Stik Bawang dan Hati Senang
Oleh Erry Yulia Siahaan
Pergi sempat bimbang, pulang hati senang.
Ini cerita Lia seharian. Sudah direncanakan, hari ini perempuan itu ke Jakarta untuk menjemput stik bawang pesanan, sejumlah barang, dan menengok par Cililitan. Par Cililitan adalah keluarga Lia yang tinggal di Cililitan, Kecamatan Kramat Jati, Jakarta Timur. Kata par adalah istilah Batak yang menunjukkan sekumpulan orang atau keluarga yang tinggal di satu tempat yang sama.
Pagi, Lia bimbang. Uang transferan dari anak sulungnya belum juga datang. Uang transferan ini adalah solusi dadakan dan rencana tambahan, yang baru dimatangkan semalam. Meskipun demikian, ini layak dipentingkan karena kecintaan Lia pada keluarga, pada anak-anak. Melampaui kecintaan Lia pada stik bawang.
Uang itu untuk membayar kuliah anak bungsu Lia. Hari ini tenggat waktu. Sudah beberapa hari, anak sulung Lia mencoba mentransfer uang itu ke virtual account bank langganan kampus. Selalu gagal. Sulit dimengerti mengapa.
Penasaran, Abang (demikian Lia biasa memanggil anak sulungnya) mencoba melakukan transfer antarbank di mana Abang punya tabungan. Ternyata bisa. Lia dan kedua anaknya berkesimpulan, masalahnya bukan karena Abang sedang berada jauh dari Indonesia. Di Afrika. Sebab, kalau begitu ceritanya, tentu uang transferan Abang dari satu bank ke bank lain, yang keduanya ada di Bogor, gagal juga.
Ade (sebutan Lia untuk anak bungsunya) akhirnya menghubungi kampus. Kampus menyarankan untuk membayar saja langsung di bank melalui teller. Lia dan anak-anaknya sepakat, Abang mentransfer saja uang ke rekening Lia, lalu Lia menarik tunai uang itu dari anjungan tunai mandiri (ATM) dan membayarkannya melalui teller di bank langganan kampus.
Itu berarti, daftar agenda Lia bertambah hari ini. Tidak terlalu masalah, pikir Lia. Di dekat tempat tinggal par Cililitan, ada kantor cabang bank langganan kampus itu. Dari stasiun, Lia bisa naik angkot ke bank, lalu berjalan kaki ke rumah par Cililitan.
Namun, karena uangnya belum juga masuk, hati Lia sempat bertanya-tanya. Apakah transferannya gagal juga? Hari sudah makin siang. Lia harus selekasnya berangkat ke Jakarta untuk mengejar jam kerja layanan di bank. Untuk berangkat lebih pagi, kurang memungkinkan. Lia ingin mendapat kepastian dulu, transferannya berhasil atau tidak. Mumpung masih di rumah, hal-hal tak terduga bisa lebih mudah diantisipasi, pikir Lia.
Pertanyaan pun terjawab. Sebab, tak lama kemudian, beberapa menit menjelang jam sembilan, Abang mengirimkan foto bukti transferan yang berhasil. Abang rupanya semalam sampai di hotel hampir jam duabelas. Perbedaan waktu antara Indonesia dan negara tempat Abang berdinas adalah empat jam lebih awal di Jakarta. Bisa dimaklumi. Di sini jam tujuh pagi, di sana masih jam tiga. Lumayan ribet, mencari titik-temu waktu komunikasi yang pas, yang tidak mengganggu.
Stik Bawang
Rencana demi rencana berjalan lancar. Usai menarik uang dari ATM di dekat stasiun, Lia melanjutkan perjalanan ke Jakarta dengan komuter. Setengah jam lebih dari stasiun itu ke Jakarta. Sesampainya di Kalibata, Lia naik angkot ke bank, kemudian berjalan kaki ke Cililitan.
Rintik hujan menemani Lia ketika sudah dekat tujuan. Lia tetap melangkah, kali ini dengan payung sebagai atap perlindungan.
Tiba di Cililitan, Lia disambut suara anjing piaraan adiknya yang 20 ekor lebih. Ada yang menggonggong dari lantai atas, ada yang dari bawah. Ramai, tapi membuat hati Lia senang. (Apalagi ketika Lia melihat Moli dan Mogi, dua anjing yang sudah dikenalnya. Mogi tak henti mengkibas-kibaskan ekornya yang seperti rumbai wol dan berjalan lenggak-lenggok di dekat Lia. Seperti salah tingkah. Moli tak seberani Mogi. Ia lebih kalem.)
