Redundant 26: Berteladan pada Semut
Oleh Erry Yulia Siahaan
“Jangan menolak apa yang disuarakan oleh hati nurani kita.” Pesan dari Pdt. T Hutahaean pada Januari lalu, melekat sekali dalam hati. Hingga suatu sore, pada hari Minggu, tepatnya tanggal 29 Januari 2023, Pdt. Darius membawakan renungan dari Amsal 6, yang intinya kita perlu berteladan pada semut.
Sudah berulangkali kita mendengar frasa untuk mencontoh semut dalam hidup, bukan? Kita juga berkali-kali mendengar bahwa semut memiliki nilai-nilai plus yang pantas kita contoh untuk hidup lebih baik. Yang paling populer adalah rajin dan hidup bergotong-royong.
Seringkali dengan apa yang kita ketahui, kita merasa sudah cukup tahu sehingga cenderung menganggap sesuatu yang sama sebagai hal yang klise. Saran Hutahaean menguatkan keyakinan saya bahwa tidak ada yang namanya kebetulan dalam hidup ini. Keteladanan semut memang sudah sering saya dengar. Bahwa saya sore itu dipertemukan kembali dengan keteladanan semut, saya yakin ada rencana yang baik dari Tuhan. Minimal sebagai bahan reflektif. Lebih tinggi lagi, ini kembali menumbangkan simpulan bahwa redundansi pasti negatif. Ini menguatkan saya bahwa di balik setiap peristiwa pasti ada hal yang baik.
Memperluas Perspektif
Apa yang dijelaskan oleh Darius sangat memperkaya saya. Terlebih, karena setelah pertemuan sore itu, berdasarkan dorongan hati, saya melakukan banyak pencarian mengenai keteladanan semut. Baik dari Firman Tuhan maupun dari pemikiran berbagai sumber. Ternyata, pencarian saya tidak sia-sia. Terbukti lagi, bahwa sebuah redundansi tidak mesti negatif. Redundansi acapkali terbukti menguatkan. Puji Tuhan.
Teladan mengenai semut dalam Amsal 6 merupakan bagian dari Firman Tuhan dalam subjudul “Berbagai-bagai nasihat”, tepatnya pada ayat 6 sampai 8, yang berbunyi demikian:
“ 6:6 Hai pemalas, pergilah kepada semut, perhatikanlah lakunya dan jadilah bijak: 6:7 biarpun tidak ada pemimpinnya, pengaturnya atau penguasanya, 6:8 ia menyediakan rotinya di musim panas, dan mengumpulkan makanannya pada waktu panen.”
Jelas sekali, bahwa keteladanan paling menyolok dari semut adalah kerajinannya. Dari nas itu juga tersirat bahwa semut adalah makhluk hidup yang mandiri, antisipatif, dan bijaksana.
Pada kesempatan itu, Darius mengajak anggota perkumpulan sore itu untuk membayangkan bagaimana perilaku semut. Darius bermaksud membawa kami untuk memperluas perspektif dalam melihat keteladanan semut. Kami menemukan, bahwa semut juga fokus, tekun, dan komunikatif.
Semut adalah makhluk yang fokus dan tekun. Begitu menemukan sesuatu yang bisa menjadi sumber makanannya, semut akan terus “ke sana” sampai mendapatkan apa yang bisa didapatkan secara maksimal. Semut juga komunikatif. Setiap bertemu, mereka bersentuhan satu sama lain pada bagian depan tubuhnya, untuk kemudian melanjutkan kembali berjalan dari atau menuju sarangnya.
Saya jadi teringat pada lirik lagu anak “Semut-Semut Kecil” yang terkenal pada1980-an. Lagu karya Papa T Bob yang dinyanyikan oleh Melisa itu berkata: “…Bergotong royong cara kerjamu/Sepotong roti dibagi-bagi/Bertemu teman selalu salaman/Semut-semut lucu sekali..” Lagu ini bahkan menambahkan lagi satu nilai dari semut, yaitu suka berbagi.
