Memaknai Jumat Agung: Ketaatan yang Membawa Keselamatan

Humaniora, Literasi54 Dilihat
Christ, Easter, Death. (Foto: Wallpaper Flare)

Adakah yang melebihi Dia, yang telah menukar kuasa, kemuliaan, dan kekuatan-Nya dengan merendahkan dirinya, sedemikian rupa hingga mau menanggung hinaan, siksa, cemoohan, sakit, dan derita? Bahkan disalibkan, padahal Dia sendiri tidak berdosa?

Adakah yang lebih hebat daripada Dia yang menuruti kehendak Allah, dengan memberikan diri-Nya sebagai “korban sembelihan” demi umat manusia yang dikasihi-Nya?

Hari ini, Hari Jumat Agung, kita seakan mendengar pertanyaan itu dalam sanubari masing-masing, untuk mengenang pengorbanan Tuhan Yesus yang tidak terkira. Dia disalibkan sebagai penebusan satu kali untuk selama-lamanya bagi dosa-dosa manusia. Dia yang berkuasa, penuh kemuliaan dan kekuatan, telah memberikan diri-Nya untuk tunduk pada kehendak Allah, demi menyelamatkan umat yang dikasihi-Nya. Meskipun Dia sendiri tidak berdosa. Dia harus menanggung derita, siksa, hinaan, dan cemoohan, dalam menggenapi kehendak Allah.

Melalui ketaatan-Nya, Tuhan Yesus telah menjadi sumber keselamatan kekal, yang sempurna, tak bercacat. Tuhan Yesus menyediakan jalan bagi kita menuju Allah. Kehadirannya sebagai Imam Besar menggeser keimaman Yudaisme kuno, karena Dia tidak berdosa. Dia bukan dari keturunan Lewi. Bukan dari keturunan Harun. Melainkan dari keturunan Ishak dan Dia adalah Mesias.

Memperingati peristiwa sakral itu, sebagaimana umat Kristiani lainnya, jemaat HKBP Cibinong mengadakan perjamuan kudus. Perjamuan kudus adalah sebuah sakramen untuk mengenang pengorbanan Tuhan Yesus, sekaligus bukti bahwa umat mengimani kematian dan kebangkitan Kristus. Menerima sakramen ini berarti menerima tubuh dan darah Kristus melalui roti dan anggur yang sudah diberkati oleh pendeta.

Ibadah di HKBP Cibinong pada hari Jumat Agung diselenggarakan dalam tiga sesi, yakni pukul 06.00 pagi, pukul 10.00, dan pukul 18.00. Ibadah pukul 10.00 dipimpin oleh Praeses HKBP Distrik XXVIII Depok, Bogor, Sukabumi dan Kalimantan Barat Pdt Nekson Simanjuntak MTh, didampingi oleh Pdt. Dr. T Hutahaean dan Pdt. Monru Nainggolan.

Khotbah pada Jumat Agung mengambil nas Ibrani 5 ayat 7 sampai 10, yang berbunyi, “7 Dalam hidup-Nya sebagai manusia, Ia telah mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap tangis dan keluhan kepada Dia, yang sanggup menyelamatkan-Nya dari maut, dan karena kesalehan-Nya Ia telah didengarkan. 8 Dan sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya, 9 dan sesudah Ia mencapai kesempurnaan-Nya, Ia menjadi pokok keselamatan yang abadi bagi semua orang yang taat kepada-Nya, 10 dan Ia dipanggil menjadi Imam Besar oleh Allah, menurut peraturan Melkisedek.”

Boleh Langsung

Pendeta Nainggolan, dalam kotbahnya pada ibadah malam mengatakan, kita patut bersyukur dengan pengorbanan Tuhan Yesus. “Dia telah mempersembahkan diri-Nya sebagai korban pengampunan dosa, satu kali untuk orang-orang yang percaya, satu kali untuk selama-lamanya.”

Tabir Bait Suci terbelah. Ini merupakan salah satu peristiwa penting yang menyertai kematian Tuhan Yesus. (Foto: Pinterest)

Dengan pengorbanan Tuhan Yesus, manusia tidak perlu lagi menyembelih korban melalui imam-imam, seperti yang dulu dilakukan oleh orang Israel jika hendak memohon pengampunan dosa dan ingin berseru kepada Allah. Nas dalam Ibrani 5 di atas menegaskan, Tuhan Yesus adalah Imam Besar. Itu berarti kita tidak memerlukan lagi imam-imam atau korban sembelihan ketika kita hendak meminta kepada Allah, karena Tuhan Yesus adalah Imam Besar bagi kita.

“Dinding  pemisah telah diruntuhkan oleh Allah. Jangan lagi kita bangun tembok-tembok yang membuat kita jauh dari Allah,” tegas Nainggolan, usai menggarisbawahi dua peristiwa penting yang menyertai kematian Yesus (Lukas 23), yaitu kegelapan meliputi daerah itu sampai tiga jam (ayat 44) dan tabir Bait Suci terbelah menjadi dua (ayat 45).

Khusus terkait terbelahnya tabir Bait Suci (tabir pemisah antara tempat kudus dan tempat mahakudus), hal itu dimaknai sebagai lambang dihapuskannya hukum upacara yang sejak lama menjadi dinding pemisah antara orang Yahudi dan bukan Yahudi. Juga, pemisah yang membuat manusia relatif sulit mendekat kepada Allah. Untuk memohon pengampunan dosa, manusia harus mengorbankan korban sembelihan, dan itu dilakukan melalui imam-imam.

