Sufi Istiqlal

Iqro’ itu artinya bukan hanya membaca saja. Ia memiliki tingkatan. Mulai dari membaca, lalu memahami, menghayati dan berakhir dengan mukasyafah. Sehingga kita jangan hanya merasa puas sebagai tilmidz, tapi juga harus bisa menjadi murid”, dengan penuh rasa khusyuk dan tasbeh berada di tangannya, Prof. KH. Nasaruddin Umar, MA., Ph.D. yang menjadi imam besar masjid Istiqlal Jakarta menasehati kami para calon awardee LPDP PK 144 pada hari jumat ini.

Kami sampai di Jakarata kembali sepulang dari Bandung setelah mengikuti serangkaian kegiatan untuk merefresh otak, mulai dari mengikuti permainan, arum jeram, hingga berkunjung ke Pesantren Attifaq Bandung yang Pak Rafi menyebutnya dengan istilah “Tarekat Sayuriyah”. Hari jum’at ini merupakan hari terakhir kegiatan PK 144 ini. Rencananya hari ini diisi oleh dua orang tokoh nasional. Sesi pertama oleh Prof. KH. Nasaruddin Umar, MA., Ph.D. Imam besar masjid Istiqlal. Saya secara pribadi mengerti nama beliau sudah lama. Sesi kedua diisi oleh Menteri Keuangan, ibu Sri Mulyani.

Prof. Nasaruddin memiliki banyak sekali karya. Aktif mengisi pengajian di televisi nasional. Pernah menjabat sebagai wakil Menteri agama pada tahun 2011 sampai 2014. Sarjana S1 beliau tempuh di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta hingga mendapatkan gelar Ph.D pada tahun 1998. Lalu beberapa kali mengenyam pendidikan lagi di universitas di Kanada, Belanda, Tokyo, Londok, hingga Washington. Semangat beliau untuk terus belajar selama hidupnya patut diapresiasiasi.

Sebagaimana hari sebelumnya, mulai dari hari senin sampai rabo, kegiatan PK dimulai dari jam 5 pagi. Kami harus bangun untuk menunaikan shalat subuh, walaupun masih merasakan capeknya perjalanan dari Bandung ke Jakarta. Setelah shalat subuh, acara dilanjutkan dengan integrity sport di halaman samping hotel Accacia Jakarta. Hari jumat ini, integrity sport dipimpin oleh Mas Anwar untuk senamnya. Senam yang lucu, ada gaya memperagakan seperti hewan pinguin. Tangan digerak-gerakkan layaknya pinguin.

Dilanjutkan dengan senam untuk peregangan otot yang dipimpin oleh Mas Hafidz, beliau putra seorang Kyai di Mojokerto. Teman-teman sering bercanda untuk senam yang dipimpin oleh Mas Hafidz ini dengan senam militer. Karena gerakan yang diperagakan ke kami untuk ditirukan dianggap seperti gerakan senamnya militer. Lalu, integrity sport di hari terakhir ini ditutup sebuah permainan yang diprakarsai oleh Mas Syihab dari Sulawesi.

Permainannya adalah masing-masing kelompok diminta untuk menginjak sebuah tali. Semuanya berbaris, lalu Mas Syihab akan berkata sesuatu, ketika ada anggota dalam satu kelompok sesuai seperti yang dikatakan Mas Syihab, maka secara perlahan, dia harus bergeser ke barisan paling depan, tapi injakan kakinya tidak terlepas dari talinya. Kata pertama yang diucapkan Mas Syihab adalah “Yang paling tua, pindah ke barisan paling depan, lalu diurutkan ke paling muda”.

Seketika, masing-masing kelompok saling ramai untuk bertanya antar anggotanya. Kelompok saya, sultan agung mulai saling tanya, saya bertanya ke Aljabar, “umurmu berapa?, saya sendiri kelahiran 1987, “Anda lebih tua dari saya pak, silakan maju”, begitu seterusnya, hingga saya berada di barisan terdepan, ternyata di kelompok sultan agung ini, saya yang tertua, teman-teman yang lain secara umur berada di bawah saya, karena hampir semuanya kecuali Mas Lutfi dari Kalimantan hendak melanjutkan di jenjang S2.

