CERITA GELIAT SASTRA DIGITAL DARI ANAK KAMPUNG CIUNCAL

Terbaru98 Dilihat

Sastra sudah menembus seluruh belahan dunia. Tidak terbatas oleh sekat-sekat ruang dan waktu. Ketajamannya sudah mampu menggalang kekuatan dan gerakan kemanusiaan. Ini berkat dunia maya. Sastra menjadi suatu kajian yang kontemporer. (Compete.com, data Januari 2012)

Facebook di kampungku

Di masanya FB sangat ngetop dan populer, seperti sekarang ini tiktok sangat digemari. Tapi coba kita berselancar ke masa kejayaan FB, indonesia kabarnya pengguna facebook nomor dua di dunia. Lonjakan grafiknya begitu cepat.  Ketika membaca sebuah status yang terkesan sastra dengan judul “lilin, lentera dan kunang-kunang,” maka gemerlap semangat kebaikan dari sastra modern yang ditularkan menjadi semakin lebih baik. Ciuncal adalah sebuah kampung. Seperti juga nama sebuah kampung di pelosok cianjur selatan bernama cilameta, tempat saya menjadi pengawas Ujian Nasional saat Madrasah Tsanawiyah. Kampung ciuncal berada di diskotik, maksudnya di sisi kota saeutik, bahasa sunda sedikit di dekat perkotaan begitu. Tapi soal teknologi jangan ditanya. Geliat sastra saja sudah mendigital, tentu di kampung ciuncal pun saat itu sudah banyak aplikasi digital dan sekarang masih bertahan dengan baik seperti aplikasi whats App.

Kembali ke sastra digital, ketika membaca cerpen “Si miskin dan cinta,” tentang seorang istri yang ditinggalkan dengan seorang anak hanya karena tidak direstui orang tua sang suami yang kaya raya, dengan mudah pembaca termotivasi untuk memperjuangkan cinta walaupun dalam status”miskin” dan cerpen tersebut menuai banyak komentar.  Dalam dunia Digital tentu ada peraturan jelajah aman dengan berbagai manfaat tentunya tidak sembarangan orang dapat berbicara dengan sekenanya. Saya tidak bercerita tentang Undang-Undang ITE hanya menitik beratkan bahwa di kampung pun anak muda yang bergerombol di rumah wifi sudah berhati-hati dalam menggunakan sebuah fitur

Terdapat dua jenis data, sumber primer dan sekunder bisa didapatkan dari dunia maya, seperti tim kerja teknologi yang merupakan konformitas, yaitu perubahan perilaku kepercayaan menuju norma-norma kelompok sebagai akibat tekanan kelompok kepada seseorang. Tepat sekali seperti desakan suara  mayoritas untuk berkomunikasi di dunia digital, dunia maya.

Suara sastra

Digital Gejala sosial ini membuat perubahan pada pandangan kita tentang sastra klasik, salah satu sastra ada pada FB yang memberikan pelayanan tesponsif artinya menunggu fadeback atau umpan balik. Ketika menggunakan Force Choice yang digunakan untuk mengukur minat dan hobi, contoh pada kesukaan paired comparison maka responsif lebih memilih sastra dalam dunia maya. Bukan memilih membaca sastra klasik di perpustakaan.

Begitulah peran sastra yang lebih mudah dicerna meski berada di pelosok atau di kampung terpencil. Saya merasa ada dilema jejaring sosial kini. Generasi gadget dikenal juga generasi menunduk. Tetapi semuanya seperti dua sisi mata pisau, berguna bila digunakan untuk mengupas buah atau hal baik lainnya, berbahaya bila digunakan untuk hal yang tidak-tidak. Mengapa sastra digital lebih menarik ? Sebenarnya simple jawabannya selain praktis juga menampilkan realita kehidupan dan bukan sekedar keilmiahan yang klasik. Dunia digital sudah menggeliat sejak dulu, sehingga dengan mudah dukungan didapatkan dari likers, followers dan semacamnya dalam bingkai netizen. Diksi sastra digital yang lebih menarik semakin meningkatkan kompetisi sastra. Bandingkan ketika kita menyodorkan novel roman picisan atau sejenisnya, tapi saat diangkat sinopsis novel tenggelamnya kapal vanderwijk, dengan cepat kesatuan likers dapat dihimpun dari berbagai kalangan, apalagi jika yang mengupload adalah orang populer. Catatan-catatan kecil berupa curhatan sastrawi kini sudah lebih menarik di dunia digital, termasuk cerita dari kampung pelosok negeri.

Tinggalkan Balasan