Coretan Tanpa Bekas

Itu Berasal dari Tanah Warisan

Oleh: Arfianto Wisnugroho

 

Banyak orang menginginkan selalu hidup bersama dengan keluarganya. Memasak, olahraga, jalan-jalan, dan berbagai kegiatan lain yang memungkinkan mereka bersama. Apapun yang terjadi mereka akan melakukan hal yang terkadang tidak mungkin untuk dilakukan. Namun demi keluarga, mereka akan melewati hal tidak mungkin tersebut meski penuh resiko. Itu berlaku bagi mereka yang menganggap keluarga adalah prioritas utama. Meski demikian, tidak semua anggota keluarga menganggap atau merasa bahwa prioritas tersebut penting. Terkadang kita akan mendapati seorang yang bersikap acuh pada semua orang, termasuk keluarga mereka. Seperti Ms, lelaki berusia 48 tahun yang berprofesi sebagai penjual baju.

Di Usianya yang hampir setengah abad, Ms memiliki berbagai masalah dengan beberapa anggota keluarga. Masalah paling krusial adalah perihal kepemilikan tanah dengan Ai, kakak perempuan Ms. Semua bermula saat mereka berdua sepakat menjual tanah bagian mereka berdua dari warisan orang tua. Tanah tersebut mereka jual karena letaknya yang jauh dari keramaian. Akses jalan menuju kesana juga sulit. Mereka harus naik motor sekitar 15 menit dilanjutkan berjalan kaki sekitar setengah jam untuk sampai kesana. Ditambah medan kesana cukup terjal dan sebagian adalah tanah liat membuat perjalanan lebih sulit saat hujan. Karena permasalahan tersebut mereka berencana menjual tanah tersebut. Dengan demikian mereka dapat membeli tanah baru yang letaknya lebih dekat dengan rumah.

Akhirnya Ms dan Ai mencari tanah baru sebagai ganti tanah yang sudah mereka jual. Setelah melakukan pencarian, mereka memperoleh tanah seperti yang mereka inginkan. Selain letaknya strategis, tanah tersebut juga cukup subur. Tentu saja hal ini sangat menyenangkan bagi mereka berdua terutama Ai. Dengan tanah tersebut Ai dapat bercocok tanam seperti biasa dengan jarak yang lebih dekat. Selain itu mereka memiliki keuntungan lain karena tanah tersebut mengalami peningkatan harga yang lumayan tinggi setiap tahun. Jadi mereka tidak akan rugi seandainya suatu saat berencana menjual kembali tanah tersebut.

Setelah urusan jual beli selesai, Ms kembali ke ibukota untuk bekerja seperti biasa. Sedangkan Ai tetap tinggal di kampung seperti sebelumnya. Oleh karena itu Ai mengurus tanah mereka berdua. Bagi Ai tanah itu tidak hanya sekedar barang yang sudah mereka beli lalu bisa dijual begitu saja. Tapi baginya tanah tersebut adalah sumber penghidupan. Ai menanami tanah tersebut dengan berbagai tumbuhan yang memiliki nilai ekonomis. Hasil dari tanaman tersebut Digunakan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari bersama suami. Ai juga selalu menyisihkan hasil yang diperoleh untuk Ms meski tidak ada kesepakatan akan pembagian hasil tanam. Ai sangat gembira dengan kegiatan menanami tanah tersebut yang berlangsung hampir 15 tahun. Hingga pada suatu hari Ms datang untuk membicarakan tanah tersebut.

Kedatangan Ms saat itu bermaksud untuk menjual tanah yang mereka beli. Hal tersebut dikarenakan adanya seseorang yang mengklaim atas kepemilikan tanah yang mereka beli. Ai tidak menyetujui rencana Ms tersebut. Menurut Ai akan lebih baik jika mereka tetap memiliki tanah tersebut, mengingat sumber penghidupan Ai hanya dari tanah tersebut. Keputusan Ai dan Ms yang tidak sejalan membuat mereka mulai berdebat. Sejak saat itu persaudaraan mereka juga mulai tidak akur. Kerenggangan tersebut berlangsung cukup lama, sudah hampir tiga tahun berjalan. Terkadang mereka juga menjadi canggung saat bertemu.

“Hmmm, lalu apakah pernah ada pihak ketiga yang mendamaikan mereka?” Tanya mas Nyentrik pada Nek Nur. 

Nek Nur adalah adik Ai yang juga kakak dari Ms. Menurut nek Nur yang menceritakan kisah mereka, pernah beberapa kali dilakukan mediasi. Namun tidak pernah ada kesepakatan antara keduanya. Setiap ada mediasi pasti akan berakhir dengan adu mulut, saling menyalahkan, dan saling menyindir. Bahkan orang-orang terdekat mereka berdua terkadang dibawa dalam perdebatan. Sehingga sampai sekarang hubungan mereka masih tidak baik. Meski demikian, tanah tersebut masih dikelola Ai seperti biasa.

“Bingung juga jika kita berada di posisi mereka berdua, masing-masing memiliki hak atas tanah. Keduanya juga memiliki argumen yang tidak bisa disalahkan. Hanya saja mengapa permasalahan tersebut masih berlarut-larut. Mengapa tidak ada salah satu yang mengalah? Bukankah awal mula tanah itu berasal dari warisan orang tua?” mas Nyentrik tiba-tiba nyeletuk.

“Sebenarnya mudah menyelesaikan masalah tersebut,” balas nek Nur pada mas Nyentrik.

Mas Nyentrik terdiam, melihat nek nur dengan serius. Beberapa saat kemudian nek Nur melanjutkan, “Berikan kepada saya saja, kan saya juga ahli waris.”

Mas Nyentrik memasang wajah kaget, penasaran dengan isi kepala nek Nur. Seandainya bisa, ia ingin membaca pikiran Ms, Ai, Nek Nur, dan saudara mereka yang lain. Mas Nyentrik ingin tahu seberapa besar mereka ingin membantu saudara mereka. 

Belum sempat mas Nyentrik berpikir yang tidak semestinya, nek Nur berkata dengan serius, “Hanya Bercanda…!”

Tinggalkan Balasan