SEINDAH TAKDIR CINTA# EDIT NOVEL JUMINAH

Novel208 Dilihat
COVER NOVEL JUMINAH

 

PROLOG

Welcome to my first story.

I hope you all to like this story.

 

Mengetahui bagaimana seseorang itu mengenali panggilannya serta menyahutnya. Panggilan ini mengisahkan cerita benar kehidupanku. Suka duka kulalui hanya untuk menjawab panggilan dari dalam hati. Aku menulis catatan-catatan ini bukan untuk mengeluh. Aku hanya ingin mengobati luka dalam hati dan jiwa agar aku tetap baik-baik saja menjalani sisa-sisa perjalanan hidupku yang diberikan Allah.

Aku ingin tetap baik-baik saja meski kadang sedikit merasa hancur. Aku marah, kecewa, sedih, dan pada akhirnya aku membenci semuanya. Terkadang aku bertanya, ”mengapa ada derita bila bahagia tercipta? Mengapa harus ada duka bila suka tercipta?  Mengapa ada rasa sakit bila kenyataannya rasa senang itu ada? Tak bisakah aku merasakan kebahagiaan itu?”

 Aku bukan pemimpi yang sanggup melakukan apa saja demi mencapai mimpi dan impianku. Aku hanya melalui hidupku apa adanya. Berpegang teguh pada takdir Tuhan tanpa pernah menyesalinya. Namun,jika aku boleh berpendapat aku ingin ucapan selamat pagi dari laki-laki yang aku cintai ketika aku membuka mata dengan senyum manis yang membuatku memiliki energi penuh untuk melewati hari-hariku. Sederhana bukan?

Akan tetapi, jika takdir belum menemukan jalan untuk menyatukan dua hati yang saling mencinta, maka mengikuti alur Tuhan adalah jalan terbaik karena makna bahagia yang sesungguhnya baru saja akan aku pelajari dalam pahitnya penderitaan yang terlebih dahulu diberikan takdir.

Selamat menikmati kisahnya. Jangan lupa siapkan minuman manis sebagai pelengkap rasa pahit dari setiap ujian yang kujalani. Enjoy and happy reading, thank you.

BAGIAN PERTAMA

“INTRODUCING MY SELF”

Ada apa dengan diriku? Seolah aku diajak untuk menyimak gambaran kehidupan yang telah kulewati, yang sedang kujalani, dan juga aku dipaksa untuk memandang, untuk melihat gambaran tampilanku yang akan datang yang pasti menjadi seperti apa aku nanti?

Inilah yang melatar belakangi diriku untuk menggambarkan sesuatu yang sedikit kusembunyikan kepada kalian yang membaca dari tulisan ini. Sekilas tentang masa lalu, pasti kita berbicara tentang masa yang  kita lewati.

Di sana terjadi beberapa periode hingga bagaimana aku sekarang dapat dipersempit. Aku akan melewati masa anak-anak, remaja, dan dewasa seperti sekarang.

Aku terlahir sebagai anak pertama dari 5 bersaudara dan di antara kami ada satu laki-laki. (Munajatullah). Dia anak yang nomor 2 lalu disusul adik kembarku Jena dan Jeni, dan adik bungsuku Zahrotun Nafsiah. Dengan kata lain, aku adalah anak tertua.

Aku  dibesarkan dalam keluarga yang pekerja keras karena aku berbeda dengan anak-anak sebayaku yang ada di lingkungan yaitu tidak adanya waktu bermain dengan teman-teman sebayaku di masanya.

Dari sudut pandang itu, mungkin sedikit yang bisa kutuangkan, mengajak Anda bertanya ”mengapa”? Ya, “Kerja keras.” Membantu membereskan pekerjaan rumah sebelum berangkat ke sekolah, itu sudah rutinitasku setiap hari. Sekolah sambil jualan pun, itu sudah hal yang tidak harus malu lagi bagiku.

Kembali bekerja setelah pulang daari sekolah, itu pun sudah bukan sesuatu yang menjadi beban lagi. Walau memang awalnya karena terpaksa, tapi akhirnya menjadi bias lalu terbiasa. Mulailah dari mencintai pekerjaan itu, maka dirimu tidak akan merasa terbebani.

                       

BAGIAN KEDUA

PRIBADI YANG BERMANFAAT

 

             Kita  sangat familiar dengan hadits yang berbunyi خير الناس انفعهم للناس     (khoirunnas anfa’uhum linnas) sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. (HR. Ahmad Thabrani, Daruqutni disahihkan Al Albani dan As-Shilsilah As-Shahihah).