Dengan kematian Tuhan Yesus, tabir itu terbelah, yang dimaknai bahwa kita boleh bertemu dengan Tuhan kapan saja, karena “korban sembelihan” sudah digenapi satu kali untuk selama-lamanya.

Melkisedek

Nainggolan kemudian membahas Melkisedek yang disebutkan dalam nas acuan khotbah.

Merujuk Encyclopedia Brittanica, Melkisedek atau Melchizedek (bahasa Inggris) berasal dari bahasa Ibrani Malki-tsedeq,  yang berarti “raja” (malki atau melki) dan “kebenaran” (tsedeq atau sedek). Jadi, Malkisedek adalah “Raja Kebenaran”. Dia juga disebut sebagai “Raja Salem” (Raja ‘Shalom’) atau “Raja Yerusalem” atau “Raja Damai Sejahtera”.

Menurut Nainggolan, Melkisedek adalah seorang raja dan seorang imam Allah Yang Maha TInggi (Kejadian 14), tokoh penting dalam tradisi alkitabiah. Dia tidak berayah-ibu, tidak bersilsilah, tidak diketahui kapan dilahirkan dan kapan meninggal. HIdupnya tidak berawal dan tidak berkesudahan. Dia adalah imam sampai selama-lamanya.

Namanya sudah disebutkan pada masa Abraham, bahkan Abraham membayar persepuluhan kepadanya, setelah Abraham kembali dari mengalahkan Kedorlaomer dan para raja yang bersama-sama dengan dia dan setelah Melkisedek memberkati Abraham. Namanya sudah dikenal jauh sebelum suku Lewi menjadi imam (suku Lewi adalah salah satu suku dari bangsa Israel).

Persamaan antara pengorbanan Ishak dan Tuhan Yesus (Foto: Scott LaPierre)

Tuhan Yesus disebut sebagai “Imam Besar” menurut peraturan Melkisedek. Sebagai imam, Tuhan Yesus bukan dari keturunan Harun atau dari suku Lewi. Tuhan Yesus adalah keturunan Ishak, anak Abraham yang hendak dikorbankan di Bukit Moria sebagai bukti ketaatan Abraham kepada Allah (Kejadian 22).

(Catatan: Dalam Kejadian 22 itu diceritakan bahwa Abraham taat kepada Allah. Melihat ketaatan Abraham, Allah berfirman, “Jangan bunuh anak itu dan jangan kauapa-apakan dia, sebab telah Kuketahui sekarang, bahwa engkau takut akan Allah, dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepada-Ku.” (ayat 12). Ayat 13 menceritakan, Abraham menoleh dan melihat seekor domba jantan di belakangnya, yang tanduknya  tersangkut dalam belukar. Abraham mengambil domba itu, lalu mengorbankannya sebagai korban bakaran pengganti anaknya. Menurut Nainggolan, kisah itu merupakan representasi dari kedatangan Mesias.)

Tuhan Yesus tidak mempunyai bapak, karena Dia dilahirkan dari Roh Kudus melalui perawan Maria. Sebagai “Imam Besar”, Tuhan Yesus melakukan lebih dari yang biasa dilakukan oleh imam, yakni mempersembahan korban sembelihan, karena Tuhan Yesus justru mempersermbahkan dirinya sendiri sebagai “korban sembelihan” untuk mendamaikan manusia dengan Allah, satu kali untuk selama-lamanya.

“Adam Terakhir”

Dari sejumlah situs dan narasumber diketahui bahwa Tuhan Yesus juga disebut sebagai “Adam Kedua” atau “Adam Terakhir”. Adam pertama dengan kejatuhannya ke dalam dosa akibat ketidaktaatannya kepada perintah Allah, telah membuat semua manusia menjadi berdosa dan upah dosa adalah maut. Tuhan Yesus datang dengan ketaatan kepada Allah untuk menyelamatkan manusia berdosa.

Perbandingan antara Tuhan Yesus dan Adam setidaknya disebutkan secara literal dalam Perjanjian Baru, tepatnya pada Roma 5 ayat 12 sampai 21 dan 1 Korintus 15 ayat 22 dan 45. Roma 5 ayat 19 menuliskan, “Jadi sama seperti oleh ketidaktaatan satu orang semua orang telah menjadi orang berdosa, demikian pula oleh ketaatan satu orang semua orang menjadi orang benar.”

Sementara 1 Korintus 15 ayat 22 menuliskan, “Karena sama seperti semua orang mati dalam persekutuan dengan Adam, demikian pula semua orang akan dihidupkan kembali dalam persekutuan dengan Kristus.” Ayat 45 menuliskan, “Seperti ada tertulis: “Manusia pertama, Adam menjadi makhluk yang hidup”, tetapi Adam yang akhir menjadi roh yang menghidupkan.”

Teladan Ketaatan

Ketaatan Tuhan Yesus kepada Allah telah membuka jalan bagi keselamatan manusia. Nainggolan mengajak jemaat untuk meneladani ketaatan Tuhan Yesus, dengan taat pada suara Tuhan.

“Mari kita selalu rindu pada suara Tuhan. Rindu memberikan pengampunan, rindu memaafkan, rindu menjadi sahabat bagi orang lain,” kata Nainggolan. “Mari kita menjadi garam dan terang.”

Nainggolan mengingatkan jemaat untuk menerima sakramen perjamuan kudus dengan hati yang bersih, yang sudah mengampuni, yang sudah tuntas dan tidak lagi menyimpan kesalahan orang lain. ***

Tinggalkan Balasan