Jawaban Ekstrem
Darius mengajak kami berefleksi, apakah kita sudah melakukan nilai-nilai baik dari semut? Rata-rata menjawab, tidak. Jawaban itu patut dinilai ekstrem, karena kita merasa sudah lama mengenal semut, sudah lama merasa tahu keteladanannya, tetapi kita baru melakukan sebagian, bahkan sedikit saja, dari keteladanan itu. Kita masih relatif malas jika dibandingkan dengan potensi kita yang sebenarnya. Kita masih menunda-nunda untuk melakukan banyak hal yang baik. Sebagian dari kita banyak yang masih suka tidur sampai siang.
Masih ada yang ketika hendak menolong orang lain masih lebih mempertimbangkan ketentuan organisasi atau perkumpulan misalnya, apakah sesuai dengan AD/ART atau tidak. Atau, masih belum menomorsatukan kasih di atas kepentingan lain. Kita masih suka bergantung kepada orang lain untuk memulai suatu pekerjaan atau perbuatan baik.
Contoh sederhana adalah ketika bangun pagi. Berapa banyak dari kita yang begitu bangun secara rutin mengucapkan salam kepada orang-orang yang kita cintai di rumah? Misalnya, dengan berkata, “Selamat pagi” dan/atau memberi berkat dalam Tuhan.
Fokus, Teguh, Berani
Sebuah situs yang saya kunjungi, menambahkan nilai semut yang lain, yaitu teguh dan berani, yang menjadi pelengkap nilai fokusnya. Jika kita meletakkan jari atau benda di tengah jalur semut, semut-semut tidak akan berhenti pergi ke dan dari suatu tempat. Mereka akan berjalan ke jari atau sekitar jari dan benda penghalang itu, untuk menemukan jalan lain. Seperti seorang prajurit di medan juang.
Semut mengajari kita untuk tetap tegar, teguh, berani, tidak mudah putus asa dalam menjalani hidup yang kadang diwarnai dengan kendala. Seperti semut yang akan memanjat, berjalan lagi, atau mencari jalan lain, tetapi tidak pernah menyerah.
Hal yang menguatkan mentalitas teguh dan berani dari semut adalah adanya persatuan dan kerja tim, perencanaan dan pengorganisasian kerja, serta kemampuan beradaptasi oleh karena adanya dukungan dari sesama semut.
Meskipun kecil, semut mampu eksis melalui koloni yang kuat dan hebat. Ini teladan yang baik bagi kita sebagai makhluk sosial. Pekerjaan berat menjadi lebih ringan jika kita mau bekerjasama. Masing-masing dari kita bekerja sebagai sebuah tim. Tujuanpun lebih cepat dan lebih mudah dicapai.
Seperti dikatakan dalam nas di atas, semut “menyediakan rotinya di musim panas, dan mengumpulkan makanannya pada waktu panen.” Artinya, semut tidak akan kelaparan pada segala musim. Kita bisa meneladani ini dengan membiasakan diri membuat perencanaan yang efektif untuk mencapai target kita. Hidup tidak boros atau tidak tergelincir untuk ikut-ikutan trend gaya hidup ini atau itu, merupakan bagian penting untuk mendukung hidup yang terencana. Hidup idealnya mempunyai prinsip.
Semut bisa kita temukan di mana-mana. Baik di rumah maupun di hutan. Baik di tempat gelap maupun di tempat terang. Di mana pun berada, semut tahu di mana dan bagaimana mereka harus mencari sumberdaya makanan dan bagaimana menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Ini mengajarkan kita bahwa sebagai makhluk sosial kita akan menemukan sesuatu yang baru, baik teman baru, interaksi baru, pengalaman baru, bahkan mungkin tinggal di tempat baru. Tidak semua itu mungkin cocok dengan zona nyaman kita. Dengan fokus pada tujuan hidup dan dengan dukungan dari orang-orang di sekitar, kita bisa lekas menyesuaikan diri dan tetap fokus pada tujuan hidup kita.
Luar biasa keteladanan dari makhluk kecil ini. ***