“Sayuran grade 1 masuk pasar supermarket dan pasar modern, untuk grade 2 masuk ke pasar-pasar tradisional. Grade 3 dijadikan sebuah produk tinggal olah dan dijual juga ke pasar. Untuk kategori sayur grade 4 untuk makanan harian santri di pesantren. Grade 5 adalah sayuran untuk pakan ternak. Artinya tidak ada sayuran yang terbuang sama sekali. Petani adalah pekerjaan yang sangat mulia”, KH. Fuad Afandi sebagai pengasuh Pondok Pesantren At-Ittifaq, Bandung dengan semangat memberikan penjelesan ke kami semua para calon awardee LPDP PK Santri 144.
Kegiatan OASE (Ounting, Asyik, Seru dan Energik) di Bandung selesai sebelum masuk waktu dhuhur. Saya bersama teman-teman LPDP Santri angkatan 144 diberikan pengarahan oleh Pak Rafi, Mas Mukhlis dan Mas Jufri untuk lekas mandi-mandi dulu dan sarapan di dekat vila tempat singgah, selanjutnya kami akan diajak untuk kunjungan institusional di sebuah pesantren yang Pak Rafi menyebutnya sebagai pesantren “Tarekat Sayuriyah”.
Saya merasa tertarik sekaligus penasaran dengan nama “Tarekat Sayuriyah” yang disebutkan oleh Pak Rafi. Di dalam bus pada saat kami berangkat menuju pesantren, Pak Rafi memberikan arahan. Pesantren yang akan kami kunjungi bernama Al-Ittifaq. Produk sayur dari pesantren ini sudah menguasai pasar-pasar di Bandung dan Jawa Barat, bahkan di Jakarta, bukan hanya pasar tradisional saja, tapi juga masuk ke dalam mall-mall. “Luar biasa sekali”, pikir saya. Sebuah pesantren yang selama ini menjadi lembaga pendidikan, ternyata bisa menghasilkan sebuah produk unggulan yang bisa diterima oleh masyarakat. Saya tidak sabar untuk melihatnya secara langsung.
Kami tiba menjelang sore. Tiga bus yang membawa rombongan teman-teman LPDP tidak bisa parkir di area pondok pesantren. Bus berhenti di sebuah lapangan luas yang memang sepertinya disediakan untuk lahan parkir di sebuah pasar tengah desa. Saat kami turun dari bus, Pak Rafi memberikan arahan kembali, “Kita naik mobil lin kuning itu ya”, memang ada banyak kendaraan lin yang sudah siap menunggu kami untuk mengantarkan ke pesantren secara langsung.
Saya tidak langsung ikut naik mobil lin, sekitar 50 meter bus terparkir, ada masjid. Bersama Mas Burhan, saya mengajaknya untuk shalat dhuhur dan ashar sekalian, shalat jama’ ta’khir dan shalat qosor, dhuhur 2 rakaat dan ashar 2 rakaat. Ada beberapa teman yang juga ikut shalat dulu, ada juga yang mengatakan untuk shalat di pondok pesantren saja. Semua memiliki pilihan masing-masing.
Usai shalat, Mas Gilang memberikan kode untuk segera naik lin, takutnya ketinggalan kegiatan yang akan segera dilaksanakan di pondok pesantren Al-Ittifaq, karena rencana kami adalah bukan hanya mendengarkan tausiyah dari pimpinan pesantren saja, melainkan juga keliling ke pesantren dan usaha-usaha pertanian yang dilakukan oleh para santri pesantren. “Saya ke toilet sebentar mas”, Mas Burhan saya suruh untuk menunggu sebentar. “Siap, jangan lama-lama, takut ketinggalan”, Jawabnya.
Ketika saya berjalan bersama Mas Burhan menuju lin, rupanya ini adalah sudah lin yang terakhir. Semua teman-teman sudah tidak ada lagi, sudah berangkat semua. “Loh, kok mobil linnya ke arah bawah, bukannya pesantrennya ke arah atas ya?”, saya bertanya ke Mas Burhan, karena tadi saya lihat lin yang dinaiki oleh teman-teman mengarah ke jalan atas, kami malah mengarah ke bawah.