Carilah ridho Allah, bukan ridho manusia. “Barangsiapa yang mencari keridhoan Allah sekalipun memperoleh kebencian manusia, Allah akan mencukupkan dia dari ketergantungan pada manusia.” (HR.Thirmidzi:2338).

Apabila kita bisa bermanfaat bagi orang lain, maka kebaikan juga akan kembali kepada diri kita sendiri. Itulah yang selalu ayah ucapkan padaku ketika setelah selesai membawakan dongeng yang sepertinya bukan  hanya satu dongeng saja yang ayah tahu karena ayah selalu membawakan dongeng  setiap malam sebelum tidur dengan dongeng yang selalu berbeda.

Salah satu dongeng yang masih aku ingat sampai detik ini. “Ada seekor buaya yang ingin memakan kancil.  Kancil berkata pada buaya, baiklah tapi dengan satu syarat. Kamu boleh memakanku wahai buaya, kalau kamu bisa mengalahkanku. Kita lomba. Menyebrangi sungai ini. Jika kamu sampai duluan, itu artinya kamu menang. Silakan kamu makan tubuhku, tapi kalau aku yang lebih dulu sampai maka kamu tidak jadi memakanku. Buaya pun menyanggupinya.

 Lalu kancil naik ke punggung buaya. Ketika hampir sampai di tepi sungai kancil melompat. Buaya kaget. Ketika malihat kancil sudah sampai duluan, maka buaya tidak jadi memakan kancil. Itulah dongeng buaya yang bodoh dan kancil yang pintar” (jelas ayah).

Kancil melanjutkan perjalanannya kembali. Di tengah hutan, ia bertemu dengan anjing kecil. Kalau anjing kecil gimana suaranya? tanya ayah. “Ang ang ang,” jawabku. Kalau begitu angges(selesai) dongengnya. Lanjut ayah kembali.

Aku juga masih teringat dengan cara ia mendidikku. Yang selalu menyuruhku menghafal do’a-do’a atau pun hal lainnya. Dengan diberi jangka waktu, dijanjikan dengan berbagai hadiah jika aku bisa.

Ayah tahu bagaimana cara mendidik anak yang masih berusia anak-kecil yang senang dimanja. dan dirayu sehingga aku tidak pernah merasa terpaksa ketika belajar.

Ayah adalah orang pertama yang mengajari ku huruf hijaiyah. Ayah juga yang tidak pernah bosan memeriksa tas sekolahku, dengan tujuan ingin memastikan nilai-nilai belajarku. Ia selalu memantau perkembanganku baik di SD, Madrasah, ataupun dalam hal membaca al qur’an.

Aku memulai sekolah dasar, saat usia 5 tahun.  Aku berhasil mendapatkan ranking pertama. Ketika semester 1, tiba saat semester 2. Kaali ini ada perayaan. Di mana tidak hanya wali santri yang datang tapi juga ramai anak-anak, pemuda-pemudi, semua guru hadir, dilengkapi para kasepuhan (orang yang dituakan di kampong) Desa Paja. Para pedagang pun tidak ketinggalan tentunya. Pelengkap suasana.  hehehe…

Detik-detik disebutkan nama-nama murid yang mendapatkan ranking pertama berurutan dari kelas 6 hingga kini tiba di kelas satu dan ternyata namaku kembali disebut dan diminta untuk naik ke  atas panggung, untuk menerima penghargaan.

Aku segera naik ke atas panggung  juga ayah yang sedari tadi duduk dibarisan kursi wali murid paling depan bangkit dari tempat duduknya dan menghampiriku naik ke atas panggung juga. Aku dapat melihat wajah ayah yang tersenyum. Sangat terpancar sekali satu kebahagiaan dan kebaanggaan bagi ayahku terutama yang telah mendidiku dengan segenap cinta dan kasih sayangnya.

Lembar uang merah 100.000 ayah tempelkan di keningku lalu memelukku dan menciumku.  Aku tak bisa menahan bulir-bulir air mataku ketika pelukan ayah begitu terasa erat. Pelukan yang sepertinya menyimpan makna dan sebuah harapan yang begitu besar padaku. Detik itu pula aku berjanji pada diriku untuk tidak pernah menghilangkan kebahagiaan itu. Setidaknya itulah yang bisa aku berikan untuk orang-orang yang sangat mencintaiku dan menyayangiku walau dengan segala kesederhanaan dan keterbatasan ekonomi.

