Berusahalah Sendiri Pasti Bisa (KMAB-34)

Terbaru25 Dilihat

Berusahalah Sendiri Pasti Bisa

Hiduplah dua keluarga di sebuah kampung. Kedua keluarga tersebut berbeda status keluarga Badu tergolong keluarga berkecukupan, sementara  keluarga Budi keluarga sederhana.

Badu hidup serba berkecukupan, semua fasilitas hidup tercukupi, Budi tak harus berbuat sesuatu, karena serba ada dan dimanja oleh orang tuanya. Apapun yang Badu pinta selalu ada. Artinya tak perlu usaha.

Badu jarang bergaul dengan anak sebayanya di kampung. Maklum anak orang berada. Biasanya orang berada main dengan komunitas yang setara dengannya.

Berbeda dengan Budi, hidup penuh kesederhanaan, jika ingin sesuatu Budi harus berusaha dahulu, baru mendapatkan.

Sebagai anak kampung Budi tak beda dengan anak kampung pada umumnya. Suka memanjat pohon, mandi di sungai, main ketapel, dan lainnya sebagainya.

Karena sering mandi di sungai Budi bisa berenang. Awalnya Budi tidak bisa, karena sering berlatih dan berlatih akhirnya Budi mampu berenang menyeberangi sungai.

Suatu hari terjadi banjir bandang di kampungnya, menenggelamkan separuh kampung. Banjir bandang tak pernah pilih kasih semua digulung secara bersamaan. Banyak yang ditenggelamkan oleh ganasnya banjir bandang. Budi dalam kondisi terseret arus banjir, ia melihat lima meter darinya ada sebatang pohon. Dengan bermodal kepandaian renang ia mampu menggapainya.

Sementara Badu, yang hidupnya selalu dimanjakan tidak siap menghadapi apa yang terjadi pada dirinya. Ia tak mampu menggapai sebatang pohon yang tidak jauh darinya, akhirnya ia tenggelam dan hilang diseret air hingga ke hulu sungai.

Alkisah ini hanya sebuah gambaran tentang mereka yang tidak pernah melatih diri dan hanya berpangku tangan serta berharap belas kasihan dari orang lain.

Sering kita temui, ada tepikal orang atau mungkin diri kita sendiri, yang selalu hidupnya bergantung pada orang lain, padahal punya potensi diri, hanya malas untuk berusaha.

Nah, bagaimana dengan mereka yang berprofesi sebagai seorang pendidik? Apakah harus terus meminta belas kasihan teman seprofesinya. Padahal ia pasti bisa, jika mau berusaha. Apalagi zaman sekarang di mana mengakses pengetahuan mudah sekali, cukup dengan berselancar di Internet . Tinggal ketik apa yang kita kehendaki, maka bertebaran ribuan yang kita kehendaki.

Tidak mungkin seorang pendidik tidak bisa membuat sesuatu yang  berhubungan dengan keprofesionalannya. Bukankah di bangku perkuliahan diajarkan. Andaikan berbeda ya, paling-paling hanya berubah bajunya saja, tapi isinya sama.

Jika kita selalu bergantung kepada orang lain, dikhawatirkan jika gantungan itu tidak ada, tak ubahnya seperti Badu tenggelam karena enggan belajar.

Berusahalah sendiri, biarkan jelek yang terpenting kita sudah berusaha sendiri, lambat laut, jika kita terus meng-upgrade diri, kita akan menjadi tahu, bahkan menjadi pakar.

Jangan sampai kita mengatakan sesuatu kepada anak didik kita, sementara diri kita enggan untuk melakukannya.

Tinggalkan Balasan