Rupanya, sebelum saya mendapatkan jawaban, mobil lin ini hanya mengambil tenaga untuk sampai ke atas, karena aspal jalanan di sini agak curam, dia membutuhkan tenaga untuk naik ke atas dengan cara ke bawah dulu. Namun, ada sesuatu yang yang tidak diinginkan terjadi, mobil mogok! Tepat di tengah-tengah aspal jalan. Dia berjalan mundur ke belakang, “Lho mas-mas, mobilnya mundur”, beberapa penumpang cewek yang ikut kami, mulai berteriak ketakutan.
Sopir keluar dari mobil, meminta bantuan teman-temannya yang sedang nongkrong di pinggir jalan untuk ikut membantu mendorong mobil lin yang mogok ini. Kami semua, satupun tidak disuruh untuk keluar mobil, kami masih diam di dalamnya. Anehnya, saat sopir keluar barusan, dia lupa menutup pintu mobilnya, terang saja, hanya beberapa detik, ketika pintu terbuka, sebuah mobil dari atas berjalan dengan kencang sekali, menabrak pintu mobil yang kami naiki, “Brakkk…”, suaranya sangat keras. Bukannya berhenti, mobil yang menabrak pintu mobil ini semakin melajukan kendaraannya.
Sopir terlihat kebingungan, dia melihat pintu mobilnya yang ketika saya lihat memang terlihat penyok dan tidak bisa ditutup kembali. Sudah jatuh, tertimpa tangga. Sudah mogok, pintu rusak pula. Sopir menghentikan mobil lin kosong yang melintas, “pindah ke mobil ini ya mas, mohon maaf”, sambil terlihat bingung dan wajah kasihan, dia mempersilahkan kami untuk pindah mobil.
Sampai di pondok pesantren Al-Ittifaq, teman-teman sudah ramai membeli oleh-oleh dari para pedagang yang berada di depan gedung aula pesantren. Ada berbagai macam olahan buah yang dijual, ada juga strawberry segar dan beberapa buah khas puncak. Hingga keripik buah-buahan yang pernah saya temui di Malang, juga ada yang menjualnya. “Ayo kita masuk ke aula, acara mau dimulai”, Mas Rizki memberikan arahan kepada kami semua yang sedang asyik ngobrol dan belanja.
Di dalam aula, Pak Rafi dan timnya dibantu dengan Mas Gilang dan tim PK 144 sedang sibuk memasang banner yang mereka bawa dari Jakarta. Banner baru yang bertuliskan tentang kunjungan institusional LPDP ke pesantren Al-Ittifaq ini. Ada dua banner yang terpasang, di panggung depan dan pintu masuk aula sebagai ucapan selamat datang.
Kami menunggu kehadiran pengasuh pesantren yang menurut informasi, masih menunaikan shalat jama’ah di masjid dekat pesantren. Sembari menunggu, ada kopi hitam yang sudah disediakan, bersanding pisang godok yang hangat. Begitu nikmat karena kami berada wilayah Bandung yang hawa udaranya dingin. “Assalamua’alaikum”, ada suara dari seseorang yang masuk ke dalam ruangan lewat pintu depan, kami semua ke depan untuk menyalami beliau dan mencium tangannya sebagai bentuk penghormatan.
Beliaulah yang sedang kami tunggu, bernama KH. Fuad Affandi, di pesantren dan masyarakat sini, beliau lebih dikenal dengan panggilan Mang Haji. Kami duduk khidmat. Pak Rafi memberikan sambutannya, berharap Mang Haji bisa memberikan motivasi kepada teman-teman yang hadir dari PK Santri ini. Pak Rafi memperkenalkan kami kepada beliau, bahwa kami ini adalah perwakilan santri dari seluruh Indonesia yang mendapatkan beasiswa S2 dan S3 untuk kampus luar negeri dan dalam negeri oleh LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) dibawah naungan Kementrian Keuangan yang saat ini dipegang oleh Ibu Sri Mulyani.
