KMAC H-25 Redundant 22: 3 Indikasi, 13 Inisiasi

Redundant 22:

3 Indikasi, 13 Inisiasi

Oleh Erry Yulia Siahaan

Percuma. Itu inti pesan Erin Leonard kepada orang baik hati yang bertemu dengan karakter playing the victim dan ingin membantunya. Menurut praktisi psikoterapi itu, kalau mau membantu orang, lihat-lihat dulu siapa yang hendak dibantu. Perlu mengenali, siapa yang manipulatif dan siapa yang otentik.  Siapa yang memainkan peran sebagai korban karena ingin mencari perhatian dan lepas tanggung-jawab, dan siapa yang sungguh-sungguh memang sedang mengungkapkan kesulitannya dan terbuka terhadap empati dan solusi yang ditawarkan.

Menulis dalam majalah Psychology Today dalam artikel bertajuk “3 Ways to Tell When Someone Is Playing the Victim”, Leonard menegaskan, kita tidak perlu merasa bersalah karena mungkin terkesan tidak peka terhadap seseorang yang “bermain” tadi. Namun, jika diladeni, orang tersebut bisa lama-lama memanipulasi hubungan pertemanan itu untuk kepentingan dirinya sendiri. Pribadi semacam itu berinteraksi bukan untuk mendengarkan solusi, tetapi benar-benar ingin menguasai pertemanan dengan “permainannya”.

3 Indikasi

Leonard memberikan tiga tips untuk mengenali mana orang yang playing the victim dan mana yang benar-benar sedang membutuhkan empati dan saran atau solusi. Tips itu adalah:

Pertama, apakah orang tersebut mau mendengarkan solusi setelah mengungkapkan permasalahannya. Playing the victim cenderung menganut keyakinan bahwa hidupnya lebih sulit daripada orang lain. Pembicaraannya cenderung sepihak. Maunya didengar terus, tetapi tidak mau mendengarkan orang lain, apalagi yang namanya saran atau kritik. Sebaliknya, orang yang otentik, yang sungguh-sungguh terbuka terhadap perasaan dan permasalahannya dan sedang membutuhkan saran, justru seringkali merasa tidak enak atau khawatir bahwa ceritanya akan membebani orang lain. Orang yang otentik ini aktif berinteraksi (bukan bicara sepihak) dan menginginkan umpan-balik, selain mau menerima empati dari lawan bicaranya.

“Orang demikian  (yang playing the victim) menolak empati pendengar. Sebab, tujuan sebenarnya bukanlah untuk merasa lebih baik, melainkan untuk mengendalikan orang lain,” tegas Leonard akhir tahun lalu. Leonard juga dikenal sebagai penulis buku-buku berbau hubungan dan pola asuh dalam keluarga.

Kedua, dengan memposisikan sebagai pihak yang menjadi korban, yang rentan dan dipersalahkan, playing the victim berusaha mencari kesempatan untuk menimbulkan rasa bersalah pada orang lain. Pribadi seperti ini bisa menggunakan kesulitan sebagai alasan untuk mengeksploitasi kebaikan orang lain. Sebaliknya, seseorang yang otentik tidak manipulatif. Dia tidak mengharapkan apapun dari ceritanya itu dengan mengeksploitasi kebaikan lawan bicaranya, yang sudah membuang waktu untuk mendengarkan. Dia akan menyimak saran dari lawan bicaranya dan berterimakasih untuk itu. Dia akan merasa lega karena ada orang yang berempati dengan pergelutannya.

Ketiga, individu dengan mentalitas playing the victim seringkali berusaha menghindari pertanggungjawaban. Orang seperti ini cenderung menggunakan kesulitan masa lalu untuk “selamat” alias “lolos” dari tanggung jawab. Sedangkan orang yang asli sedang bergumul dan sedang membutuhkan pertolongan dengan terbuka bercerita adalah orang yang mampu mengenali perasaan-perasaannya yang tertekan. Dia terbuka untuk membahasnya bersama lawan bicaranya, dalam rangka mendapatkan kelegaan dan jalan keluar.