Di lantai bawah, Lia bertemu dengan adiknya yang sakit. Luar biasa. Adiknya itu, meskipun di kursi roda, masih masuk ke dapur, menyiapkan sayuran dan irisan tempe untuk dibuat tumisan buat makan malam.
Lia naik ke lantai dua, di mana bahan dan perlengkapan untuk membuat kue stik bawang sudah tersedia. Lia menyukai kue buatan adiknya. Bentuknya seperti cheese stick (stik keju), tapi tidak memakai keju. Entah mengapa disebut kue bawang atau stik bawang. Kue ini memang memakai bawang merah dan bawang putih yang dihaluskan. Banyak makanan lain yang juga memakai bawang halus tapi tidak dinamai demikian. Lia menalar sendiri. Mungkin karena di antara semua bumbu yang dipakai, bawang haluslah yang dominan.
Stik bawang ini enak, menurut Lia. Kering, crispy, tidak berminyak. Bisa dipakai sebagai teman makan nasi, dicolek dengan sambal terasi. Yang menambah lezat adalah adanya irisan halus daun selederi.
Penganan ini sudah dikenal di kalangan saudara dan teman. Harganya terjangkau. Tidak semahal stik keju. Hari ini adik ipar itu membuat stik bawang pesanan Lia sekaligus pesanan untuk cicipan di kantor salah satu ponakan.
Yang membuat Lia senang adalah dia datang bukan sekadar mengambil stik bawang kecintaan yang sudah jadi. Lia juga melihat bagaimana cara membuatnya. Itu sebabnya Lia sempat berencana datang lebih pagi.
Jadi, hari ini, Lia melihat bagaimana telur, tepung, bumbu-bumbu, dan lainnya diadoni, lalu digiling dengan mesin penggiling mi, hingga menjadi stik panjang yang siap digoreng. Lia juga ikut menggiling adonan. Mesin penggiling memiliki tiga ruang, satu dengan pemipih dan dua dengan pisau pemotong.
Awalnya, sedikit adonan dimasukkan ke ruang pemipih untuk dipipihkan. Tebal tipisnya bisa disesuaikan dengan selera, dengan mengatur ukuran pada putaran di samping mesin. Pemipihan bisa dilakukan berulang sampai hasilnya benar-benar halus dan rata, tidak ada yang berlubang. Adonan yang sudah pipih itu kemudian dipotong-potong dengan lebar yang sama. Masing-masing potongan itu kemudian dimasukkan ke ruang pisau pemotong, sehingga menjadi bentuk panjang-panjang yang siap digoreng.
Jam Sebelas Malam
Lia mengandalkan komuter jurusan ke Nambo untuk pulang. Sekitar pukul 8, Lia pulang. Lia berjalan kaki, lalu naik angkot ke stasiun. Komuternya berangkat sekitar pukul 8.50 dari stasiun terdekat. Sayang, angkot yang dinaiki ngetem cukup lama. Lia sempat bertanya dalam hati, apakah kereta terkejar bila angkot tidak jalan-jalan.
Waktu membuktikannya. Angkot akhirnya jalan. Turun di stasiun, Lia bergegas menuju peron. Lia tertinggal beberapa langkah saja ketika kereta Nambo incarannya itu bergerak maju. Sama ketika menghadapi angkot yang tidak jalan-jalan, Lia tetap santai. Hati dan pikirannya tetap senang. Apalagi yang kurang, pikirnya. Stik bawang dan barang-barang yang dijemput sudah di tangan. Silaturahmi dengan keluarga terlaksana. Uang kuliah anak juga beres.
Selisih satu jam tidak cukup untuk merusak hatinya yang tenteram. Lia naik komuter jam 10.26 ke Nambo dan sampai di rumah jam sebelas malam lewat.
Hatinya bertambah senang. Meskipun turun rintik hujan, Ade mau menjemputnya di stasiun. Mereka berboncengan, mencoba menelusuri jalan tikus menuju kompleks. Perjalanan pulang itu membawa mereka pada pengalaman baru, mengenai bagian-bagian mana saja dari jalan yang dilalui yang ternyata sudah dikunci sejak jam sepuluh malam.
Ade dengan kalem membawa motor menelusuri lika-liku jalan alternatif, hingga bertemu di poros menuju gerbang perumahan mereka. Tidak terkatakan rasa syukur Lia pada Tuhan. ***
Senang dan bahagia ya, Lia. Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Dapat barangnya dapat ilmu cara membuatnya. Cerdas.
Iya, Pak D.
Terima kasih banyak sudah mampir.
Sukses selalu, Pak D.