“Saya dulu mondok di Lasem dibawah asuhan KH. Makshum selama 17 tahun. Saat abah saya, KH. Mansyur meninggal pada tahun 1970, saya diberikan amanat untuk meneruskan warisan pesantren peninggalan beliau ini”, KH. Fuad Affandi membuka dialognya dengan bercerita sejarah dari pesantren Al-Ittifaq. Pesantren Al-Ittifaq berdiri sejak tahun 1934 yang lalu oleh kakek beliau bernama KH. Rifai’, lalu dilanjutkan oleh Abah beliau bernama KH. Mansyur dan berlanjut saat 1970 hingga sekarang oleh beliau sendiri.
“Kita harus berani berubah. Pesantren ini dulu oleh abah saya, dilarang untuk sekolah umum, bahkan beliau mengharamkannya, karena dianggap sebagai pendidikan colonial Belanda. Namun, sejak 1970 secara perlahan saya merubah mindset itu, sekolah umum saya dirikan, mulai dari MI hingga Madrasah Aliyah, sekarang semuanya ada”, ungkap beliau.
Beliau melanjutkan ceritanya bahwa dulu masa kepemimpian abahnya, Para santri dilarang bersinggungan dengan alat-alat elektronik, karena dianggap merusak tata krama yang ada di pesantren, namun sekarang hampir tiap pojok pesantren bahkan ada CCTVnya, ada AC, wifi dan alat elektronik lainnya, karena memang itu kebutuhan pesantren sekarang. Dulu abah beliau melarang rumah dengan mamakai tembok, justru sekarang, seluruh bangunan pesantren berdiri kokoh dengan tembok. Pada masa abahnya, rumah dilarang ada toiletnya di dalam rumah, jadi harus di luar rumah, sekarang sebaliknya, tiap ruangan, ada toiletnya.
“Zaman sudah berubah. Kita harus siap dengan perubahan itu”, tambah beliau. Beliau menambahkan ceritanya lagi bahwa dulu zaman abahnya, sangat anti terhadap pemerintah, namun sekarang, beliau sangat dekat dengan pemerintah. KH. Fuad Affandi selalu mendapatkan penghargaan bidang pertanian mulai dari Presiden BJ. Habibi, Presiden Megawati, Presiden SBY, hingga Presiden Jokowi.
Penemuan beliau yang fenomenal adalah MFA, kepanjangan dari Microorganisme Fermentasi Alami. Yaitu sebuah pupuk fermentasi dengan cara menggunakan air liur manusia. Uji coba penggunaan pupuk yang selalu gagal pada waktu itu membuat beliau terus mencari formula terbaik untuk pupuk herbalnya. Hingga akhirnya, teman beliau dari Belanda memberikan saran tentang bakteri yang ada di dalam diri manusia lewat air liur dan ketemulah konsep MFA ini, yang pada akhirnya beliau bisa sering diundang ke Belanda dan Jepang untuk presentasi penemuannya ini.
Beliau berpesan banyak hal kepada kami semua, diantaranya bahwa, “Ilmu itu dicari bukan karena tujuan harta. Tetapi, orang yang berilmu itu harganya mahal. Dia akan dicari oleh harta”. “Ketika kamu mendapatkan kesulitan pada saat mencari ilmu, maka disitulah kunci kesuksesan semakin dekat. Namun, ketika mencari ilmu kok tidak pernah kesulitan, justru harus waspada”. “Keberhasilan itu akan didapatkan dengan cara keuletan, disiplin yang tinggi dan fokus terhadap tujuan jangka panjang”. Itulah pesan yang saya ingat dari beliau.
Ada pesan satu lagi yang tidak kalah penting, “Usahakan shalat di awal waktu, ketika adzan berkumandang, tinggalkan segala macam urusan duniawi, lari ke masjid, ambil air wudlu dan menunggu shalat berjama’ah”. Beliau bercerita bahwa tadi sebenarnya beliau sudah tau tentang kehadiran kami semua, namun kami datang saat adzan ashar berkumandang, sehingga beliau tidak menemui kami terlebih dahulu, tetapi lansung bergegas ke masjid untuk melaksanakan shalat ashar terlebih dahulu.