Ekstrem

Saran Leonard itu (percuma membantu) terdengar ekstrem dan keras. Hal itu mungkin cocok untuk mereka yang karakter playing the victim-nya sudah “membatu” alias “lengket” sehingga perlu penanganan seorang psikolog.

Penyebab munculnya kasus-kasus berat seperti itu, seperti diungkapkan oleh Barrie Davenport dalam situsnya Live Bold and Bloom, kemungkinan besar adalah akibat trauma, tragedi, atau pengabaian di masa lalu, yang menyebabkan kurangnya kemampuan untuk mengatasi. Jadi, bukan sesuatu yang direncanakan.

“Tidak ada yang bangun tidur langsung bilang ‘ah saya sudah tidak sabar ingin playing the victim hari ini, bukan?” tandas Davenport.

Pengalaman pahit masa lalu berperan besar dalam membentuk kepribadian seperti ini. Misalnya, masa kecil yang diabaikan; kurangnya perhatian dan kasih sayang dari orangtua dan keluarga; pernah dikhianati sehingga sulit bisa mempercayai orang lain dan bahkan curiga terhadap orang lain; “mempelajari” dan meniru model serupa dari orangtua, saudara kandung, dan orang dekat lainnya; ketergantungan pada belas kasihan orang lain yang akhirnya termanipulasi sebagai pribadi yang kehilangan pandangan tentang siapa dirinya dan tentang juga perlunya seseorang mencintai dirinya sendiri. Belas kasihan yang terus-menerus menyebabkan seseorang lama-lama merasa tidak berharga, “tidak terlihat”, tidak eksis.

13 Inisiasi

Davenport menyebutkan 13 inisiasi yang bisa kita lakukan dalam menghadapi karakter playing the victim.