Seperti biasa, usai integrity sport, dilanjutkan dengan sarapan pagi di restoran hotel. Tidak ada yang berubah, hanya suasananya saja, makanannya tetap saja mewah. Perpaduan antara masakan Indonesaia dan luar negeri. Kami serasa menjadi raja selama beberapa hari ini. Semuanya dibiayai oleh LPDP lewat uang negara, APBN. Saya makan dengan lahap bersama teman-teman yang lain.

Tepat jam 8 pagi, acara PK dimulai. Group rebana sudah siap dengan segala peralatannya, menyambut kedatangan pembicara yang luar biasa. Seorang sufi dari Istiqlal. Seorang yang kharismatik dengan senyum mengembang memasuki ruangan, di tangannya ada tasbeh yang terpegang. Seketika, teman-teman disuruh untuk berdiri oleh MC yang dipimpin oleh Mas Mukhlis dan Mas Jufri. Masing-masing dari kami mendekat, mencium tangan lembut beliau. Baru kali ini saya melihat langsung Prof. Nasaruddin Umar yang selama ini hanya bisa saya lihat di televisi-televisi nasional.

Prof. Nasaruddin jum’at pagi ini membawakan tema “Pembangunan yang berintegritas dan kepribadian yang berkualiats”. Acara PK sebelum Prof. Nasaruddin menyampaikan materinya diawali dengan berdiri bersama, kami menyanyikan lagu Indonesia Raya, dipimpin oleh Bintan Imama sebagai dirijennya, selanjutnya menyanyikan lagu angkatan Cantrikabinaya Nagarajaya.

Prof. Nasaruddin berdiri. Tangan kanan beliau memegang microfon yang diberikan oleh Mas Mukhlis. Tangan kiri beliau memegang tasbeh, bukan hanya sebagai hiasan saja, tapi disela-sela beliau berbicara, tasbeh itu senantiasa berputar, seperti menghitung sesuatu dari dzikir yang diucapkan oleh hatinya Prof. Nasaruddin. Beliau langsung menyinggung satu ayat dalam al-qur’an yang menjadi surat yang pertama kali diturunkan kepada Rosulullah Saw., yakni surat Al-Alaq yang berbunyi Iqro’.

Iqro’ itu artinya bukan hanya membaca. Tapi memiliki tingkatan. Berawal dari membaca, akhirnya naik ke level selanjutnya yakni memahami apa yang sudah dibaca. Bahkan membaca bukan hanya text book saja. Bukan hanya buku yang bisa dibaca. Segala sesuatu yang ada di alam semesta ini bisa dibaca”, Ucap Prof. Nasaruddin dengan pembawaanya yang kharismatik.

Beliau melanjutkan bahwa, kita bisa membaca apa saja. Jangan hanya berpaku pada buku saja. Nabi Ibrahim ketika mengajarkan kepada umatnya untuk mencari Tuhan, dengan cara membaca alam, membaca bulan yang muncul saat malam hari, membaca matahari yang muncul siang hari, membaca bintang-bintang penghias malam. Membaca udara yang bisa dirasakan kehadirannya tapi tidak terlihat. Membaca air yang bisa menghilangkan dahaga ketika diminum.

“Kita itu jangan sampai hanya puas menjadi tilmidz, tapi harus bisa naik ke tingkat selanjutnya menjadi murid”, lanjut Prof. Nasaruddin. Secara bahasa arab, tilmidz dan murid memiliki arti yang sama, yaitu murid seorang guru. Tapi menurut Prof. Nasaruddin. Tilmidz itu adalah murid dari seorang guru saja, gurunya ya manusia. Murid guru ketika SD, SMP, SMA dan seterusnya. Tapi ketika berbicara murid, maka berarti lebih luas, yakni berguru kepada apa saja, bukan hanya manusia saja.

Segala yang ada di alam semesta ini, kita bisa berguru kepadanya, bahkan berguru kepada seseorang yang dianggap sudah meninggal secara jasad. “Makanya ada istilah ilmu ladunni, itu adalah murid”, kata Prof. Nasaruddin. Saya semakin tertarik dengan penjelasan beliau. Keterangan khas Tasawwuf. Ilmu yang selama ini paling saya sukai.

