“Ayo kita berangkat, Rani!”
Mendengar suara ayahnya Rani pun bergegas. Dia memasang sepatunya. Setelah itu segera keluar rumah.
Minggu pagi adalah waktu bagi Rani berolahraga. Setiap hari Minggu mereka berlari pagi. Taman kota adalah tujuan mereka.
Rani menyusul ayahnya. Ayahnya telah lebih dulu tiba di gerbang kompleks. Keduanya pun berlari menyusuri jalan raya.
Jalanan masih sepi. Rani berlari berdampingan dengan ayahnya. Mereka berhenti saat di lampu merah.
Rani dan ayahnya melambatkan lari mereka. Keduanya pun berjalan biasa. Mereka menunggu lampu hijau menyala.
Saat di lampu merah, Rani melihat sesuatu. Ada hal tidak biasa dilihatnya. Banyak orang membawa kardus.
“Mereka lagi apa, Ayah?” tanya Rani memandang salah seorang di antaranya.
Orang itu sedang menyodorkan kardus. Orang-orang yang berhenti terlihat memberikan sejumlah uang. Sebagian melambaikan tangan.
Ayah Rani pun memberikan penjelasan, “Mereka sedang menggalang dana, Rani.”
“Dana untuk apa, Ayah?” tanya gadis kecil berusia 12 tahun itu lagi.
“Mereka menggalang dana bantuan untuk korban gempa,” jawab ayahnya.
Rani menganggukkan kepala. Dia memahami penjelasan ayahnya. Ayahnya tersenyum ke arahnya.
“Rani mau menyumbang juga? Ini pakai uang Ayah,” kata ayahnya merogoh saku.
Rani menganggukkan kepala kemudian menjawab, “Tidak usah, Ayah. Pakai uang saku Rani saja, ya.”
“Oke,” jawab ayah Rani sambil menyeberang.
Setelah Rani memberikan sumbangan, dia menyusul ayahnya. Keduanya melanjutkan lari. Mereka berlari setelah tiba di seberang jalan.
Tidak lama kemudian, mereka pun tiba di taman kota. Taman kota yang hijau itu ramai. Banyak orang sedang berolahraga.
Rani mengikuti ayahnya keliling taman kota. Di salah satu sudutnya Rani melihat orang bekerja. Seorang laki-laki paruh baya sedang menanam pohon.
Ayahnya mulai menjelaskan kepada Rani. Rani menyimak sambil berlari kecil. Rambutnya yang dikepang dia terlihat bergoyang-goyang.
“Rani tahu tidak manfaat menanam pohon?” tanya ayahnya saat menghentikan larinya.
Keduanya melakukan pendinginan. Sambil pendinginan, Rani pun menjawab. Menurut Rani supaya lahan tidak kosong.
“Betul, Rani. Selain itu apa lagi kira-kira?” tanya ayahnya sambil menarik napas.
Rani pun menjawab, “Apa lagi, ya? Rani tidak tahu, Ayah.”
Ayahnya tersenyum sambil meluruskan kaki. Setelah itu membungkukkan badan. Setelah menegakkan badan, dia kembali menjelaskan.
“Jadi, manfaat lain penanaman pohon di kota adalah mengurangi polisi udara,” kata ayah Rani.
Sesaat kemudian ayah Rani melanjutkan penjelasannya, “Selain itu, juga dapat mengurangi risiko bencana banjir.”
“Wah ternyata banyak manfaat menanam pohon, ya, Ayah,” kata Rani.
“Iya, dong! Pastinya,” jawab ayah Rani sambil memutuskan beristirahat.
Keduanya meminum air mineral yang dibawa dari rumah. Setelah itu, Rani pamitan kepada ayahnya. Dia ingin berbelanja.
“Hati-hati. Ayah tunggu di sini, ya,” kata ayahnya.
“Siap, Ayah!” jawab Rani sambil berlalu.
Rani pun menuju kompleks pedagang kaki lima. Di sana Rani berkeliling. Setelah itu dia pun berbelanja.
Saat hendak kembali menemui ayahnya, Rani berhenti. Dia melihat laki-laki paruh baya itu lagi. Laki-laki itu masih sibuk menanam pohon sendirian.
“Boleh saya bantu, Pak?” tanya Rani sambil berjongkok.
Laki-laki itu tersenyum dan menjawab, “Ayo kalau kamu mau, Nak.”
Rani pun mulai membantu laki-laki itu. Dengan cekatan dia mengangkat tanaman. Sementara laki-laki itu menggali beberapa lubang.
Keduanya bekerjasama menanam pohon. Beberapa pohon akhirnya berhasil ditanam. Laki-laki itu mengajak Rani istirahat.
“Kamu kenapa mau bantu Bapak, Nak?” tanya laki-laki itu.
Rani menjawab, “Soalnya Rani tahu manfaat menanam pohon, Pak. He he he.”
“Anak pintar. Terima kasih, ya. Bapak mau pulang istirahat dulu,” kata laki-laki itu sambil berlalu.
Rani pun bangun dan meninggalkan tempat itu. Dia menuju tempat ayahnya menunggu. Di sana ayahnya menunggu cukup lama.
“Kamu ke mana saja, Rani?” tanya ayahnya.
Rani pun menceritakan pengalamannya. Ayah Rani terlihat bangga. Keduanya pun memutuskan untuk pulang.
– mo –