  • Jangan membayangkan pribadi tersebut sebagai sesuatu yang jahat, atau jelmaan iblis. Bayangkan saja karakter Eeyore (karakter keledai dalam buku fabel Winnie-the-Pooh yang ditulis oleh AA Milne). Yakni karakter yang pesimis, suram, dan tertekan. Teman-teman Eeyore sangat ulet dan tak kenal lelah dalam membantunya.
  • Hindari diri kita sebagai “buku harian” bagi pribadi playing the victim. Boleh bersikap baik, tetapi sewajarnya. Jangan mengungkit masalahnya jika memang kita tidak ingin terlibat atau ingin memperbaikinya.
  • Jangan bersikap pasif alias berlama-lama di dekatnya seakan-akan kita mendengarkan. Bahkan, duduk sambil memegang gadget pun jangan. Sebab, hal itu bisa dipersepsikan sebagai mengiyakan semua yang dikatakannya.
  • Tawarkan solusi praktis. Artinya, kita boleh berterus-terang untuk membatasi beberapa kecenderungannya jika memang orang tersebut mau berinteraksi dengan kita. Tapi ini, kata Davenport, melihat juga seberapa banyak atau sedikit orang itu memiliki kesadaran diri. Jika dia meminta kita bicara, misalnya, kita boleh berterus-terang mengatakan, “jika saya dapat membantu Anda memecahkan masalah.” Atau, untuk meningkatkan batasan dalam berinteraksi, kita bisa memintanya untuk berhenti menggunakan kata “tetapi” saat berbicara.
  • Beri perspektif kepada orang itu. Artinya, kita bisa memutar percakapan negatifnya dengan menambahkan logika pada pemikiran mereka yang tidak masuk akal. Misalnya, A kesal karena tidak disapa oleh atasannya. Padahal, dia sedang berjalan melewati bosnya itu. Si A mengatakan pasti bosnya sedang marah kepadanya dan akan memecatnya. Kita bisa memberikan perspektif logis dengan mengatakan, bos sedang mengerjakan anggaran agar semua orang bisa mendapatkan bonus akhir tahun.
  • Sebaiknya tidak menggunakan kata “victim” atau “playing the victim”, karena itu bisa memperburuk keadaan. Menggantikan playing the victim dengan “victim mentality”, juga masih bisa menimbulkan konotasi negatif. Faktanya, memang tidak ada kata atau frasa yang bisa memperhalus. Daripada mengatakan “Sudah, hentikanlah playing the victim, mungkin lebih baik jika kita bilang, “saya mengerti Ada tidak senang dengan peristiwa ini, tetapi adanya hal-hal seperti itu memang wajar dalam kehidupan seseorang.”
  • Carilah momen untuk membangun motivasi. Misalnya melalui film yang ditonton bersama, di mana film itu bisa menularkan inspirasi kepada orang tersebut untuk diresapi.
  • Jangan mencoba menjadi “psikiater” bagi orang dengan pribadi playing the victim. Orang demikian sedang mengalami gangguan kesehatan mental. Masih banyak alternatif untuk membantunya, tapi sebaiknya jangan coba-coba menjadi “psikiater” bagi orang tersebut. Lebih baik kita berperan sebagai teman, tetapi bukan konselor. Kita perlu mengakui secara terbuka, bahwa kita tidak dapat membantu orang tersebut dari segi kesehatan mental, tetapi kita bisa menawarkan diri untuk menemaninya menjalani sesi-sesi konseling misalnya.
  • Jangan bergosip mengenai karakter tersebut. Seseorang dengan kepribadian playing the victim merasa dunia ingin bermasalah dengan mereka. Semua orang menentang mereka. Jika kita bergosip dan tertawa mengenai karakter demikian, secara tidak langsung kita telah memaksakan keyakinan yang tidak benar itu kepada orang tersebut, dan itu hanya memperburuk keadaan karena orang itu bisa makin terdorong masuk ke dalam pikiran yang lebih gelap.
  • Tetapkan aturan dalam keterlibatan. Artinya, jangan memberi kesan kita adalah tempat yang baik untuk menangis bagi pribadi playing the victim. Karena, sekali kesan itu ada, pribadi itu akan sering mendatangi kita. Tetapkan saja batasan, bahkan siapkan naskah jika perlu. Kita bisa mempersiapkan kata-kata ini: “Saya benar-benar ingin menjadi teman yang baik. Tetapi, saya juga harus melindungi kesehatan mental saya, dengan hal-hal yang sedang saya alami. Mari kita sepakat bahwa sebelum kita berbicara satu sama lain, kita pastikan kita berada dalam ruang mental yang baik untuk berdiskusi. Sepakat?”
  • Dengan lembut tunjukkan kecenderungan kebiasaan mereka itu. Sebab, mungkin saja orang yang playing the victim tidak sadar atau tidak tahu bahwa mereka sedang atau telah melakukannya. Itu adalah bagian dari kepribadian mereka. Mereka tidak memperhatikan bagaimana sebaiknya. Mereka kurang kesadaran situasional untuk melihat bahwa orang lain terkadang menangani tantangan yang sama dengan hasil yang lebih baik. Lakukan percakapan ini di tempat yang aman, idealnya di wilayah mereka, kalau-kalau mereka marah.
  • Jangan membuat diri kita menjadi “martir” bagi kepentingan orang tersebut padahal kita mengorbankan kepentingan lain yang lebih penting atau prioritas.
  • Jika memang harus memutus hubungan, lebih baik dilakukan, kata Davenport, sebab dalam 99,9% kasus memang kita tidak bisa memperbaikinya sebagai orang awam. Jika memang mau memutuskan hubungan, jangan mengoceh panjang lebar tentang rasa tidak suka kita kepadanya. ***

Tinggalkan Balasan

4 komentar

    1. Terima kasih, Ibu There.
      Masih perlu terus belajar dan ingin.
      Dari siapa saja, termasuk Ibu There.
      Semoga kita semua berkembang ya, menjadi lebih baik setiap hari.
      Amin.
      Salam literasi.