mengajakku ke toko sepatu. Pilihan mamak toko sepatu BATA. Sepatu Bata kuat dan murah kata mamak. Penjaga toko melihat kakiku yang kekar tak beralas. Aku malu dipandang seperti itu. Kemudian dia mengambil contoh sepatu berwarna putih. Mak menyuruhku mencobanya,

“Lap kakimu dulu Nak (aku memang tak beralas kaki, kakiku kotor berdebu).”

Setelah kucoba, oh sempit, masihkah ada yang lebih besar. Penjaga itu pergi ke gudang mengambil sepatu ukuran yang lebih besar. Akhirnya setelah berulang-ulang bolak-balik ke gudang, didapatkan juga sepatu yang pas, Mak membeli kaos kaki. Disuruhnya aku memakai sepatu, dan Mak berkata,

“Cobalah angkau berjalan.”

Anak dusun yang pertama kali pakai sepatu, canggung, rasanya seperti berjalan di atas permadani, empuk dan sangat nikmat.

“Pakailah sepatu itu sampai kita pulang, biar angkau terbiasa.”

Tampak Mak melihatku tersenyum bahagia, menyaksikan betapa anaknya bernama Thamrin hilang kerisauannya semalam. Semua telah terbayar dengan kebahagiaan. Jadi juga aku sekolah di SMP Jambi pakai sepatu, tidak akan ada yang menyangka aku anak dusun.

Gagah bersepatu seperti anak-anak kota. Aku berjalan berdongak kepala, bukan sombong tapi rasanya begini ya jadi orang kaya (sementara). Di sinilah letak bagaimana kenikmatan sempurna itu dirasakan ketika kebahagiaan itu datangnya dicicil Tuhan Yang Mahakaya.

Kami keluar toko, menuju pasar. Mak membeli beberapa kebutuhan dapur. Matahari mulai naik sepenggalah, terasa lapar dan haus. Mak mengajakku mampir di salah satu kedai di kaki lima. Mak memesan 2 gelas air putih kemudian membuka bekal nasi yang tadi dibawanya.

Penjaga toko tersenyum, dia tahu kami tak akan membeli nasi di situ, hanya menumpang duduk. Mak menyuruhku makan, dibiarkannya aku makan dengan lahap, maklum masa pertumbuhan makanku banyak, Mak menyelesaikan suap terakhir bersamaan dengan azan Dzuhur.

Pesan Mak

Sembari berjalan pulang Mak berpesan kepadaku,

“Angkau rawat sepatu ini baik-baik, 3 tahun sekolah di SMP cukuplah satu pasang sepatu. Jangan kau gunakan selain pergi ke sekolah. Kalau berjalan angkat kakimu, jangan diseret nanti cepat habis alas kakinya. Cuci sepatumu seminggu sekali, Amak takkan membelikan lagi sepatu baru sampai angkau tamat SMP. Kita orang tak berpunya, sekolahlah yang rajin.”

Pesan panjang Mak disampaikan dengan suaranya pelan tapi tegas, Aku tersedu menangis betapa kasih sayang Mak tak terhingga. Kupeluk ibunda tersayang betapa sempurna kasih sayang nan tak terbilang.

Pesan Mak kuingat selalu. Selama 3 tahun di SMP, berjalan kaki ke sekolah yang jaraknya 5 km. Aku tak pernah punya uang jajan dan buku pelajaran selalu meminjam. Dalam keseharian pergaulan anak SMP, aku tahan-tahan keinginan bersenang-senang yang terkait dengan sepatu.

Aku rajin belajar sebagai pelampiasan menghilangkan keinginan bermain dengan teman-teman karena sepatu menjadi taruhan. Teman-temanku tertawa terbahak-bahak ketika aku melepaskan sepatu waktu kami bermain bola sepak.

Teman-teman putri SMP tersenyum geli melihat gaya jalanku kaya tentara, kaki diangkat tinggi-tinggi. Aku tahan kuat-kuat niatku bermain basket, takut sepatuku cepat rusak. Alhamdulillah 3 tahun sepatuku selamat dari kerusakan berat walau nyaris bolong-bolong di ujungnya, alas sepatu yang sebagian besar sudah aus, sehingga terpaksa kulapisi dengan kertas karton….

Alhamdulillah belajar di SMP V Jambi di kawasan Simpang Pulai aku selesaikan i tahun 1967 dan kemudian melanjutkan ke SMA II Talang Banjar Jambi. Tahun 1970 dipaksa Mak kuliah ke Palembang.

Kisah nyata ini hanyalah sepenggal kisah kasih sayang Mak dari sekian banyak perjalanan hidup beliau sampai di usia 90 tahun. Secara fisik aku hanya 17 tahun terus-menerus dekat dengan Mak, setelah itu hanya waktu liburan dan lebaran pulang kampung rindu bersua Mamak dan Bapak.

Walaupun berjauhan menuntut ilmu dan bekerja di Jakarta, Mamak selalu mengirim surat. Mak adalah seorang penulis hebat, menyampaikan nasehat lewat suratnya berlembar-lembar ditulis dalam ejaan lama. Ya Makku adalah seorang Penulis.

Keprihatinan, kesederhanaan dibingkai dalam kasih sayang Mak Hj Kamsiah binti Sutan Mahmud telah membuat kami anak-anaknya survive dalam berkehidupan. Ajaran moral dan etika sopan santun membekas dalam keseharian.

Kasih sayang Mak tidaklah selalu berbentuk uang, namun lebih dari itu dalam bentuk doa dan perhatian sepenuh hati, kasih sayang berbagi untuk semua anaknya. Kasih sayang Mak sepanjang jalan kasih sayang anak sepanjang penggalan.

Ya Allah, berikanlah syurga untuk Ibundaku Hajjah Kamsiah binti Sutan Mahmud dan Ayahanda Haji Dahlan bin Affan. Allahuma Firli waliwalidaya warhamhuma ,…. Amin Ya Rabb.

Salam Literasi

BHP 170722

#KMAB

Tinggalkan Balasan

1 komentar

  1. kasih sayang Amak yang tak tergantikan . Cerita yang sangat menginspirasi . Tak terasa menetes air maymta ketika membaca . Terkenang akan almarhum Ama dan Ayah Elok yang sering bercerita bagaimana susahnya hidup dan sekolah di zaman dulu . Berjalan kaki kesekolah yang sangat jauh . Dan Almarhum Ayah juga menceritakan pentingnya pendidikan . Dan letakan adab diatas ilmu . Semoga almarhum orang tua aAyahanda TD dan Elok berada di Jannah .insyaallah Aamiin