Abraham Raubun, B.Sc, S.Ikom
Sekelompok kader Posyandu berkumpul di satu Puskesmas. Sharing pengalaman khususnya pengukuran berat badan lewat penimbangan dilakukan. Hampir semua kader menyampaikan penimbangan dilakukan pada anak yang datang ke Posyandu. Tidak semua anak datang dengan ibunya, sebagian diantar nenek atau anggota keluarga yang lain. Jadi penyuluhan tentang tumbuh kembang anak hasil penimbangan nampaknya kurang mengena sasaran.
Memang tidak semua anak datang setiap bulan secara rutin. Hal seperti ini tentu kalau mau dibuat grafik pertumbuhannya agak sulit karena data tidak lengkap.
Tapi yang menjadi persoalan terletak pada data hasil penimbangan itu. Ketika diungkit nampaknya cukup untuk dilaporkan ke Puskesmas. Bagaimana selanjutnya putuslah ceritanya. Tak berujung pangkal atau punya arti lagi. Kader yang melaporkan lalu dapat informasi apa sebagai umpan balik, apalagi tindakan aksi sebagai solusi atas adanya masalah pada pertumbuhan anak dari hasil penimbangan berat badan yang dilaporkan. Kesemuanya antara ada dan tiada.
Lebih jauh dari itu, sebagai contoh saja, kepada mereka diperlihatkan tiga macam grafik pertumbuhan, lalu ditanya mana yang menunjukkan terjadinya pertumbuhan, mana yang tidak pada anak. Tampak jelas keraguan yang mengindikasikan ketidak pahaman tentang makna grafik yang disodorkan.
Ini baru gambaran dari satu wilayah yang melaksanakan kegiatan penimbangan di Posyandu. Lalu kalau ditarik lebih jauh ke tatar nasional gambaran seperti apa yang diperoleh. Data penimbangan berat badan anak terhimpun begitu banyak. Tetapi sejauh mana diolah menjadi informasi dan diinterpertasi tidak jelas. Kalaupun ada mungkin terbatas sekali.
Pertanyaan yang muncul apakah ini dianggap sebagai masalah atau bukan. Jika ini dianggap bukan masalah, maka tepatlah makna pepatah daerah Sunda ” Gugur tugas asal jiga” yang dimaknai melaksanakan kegiatan asal-asalan. Pokoknya mejalankan tugas atas perintah kebiasaan yang rutin dilakukan.
Soal pemahaman mengapa tugas itu dilakukan, apa manfaatnya atau bagaimana melakukan dan memanfaatkan hasil penimbangan, nampaknya masih “Jauh panggang dari api”.
Hal ini menjadi salah satu keprihatinan sekelompok pemerhati gizi yang sudah malang melintang menggumuli permasalahan tumbuh kembang anak lewat pengukuran berat badan, baik dibandingkan terhadap umur maupun tinggi badan. Masalahnya rumit, terkait ranah teknis di lapangan sampai ke tatar kebijakan.
Kondisi ini tentu memprihatinkan. Harus ada “revolusi” merubah mind-set. Lalu apa langkah kongkrit yang bisa dilakukan. Mari kita belajar dari apa yang ada di lapangan, lakukan apa yang kita dapat lakukan, lalu ajarkan dan duplikasikan.
Ada seonggok data yang dikirimkan dari Posyandu kepada kelompok pemerhati Gizi. Masih merupakan angka yang belum bisa dipahami. Begitu dilakukan analisis tentu mulai dipahami dan sudah jelas pesan apa yang akan diteruskan/diprioritaskan. Lewat interpretasi diperoleh informasi yang sudah jelas dan berarti serta siap dilakukan aksi atas dasar rekomendasi. Selain itu tentu diperlukan informasi lain untuk memperkuat rekomendasi serta data apa lagi yang diperlukan untuk analisis informasi berikutnya. Ini menjadi daur ulang berkelanjutan dan berkesinambungan yang harus tekun dilakukan.
Sejatinya kita dapat memberi contoh cara mengubahnya menjadi informasi serta menginterpresasi lalu melakukan aksi. Ini jadi kegiatan peningkatan kapasitas langsung bagi para pelaku di lapangan. Mungkin aksi yang kecil, tapi lebih nyata dan berguna dibanding ide besar menawan yang hanya tertinggal dalam angan-angan. Masalahnya bukan lagi terletak pada bisa atau tidak, tapi mau atau tidak.