Satu Kali Kecolongan

Terbaru23 Dilihat

Satu Kali Kecolongan

Mengikuti semua prosedur rumah sakit merupakan satu keharusan bagi siapa saja. Baik pasien maupun pengunjung lain seperti keluarga pasien yang akan membesuk keluarga, sahabat dan kerabatnya yang sedang dirawat. Mulai masuk ruang pendaftaran melalui pintu masuk utama, mendaftar melalui loket dengan mengantri, mengikuti aturan rumah sakit, tidak mengijinkan keluarga menunggu pasien dalam jumlah yang menyalahi ketentuan dan seterusnya.

Jam kunjungan sudah terjadwal. Keluarga yang menjaga pasien sudah ditentukan jumlahnya. Petugas keamanan yang menjaga dan berkeliling dari satu ruang ke ruang lainnya memeriksa jumlah penunggu pasien . Tidak hanya itu, mereka juga mengecek ruangan pasien yang masih ada pembesuk di luar jam besuk. Biasanya petugasnya dari satuan pengamanan atau satpam yang berseragam lengkap. Mereka bertubuh tinggi, kekar dan sangat disiplin. Melihat mereka saja sudah takut duluan.

Mengikuti prosedur rumah sakit memang merupakan keharusan bagi siapa saja, namun perasaan terkadang mengalahkan keinginan untuk patuh pada prosedur. Perasaan khawatir dengan keadaan ayah di ruang isolasi membuat kami tidak jarang kucing-kucingan dengan petugas kemanaan. Terutama petugas keamanan yang menjaga tepat di depan tangga masuk atau lif..Petugas yang teguh dengan peraturan membuatku sering adu mulut dengan mereka untuk bisa naik ke lantai atas, ke tempat ayahku di rawat. Adik-adikku juga seperti itu..

Suamiku tidak pernah dapat kesempatan masuk ke ruang perawatan ayahku lantaran tidak mendapat izin masuk dari petugas keamanan. Selalu saja berjumpa dengan petugas keamanan yang super ketat. Banyak petugas keamanan, banyak pula tipe mereka. Ada yang lemah lembut, sedikit longgar dalam memberikan izin masuk bagi pembesuk. Ada yang sangat ketat dengan aturan sehingga apapun alasan, tidak akan diberikan izin masuk sebelum penunggu pasien keluar untuk digantikan.
Suamiku menelponku dari depan pintu masuk lif tepat di depan petugas keamanan yang berjumlah beberapa orang. Ia datang membawakan makan siang untukku yang menjaga ayah dari pagi.

Aku bergegas turun menemui suamiku yang ku pastikan akan menenteng beberapa bungkus makanan. Benar seperti dugaannku, setelah melewati beberapa ruangan dan menuruni beberapa lantai aku melihat suamiku berdiri di depan petugas keamanan. Aku datang, memintakan ijin suamiku untuk masuk.
Alih-laih akan mendapatkan ijin mulus, justru perdebatan terjadi antara aku dan petuga keamaman. Aku sudah menduga bahwa akan banyak pertanyaan dari petugas keamanan. Pertanyaan tentang berapa orang yang ada di ruangan pasien. Waktu itu aku benar-benar sendiri menunggu ayahku. Adikku semua masuk kerja. AKu menemui suamiku pun dengan terburu-buru. Aku takut ayahku sendirian di ruang perawatan dan membutuhkan sesuatu ketika aku tidak ada di ruangannya. Petugas mengizinkan dengan syarat aku harus menunggu di bawah, tidak ikut masuk ruang rawat. Kembali ke ketentuan harus satu orang pembesuk di ruang pasien.
Tetapi aku tetap saja tidak menerima persyaratan itu karena ayahku hanya mau minum obat, buang air kecil, buang air besar jika aku yang mengurusnya. Jadi aku harus ada di ruangan berikut dengan suamiku yang akan membesuk ayahku saat itu.

Aku menangis sembari bertanya kepada petugas keamanan dengan nada yang agak tinggi. “Bagaimana jika terjadi sesuatu pada ayahku? Sementara aku tidak ada bersama ayahku. Ia sendirian di ruangan. Suamiku tidak pernah sekali pun bertemu dengan ayahku. Apakah bapak-bapak punya orang tua? Jika ini terjadi pada orang tua bapak, bagaimana perasaan bapak?”

Aku menangis tersedu-sedu sambil memohon pada petugas keamanan. Akhirnya petugas keamanan memberikan ijin suamiku untuk masuk ruang rawat inap ayahku dengan syarat jangan lama-lama.

Petugas keamanan sebenarnya tidak salah, mereka menjalankan aturan. Di samping itu tujuan rumah sakit menetapkan prosesur pengamanan seperti ini adalah untuk ketenangan pasien dan kesehatan pengunjung agar tidak ikut terpapar atau tertular
Akan tetapi, sebagai anak dan keluarga, apapun sakit keluarga kita, terlebih orang tua kita, tidak pernah ada rasa khawatir atau takut akan terpapar atau tertular. Sangat rugi orang tua, jika ada di antara anaknya, keluarganya yang tidak mau mendekat pada orang tuanya yang sakit lantaran takut terpapar atau tertular.

Adu mulut, debat kusir yang terjadi menyebabkan ayahku menunggu sendirian di ruangannya. Pada saat itu, jam kunjung dokter. Waktunya ayahku di cek perkembangan kesehatanya. Karena lama di depan penjagaan, pemeriksaan ayahku terlewatkan dari pendampinganku. Aku menyesal…….

“Kamu ke mama saja?”tanya ayahku lemah. Ayahku menceritakan tentang pemeriksaannya. Aku minta maaf pada ayahku karena kelalaianku. Ayahku diperiksa dokter tanpa pendampingan satu pun anggota keluarganya. Aku yang menunggu ayah hari itu. Aku membayangkan ketika ayahku ditanya oleh dokter,”?Mana keluarganya? Siapa yang menunggu Bapak?” Ayahku tentu merasa sedih.

“Apa kata dokter, Yah”tanyaku pada ayahku dengan perasaan menyesal telah meninggalkan ayahku sendirian. Aku berdiri di samping ayahku sambil mengelus-elus alis ayahku. Aku sering melakukan ini, mengelus alis ayahku, mengusap-usap muka ayahku ketika ayah sulit tidur.
Ayahku menjawab pelan,”Apakah tidak ada keluarga yang menunggu, Pak?”tanya dokter.
“Dokternya berdiri di sana,” Ayahku menunjukkan posisi dokter waktu itu.

Aku kecolongan hari itu, meninggalkan ayah sendiri di ruang perawatan..Terbaring sendiri…….menjawab dengan lemah pertanyaan dokter tentang apa yang dirasakan.
Aku menyesal….

Maafkan aku, ayahku, adikku dan ibuku

Tinggalkan Balasan