Oleh Much. Khoiri
Senja itu Mama Thea S. Kusumo berpulang. Dengan tenang beliau pulang, dan bukan pergi, ke kampung asalnya. Keluarga, kerabat, tetangga, sahabat, dan murid-murid berduka. Banyak memori terabadikan, banyak hikmah dipetik dari sesrawungan dengannya. Namun, satu hal yang patut diteladani, selain guru dan pendidik, beliau juga penulis: berkarya dalam usia senja.
Menjelang beliau dikebumikan, kembali saya gemetar mengingat momentum saat penulisan novel Endang (2014). Pasalnya, di usia senjanya beliau begitu gigih menulis novel itu. Ada riset yang dilakukan, bahkan harus riset ke Jakarta dan kota-kota lain. Itu buku kedua setelah memoarnya Jalan yang Telah Kulalui (2013), bahkan terbukti oleh kehadiran novel Bimo (2016). Saya angkat topi karenanya.
Sebagaimana pencintanya, saya sangat kehilangan. Beliau adalah guru yang dekat (saya menyebutnya Mama), yang mengisi usia senja pasca pensiun dengan menulis. Terngiang dhawuh beliau,”Mas Khoiri, ayo berikan bukumu yang baru. Agar aku tidak merepotimu lagi konsultasi seperti saat nulis Endang. Kebo nyusu gudel.” Inilah yang membuat saya mbrebes mili alias menangis terharu.
Mama Thea, istri budayawan Gatut Kusumo, yang pernah populer dengan film Soerabaia 45: Hidup atoe Mati! tahun 1990-an itu, adalah penulis dalam usia senja–bahkan saat memulainya pun, beliau hadir dengan buku memoar Jalan yang Telah Kulalui (2013) pada usia 77 tahun. Novel Endang (2014) ditulis pada usia 78 tahun, dan Bimo (2016) pada usia 80 tahun.
Jalan yang telah Kulalui (2013) memaparkan liku-liku hidupnya di dalam memoar yang mendapat sambutan hangat itu. Semangatnya menggelora, memantik hikmah inspirasi. Novel Endang (2014), berlatar sejarah seputar 1965-an, mengisahkan keteguhan dan pengorbanan seorang perempuan untuk masa depan dan kebahagiaan anak-anaknya. Novel Bimo (2016), berlatar peristiwa Malari 1974, secara esensial kental pengalaman pribadi dan suaminya.
Meski itu bukan novel-novel terbaik dalam dunia sastra Indonesia, ada keteladanan yang istimewa: Kegigihan Thea dalam menulis novel itu adalah saksi penting betapa dia telah mengalahkan umurnya untuk menghasilkan karya sastra. Saya, sebagai penyelaras novel itu, menyaksikan hampir seluruh proses penulisan novel. Beliau itu langka, memulai menulis di usia senja!
Maka, Mama Thea layak dimasukkan sebagai satu dari para penulis (usia) senja. Sydney Sheldon, Dan Brown, dan J.K Rowling menulis pada usia yang sudah tidak muda lagi—toh mereka tetap menjadi novelis kondang. Juga Marry Shelley menciptakan Frankenstein saat usianya sudah tidak muda lagi. Apakah kualitas karya sejajar, itu soal lain.
Teringatlah Richard L. Morgan, guru besar bliblika di Western Piedmont Community College, yang pernah menulis sebuah buku Tetap Ceria di Usia Senja (BPK Gunung Mulia, 1990). Buku Morgan berisi 62 buah renungan untuk pembaca yang berusia lanjut, meski dapat dinikmati juga oleh pembaca usia muda. Bagi dia, tidak pernah ada kata “pensiun” di dalam hidupnya.
Juga ada Laura Ingalss Wilder, yang menulis buku perdananya yang sangat terkenal Little House on the Prairie pada 1935 (usia 65 tahun). Buku yang mengisahkan kehidupan keluarga Amerika di masa wild west itu sangat terkenal dan dijadikan teladan bagi anak-anak. Sebelum menulis 12 seri buku itu, Wilder menikmati pekerjaan sebagai guru dan relawan sosial.
Usia senja juga tidak menghalangi Winston Churcil untuk menulis. Dalam catatan sejarah, Winston Churcil, walaupun dia lumpuh, tetap menulis kenangan-kenangan hidupnya dalam memoar. Churchil ingin berbagi segala kenangan hidupnya yang memang pantas untuk dibagi kepada publik. Ada pembebasan, ada kepuasan di dalamnya.
Mama Thea mungkin tidak setenar Sydney Sheldon, Dan Brown, J.K Rowling, Marry Shelley, Richard Morgan, Laura Wilder atau Winston Churcil; namun dilihat dari konteks sosialnya, beliau lebih istimewa. Mama Thea termasuk langka di antara para pensiunan di negeri ini. Mama menulis bukan sejak muda, melainkan pada usia 77 tahun. Kesamaannya, mereka menulis di usia senja.
Mama Thea tidak menyuruh orang lain untuk menulis lewat kata perintahnya, melainkan lewat keteladanan dan bukti nyata, yakni buku-buku karyanya. Action speaks more loudly than words, tindakan lebih lantang ketimbang kata-kata. Tampaknya ini penting dijadikan renungan bagi para pensiunan dan para penulis muda.
Maksud saya, pertama, jika kita kebetulan berusia senja, maka kita tidaklah terlambat untuk menulis dan menerbitkan karya seperti mereka. Kedua, jika kita masih muda, marilah bergegas untuk menulis dan menerbitkan buku karya kita. Jika selagi muda kita telah menerbitkan buku, kita tinggal memanennya di usia senja kelak.
Dengan begitu, kita akan ikut mewarnai dunia dengan menulis. Upaya kita dalam menulis ibarat menyaputkan kwas pengetahuan pada kertas kehidupan untuk melukis sebuah sisi peradaban. Di sanalah hidup kita akan lebih bermakna, bukan hanya untuk diri sendiri, melainkan juga untuk orang lain.*
*Much. Khoiri adalah penggerak literasi, dosen, dan penulis buku dari Jalindo dan Unesa Surabaya. Tulisan ini pendapat pribadi.
1 komentar