Sekolah Negeri Tak Miliki Gedung, Begini Islam Menyolusi

Terbaru14 Dilihat

Sekolah Negeri Tak Miliki Gedung, Begini Islam Menyolusi

Karena tak memiliki bangunan sekolah yang memadai, siswa belajar dengan  menumpang di sekolah lain. Begitulah potret puluhan siswa SMPN 60 Bandung yang  mengundang perhatian publik. Maklum, fenomena ini terjadi pada berlokasi di lingkungan perkotaan.

Humas SMPN 60 Bandung Rita Nurbaini menuturkan,  jumlah siswa di sekolah ini sebanyak  270 anak yang terdiri dari 9 rombongan belajar. Sedangkan,  ruang kelas hanya ada 7. Akibatnya  2 rombel  harus mengikuti KBM di luar kelas dengan duduk lesehan. Mereka menumpang gedung milik SDN 192 Ciburuy, Regol, Kota Bandung.

Pihak sekolah sejatinya sudah mengajukan permohonan gedung kepada Dinas Pendidikan Kota Bandung. Namun, hingga saat ini mereka belum mengetahui secara pasti perkembanganya.

Lebih miris ladi, sejumlah sekolah negeri lainnya juga bernasib sama dengan SMPN 60 bandung. Berdasarkan data pada 2018, di kota Bekasi terdapat sepuluh sekolah negeri yang belum memiliki gedung sendiri. Pada 2017, di kota Depok terdapat lima sekolah menengah negeri yang memiliki kondisi yang sama. Mereka harus menyewa gedung untuk kegiatan belajar mengajar.

Bukan hanya tak memiliki  gedung sendiri, bahkan masih banyak sekolah negeri yang rusak dan minim fasilitas. Berdasarkan data Kemendikbudristek, pada 2022 terdapat 21.983 sekolah yang kondisinya rusak dan butuh perbaikan.  Penyebab utama kondisi>l tersebut ialah kurangnya anggaran dari pemerintah untuk merenovasi dan memperbaiki sarpras  sekolah.

Kesenjangan Anggaran Dan Realisasi

Guna pemenuhan fasilitas sekolah, berupa gedung, ruang kelas, dan fasilitas penunjang, negara  perlu dana alokasi khusus fisik sebesar Rp576,6 triliun. Namun, merujuk nota keuangan APBN 2024, alokasi  dana pendidikan hanya sebesar Rp15,8 triliun. Besaran ini sangat jauh dari kebutuhan.

Alokasi anggaran pendidikan selalu mengalami kenaikan. Namun, naiknya anggaran pendidikan dari tahun ke  pada tiap tahunnya masih belum menjawab problem pendidikan dari sisi penyediaan sarpras.

Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), sepanjang 2019—2024 anggaran pendidikan selalu naik, dari Rp492,45 triliun (2019) hingga Rp581,8 triliun (2024). Namun, realisasi serapan anggaran tidak mencapai 100%. Sebagai contoh, anggaran pendidikan pada 2019 sebesar Rp492,45 triliun terealisasi sebanyak 93,48%;  pada 2022 sebesar Rp621,28 triliun terealisasi 77,3%; pada 2023 sebesar Rp645,25 triliun terealisasi 79,56%. Pada RAPBN 2025, anggaran pendidikan direncanakan naik menjadi Rp722,6 triliun.

Jika mencermati data tersebut, kenaikan anggaran tidak sebanding dengan realisasi serapan yang menunjukkan penurunan dari tahun ke tahun. Hal ini tampak dari temuan Banggar DPR, dari total anggaran pendidikan APBN 2022, sekitar Rp111 triliun tidak terserap dengan baik.

Buruknya serapan terjadi karena buruknya tata kelola dan lemahnya implementasi di lapangan. Di sisi lain, naiknya anggaran pendidikan belum berkorelasi positif dengan kondisi pendidikan kita hari ini. Meski anggaran pendidikan selalu naik setiap tahun, pendidikan masih diliputi problem serupa. Mahalnya biaya pendidikan, literasi baca dan kemampuan sains siswa menurun, gaji guru honorer yang tak layak minimnya fasilitas pendidikan seakan merupakan problem abadi pendidikan.

Pendidikan ala Kapitalisme

Mengurai benang kusut pendidikan harudlah melihat dari akar madalah yaitu    paradigma yang salah. Pendidikan di negeri ini tegak  dalam sistem kapitalisme. Paradigma kapitalisme memandang pendidikan sebagai barang dagangan.  Ada harga, ada rupa. Apabila ingin menyekolahkan anak dengan fasilitas memadai, maka adanya hany di sekolah swasta dengan biaya tinggi.

Problem Turunan Distem Zonasi

Sistem zonasi yang sedianya ditujukan untuk pemerataan pendidikan, malah memunculkan kesenjangan. Sekolah negeri favorit dengan fasilitas cukup dengan kelebihan kuota siswa. Sementara sekolah negeri dengan fasilitas sederhana dan kurang mendapat siswa, bahkan tidak mendapat siswa baru. Andaikan semua sekolah negeri memiliki sarana dan prasarana yang sama, dimungkinkan siswa dan orang tua lebih mudah dalam memilih sekolah. Kesenjangan pun bisa diatasi.

Di sisi lain, tujuan pendidikan  kini diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pasar.  Alhasil, bersekolah bertujuan untuk mendapat ijazah kelulusan agar bisa bekerja.