“Saya tidak akan berlama-lama, silahkan habis ini kalian keliling pesantren untuk melihat-lihat”, beliau mempersilahkan kami untuk foto bersama setelah beliau menutup acara sore ini dengan berdoa bersama. Kang Zainal Arifin yang menjadi lurah pondok dan CEO untuk perdagangan pesantren mengajak kami berkeliling. Kami berbaris terlebih dahulu di depan aula pesantren, kami dibagi beberapa kelompok. Saya ikut bersama Mas Anwar, Aljabar dan teman-teman dari gabungan beberapa kelompok selain kelompok Sultan Agung.
Tempat pertama yang kami kunjungi adalah melihat persawahan yang ditumbuhi berbagai macam sayuran. “Ini semuanya yang mengerjakan santri”, kata Kang Zainal Arifin. “Di Pesantren ini santri dibagi 3 kategori, ada santri kalong, santri salaf dan santri kholaf”. Santri kalong adalah masyarakat yang ikut ngaji di pondok. Santri kholaf adalah yang sekolah umum dan mondok. Sedang santri salaf, tidak sekolah umum, tetapi mondok. Nah, pertanian ini yang bekerja adalah santri salaf”, lanjut penjelasan Kang Zainal.
Kami ditunjukkan lagi ke tempat selanjutnya, tanaman jeruk dengan cara Greenhouse, kami memasukinya, buahnya lebat, tidak ada hama, dibawah tanaman jeruk, ditumbuhi tanaman buah melon. Serasa di surga, buah tingal petik dan semuanya non kimia. Saat kami diajak ke peternakan, mulai dari ayam, kambing, hingga sapi, ada sesuatu yang aneh, “Kok tidak bau ya kang?”, saya bertanya ke Kang Zainal. “Iya, karena pakannya sudah ada ramuannya, sehingga kotorannya tidak bau”, jawab beliau. Menarik sekali. Bahkan, dikandang sapi, kotorannya ada tempat khusus, dialirkan ke sebuah pipa yang akhirnya menjadi sebuah gas untuk masak makanannya para santri.
Kami sempatkan mampir di pemakaman keluarga pesantren. Saya bersama teman-teman membaca tahlil singkat dan mengirimkan hadiah fatihah kepada keluarga pesantren yang sudah meninggal. Menariknya, walaupun ini adalah pemakaman keluarga, di pagar sekitar makam, masih dimanfaatkan untuk menanam berbagai macam buah dan sayur-sayuran.
Pemandangan menarik lainnya adalah tidak ada sejengkal tanah yang kami lewati, kecuali disitu ada tanaman sayur atau buah yang tumbuh, entah itu ditanam secara langsung di tanah ataupun memakai pot. “Masya Allah, luar biasa”, hanya ini ucapan yang saya ulang ketika melewati area pesantren di bawah asuhan KH. Fuad Affandi ini. Ajaran beliau tentang pertanian bukan hanya diamalkan oleh santrinya saja, tapi masyarakat yang bermukin di kawasan pesantren.
Tempat terakhir yang kami kunjungi adalah supermarket yang juga menjadi tempat packing produk sebelum dikirim ke pasar modern dan tradisional. Saat kami masuk, semua memakai pakaian ala santri, namun alat-alat yang mereka gunakan, sudah alat modern, seperti sebuah pabrik modern namun tetap ala santri. Kami diizinkan untuk melihat secara langsung proses sortir sayuran dan buah-buahan dari Grade 1 hingga grade 5. Di tembok di dalam ruangan, banyak tertempel foto-foto sayuran dan buah yang selama ini menjadi produk unggulan dari pesantren Al-Ittifaq ini.
“Kang Zainal, saya minta nomornya, saya merasa diberikan inspirasi yang luar biasa dari pesantren ini. Suatu saat saya berharap pesantren tempat saya mengabdi bisa mencontoh pesantren ini”, itulah kalimat penutup sebelum kami berpisah dengan Kang Zainal. Adzan maghrib berkumandang, kami semua berjama’ah di masjid dekat pesantren.
Usai maghrib, kami diajak untuk makan malam, “Yang kita makan ini adalah sayuran dan buah-buahan grade 4 dari produk pesantren”, ujar Pak Rafi sambil guyon kepada kami. Setelah isya’ kami kembali ke Jakarta. Kunjungan institusional LPDP hari ini merupakan acara yang luar biasa. Alhamdulillah. Terimakasih LPDP.