Setelah hampir satu minggu kami digempur dengan materi-materi ‘duniawi’, pagi ini Prof. Nasaruddin memberikan nutrisi materi ‘ukhrawi’. Bahasanya lumayan berat sebenarnya, tetapi dalam. Perlu diresapi dengan hati. Beliau berpesan banyak hal, diantaranya untuk senantiasa menjaga wudlu. “Saat anda selesai berwudlu’, anggota yang terkena bekas air wudlu jangan diusap dengan handuk. Ada banyak berkah disitu, setiap tetes dari air itu, menghapus dosa-dosa kita. Menghapus dosa di wajah, tangan, telinga, hingga kaki kita”.

Beliau juga berpesan agar seimbang dalam belajar. Barat selama ini maju dengan ilmu dunianya, sementara timur berorientasi dengan ajaran batin. Nah, bagaiamana kita bisa menyeimbangkan kedua kutub yang berbeda ini dengan cara kolaborasi yang tidak berat sebelah. Prof. Nasaruddin mencontohkan diri beliau sendiri, walaupun beliau alumni barat, tetapi beliau bisa menjadi pribadi yang agamis yang selama ini beliau peroleh dari tradisi timur.

Imam Syafi’i pernah mengeluh kepada gurunya yang bernama Imam Waqi’ perihal masalah yang menimpanya. Imam Syafi’i waktu itu tidak bisa menghafal sesuatu, padahal selama ini beliau sangatlah cerdas dan mudah menghafal ilmu yang beliau pelajari. Lalu gurunya, Imam Waqi’ memberikan saran untuk membersihkan diri. Bukan hanya bersih secara jasad saja, tapi juga membersihkan dari segala bentuk dosa yang diperbuat.

Ternyata diketahui, Imam Syafi’i sebelumnya melakukan sesuatu yang membuat dirinya sulit untuk menghafal. Beliau beli anggur di pasar dan saat si penjual menimbang anggur yang dibeli oleh Imam Syafi’i, beliau nyicipi, mencoba satu anggur dan tidak izin terlebih dahulu kepada penjualnya, karena menganggap penjualnya ridlo hanya dicoba satu anggurnya. Namun, ternyata apa yang dilakukan oleh Imam Syafi’i ini berpengaruh terhadap anugerah mudah menghafal yang selama ada dalam dirinya.

“Jadi senantiasalah bersih. Bukan hanya bersih secara fisik saja, tapi juga membersihkan diri dari dosa-dosa dan penyakit hati”, Prof. Nasaruddin berpesan banyak hal yang semuanya berkaitan dengan ajaran tasawwuf. “Jangan lupa juga untuk konsisten mengharap kepada Allah di atas sajadah, istiqomah shalat malam”, lanjut beliau.

Pagi ini saya mendapatkan hidangan nutrisi hati lengkap dari seorang Sufi Istiqlal, Prof. Nasaruddin Umar. Terimakasih Prof. Memberikan pencerahan kepada kami, saya khususnya, untuk selalu belajar, belajar dan belajar. Untuk tidak pernah lelah mempelajari sesuatu. Belajar tanpa batas, bahkan tidak membatasi diri hanya dari seorang guru yang masih hidup saja, tapi belajar ke seorang guru yang dianggap sudah meninggal, bahkan segala hal yang bisa dilihat pantas dijadikan sebagai guru.

Saya jadi teringat dengan perkataan Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang disebutkan dalam kitab Ta’limul Muta’allim, beliau mengatakan yang artinya, “Aku adalah budak seseorang yang mengajarkan kepadaku satu huruf saja. Jika dia berkehendak, aku rela terus menjadi budaknya. Jika dia bersedia memerdekakan diriku, aku juga bersedia. Terserah dirinya”.

Sebuah ungkapan yang luar biasa, menunjukkan betapa pentingnya hormat kepada seorang guru dan betapa pentingnya belajar sesuatu walaupun itu hanya satu huruf saja. Terimakasih Prof., saya akan berusaha untuk belajar di universitas kehidupan ini. Terimakasih LPDP yang menghadirkan pembicara yang luar biasa. Terimakasih Indonesia. Selanjutnya kami menunggu pembicara yang menjadi Menteri Keuangan, Ibu Sri Mulyani.

Tinggalkan Balasan