Penyediaan gedung, sarpras sekolah merupakan tugas negara dalam menjamin hak pendidikan generasi. Negara selayaknya menjalankan fungsi tersebut secara memadai. Negara harus memastikan setiap sekolah berstatus milik negara terpenuhi sarprasnya.

Sistem Pendidikan Islam

Dalam Islam, negara berkewajiban mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan, mulai dari kurikulum, bahan ajar, metode pengajaran, sarana dan prasarana sekolah, hingga mengupayakan pendidikan dapat diakses rakyat secara mudah.  Rasulullah ﷺ bersabda, “Seorang imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Sepanjang sejarah, sistem pendidikan Islam pada masa Khilafah berlangsung gemilang. Implikasinya, kemajuan iptek dan perkembangan perpustakaan besar, pusat pembelajaran, dan universitas sangat pesat di beberapa tempat, seperti Baghdad, Cordoba, dan Kairo. Sebagai contoh, Baitul Ilm merupakan nama perpustakaan umum yang berada di banyak kota di Afrika Utara dan Timur Tengah pada abad ke-9. Perpustakaan ini  terbuka untuk siapa pun. Para staf perpustakaannya digaji oleh negara sebagai pegawai negeri.

Untuk tujuan pendidikan secara umum, yaitu  lahirnya generasi unggul, negara Khilafah  melakukan serangkaian mekanisme berikut.

Pertama, semua jenjang pendidikan harus memiliki fasilitas dalam kualitas yang sama.  Negara berperan aktif dalam memenuhi sarana fisik yang mendorong terlaksananya program dan kegiatan pendidikan sesuai dengan kebutuhan, kreativitas serta  inovasi.

Sarana tersebut bisa berupa gedung sekolah/kampus, ruang kelas, kantor guru dan TU, perpustakaan, laboratorium, asrama siswa, aula, ruang seminar, majalah,, layanan internet, dan sebagainya.

Kedua, membangun  perpustakaan umum, laboratorium, dan sarana umum lainnya di luar yang dimiliki sekolah dan perguruan tinggi untuk memudahkan para siswa melakukan kegiatan penelitian dalam berbagai disiplin ilmu.

Ketiga, mendorong dibukanya toko-toko buku dan perpustakaan pribadi. Para pemilik toko buku didorong untuk memiliki ruangan khusus kajian dan diskusi yang dibina oleh seorang ilmuwan atau cendekiawan. Mereka juga didorong memiliki buku-buku terbaru, mengikuti diskusi karya dan hasil penelitian ilmiah para cendekiawan.

Keempat, negara menyediakan sarana pendidikan lain, seperti televisi, surat kabar, majalah, dan penerbitan yang bermanfaat untuk siapa saja tanpa harus ada izin negara. Adapun konten media tetap merujuk pasa batasan syara yang menjadi bagian dari peraturan negara.

Kelima, mengizinkan masyarakat untuk menerbitkan buku, surat kabar, majalah, dan melakukan penyiaran dengan konten yang mendidik dan sesuai ketentuan Islam.

Keenam, memberi sanksi tegas kepada orang atau sekelompok orang yang mengarang suatu tulisan yang bertentangan dengan Islam, baik disiarkan lewat internet, media sosial, surat kabar, televisi, atau sarana penyiaran lainnya.

Ketujuh, pendanaan pendidikan full menjadi tanggung jawab negara. Dekolah di jenjang manapun  bersifat gratisdimana  pembiayaan pendidikan  diambil dari baitulmal yaitu dari pos fai dan kharaj serta kepemilikan umum.  Jika pembiayaan dari dua pos tersebut mencukupi, negara tidak akan menarik pungutan apa pun dari rakyat. Jika harta di baitulmal habis atau tidak cukup untuk menutupi pembiayaan pendidikan, negara Khilafah meminta sumbangan sukarela dari kaum muslim.

Kedelapan, sistem pendidikan Islam bebas biaya diperuntukkan bagi seluruh peserta didik. Contoh praktis penerapan pendidikan dalqm sistem Islam adalah Madrasah al-Mustansiriyyah yang didirikan Khalifah al-Mustansir Billah di kota Baghdad. Di lembaga ini setiap siswa menerima beasiswa berupa satu dinar (4,25 gram emas) per bulan.

Kesembilan, guru dan tenaga pengajar memiliki kualifikasi profesional. Negara wajib menyiapkan tenaga-tenaga pengajar yang ahli di bidangnya. Negara juga wajib memberikan gaji yang memadai bagi guru dan pegawai yang bekerja di lembaga pendidikan.

Berapakah gaji guru yamg mungkin bila Islam diterapkan? Khalifah Umar bin Khaththab ra. pernah menggaji guru pengajar anak-anak kecil di Madinah, sebanyak 15 dinar atau 63,75 gram emas. Dengan harga 1 gram emas Antam per 2 Oktober 2024 sebesar Rp1.464.000 maka4 setara dengan Rp93,330 juta per bulan. Bandingkan dengan gaji guru dan dosen di negeri ini.

Sistem Islam yang diterapkan negara meniscayakan kemampumpuan negara dalam memenuhi tanggung jawabnya di bidang pendidikan.  Bukan hanya menyiapakan infrastukturnya namun juga mambangun struktur pendidikan yang mampu menciptakan generasi unggul pencipta peradaban yang gemilang.

Tinggalkan Balasan