***

Sembilan tahun kemudian, alhamdulilah preatasiku dalam belajar baik itu sekolah ataupun pembelajaran keagamaan berkembang baik sehingga aku mendapatkan penghargaan sebagai siswa berprestasi setelah lulus SMP.

Maaf sahabat yang membaca tulisan ini. Ini bukan suatu kesombongan. Tapi aku hanya berbagi cerita nyata hidupku. Tentunya itu semua karena adanya didikan dari guru-guruku tercinta dan do’a dari orang-yang menyayangiku dan terutama dari ayah yang menjadi madrasah pertama bagiku.

Kini aku sudah beranjak dewasa. Bukan lagi seorang Juminah yang harus di nina bobo dan dibawakan dongeng penghantar tidur. Bukan lagi seorang Juminah yang selalu meminta ayah untuk menggendongku saat aku lelah berjalan kaki. Bukan lagi seorang Juminah yang selalu bisa mendapatkan apa yang kumau dengan hanya menadahkan tangan pada ayah.

Tapi kini, justru aku merasa sedih. Kenapa? Karena mungkin saja aku akan melanjutkan pendidikanku selanjutnya yang letaknya jauh dari rumah. Aku berfikir, bagaimana nanti jika ibu kesibukan mengurus adik-adik tanpa aku?

 Dari pihak  sekolah  mengajukan aku untuk harus tetap lanjut sekolah. Ada memang SMA Negeri yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah, bisa pulang pergi. Jadi aku bisa tetap membantu ibu setelah pulang sekolah. Tapi masalahnya, saat ini kami belum punya kendaraan. Kalau setiap hari pulang pergi naik ojeg itu butuh ongkos dan aku rasa ayah tidak akan mampu karena  penghasilan ayah hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari saja. Itu pun kadang aku membantunya.

Aku mendapatkan uang dari segala sisi. Baik dari hasil mencuci pkaian punya orang atau pun dari hasil aku jualan, atau hasil dari pencarian batu kalimaya. Mungkin  ada yang tidak tahu apa itu kalimaya. Semacam batu alam yang suka dijadikan permata atau perhiasan. Kalau kalian penasaran silahkan tanya ke mbah google. Hehehe…

 Itulah diriku yang fisiknya perempuan tapi seperti Wonder Women, yang sudah terbiasa bersahabat dengan panas matahari dan parang. Bahkan  tetangga pun sampai menasehati seperti ini ”cintailah dirimu, kasihanilah tubuhmu, jangan selalu kamu sibukan dengan pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya belum waktunya kamu lakukan itu. kamu bahkan seperti tidak punya waktu untuk merawat dirimu sendiri dan bergaul bersama teman-temanmu.”

Tanggapanku, “thats right but whatever”  apa kata orang karena aku merasa aku sebagai anak tertua dibebankan tanggung jawab yang besar. Membantu orang tua adalah hal yang utama karena  aku hanya ingin menjadi pribadi yang bermanfaat bagiku juga bagi orang-orang sekelilingku.

BAGIAN KETIGA

“FIRST SIGHT”

 

Minggu pagi, aku sengaja ingin ikut ayah ke tempat kerjanya. Setelah 3 hari lalu mengadakan acara perpisahan sekolah bersama teman-teman, aku dan ayah berjalan kaki menikmati hangatnya matahari di pagi hari.

Daun-daun yang mulai rontok berserak di atas jalan setapak. Pesawahan yang menghijau terlihat berbaris dengan sangat rapi. Udara dingin mencapai di daerah rangkas. Mengusap lewat hembusan angin yang terasa lebih kencang dari biasanya. Tengah berjalan, aku tiba-tiba bertanya sesuatu pada Ayah.

 “Yah, sekarang kan aku sudah lulus sekolah, jadi boleh dong aku punya hp?” tanyaku pada ayah yang hanya diam saja sejak tadi.

“Justru itu mengapa ayah minta hari ini kamu ikut sama ayah karena bos ayah mau datang danmembawakan hp yang sudah ayah pesan,” jawab ayah.

“Yes.. Asyik.. Alhamdulilah. Yaa, walaupun sudah ketinggalan zaman,” lanjutku.

“Maafkan ayah, ya nak. Ayah tidak memperbolehkan megang hp sperti teman-teman sekolahmu, itu semata-mata karena ayah sayang sama kamu. Ayah tidak mau masa belajarmu terganggu karena pergaulan yang berawal dari hp” sambung ayah kembali.

“Iya ayah, aku mengerti” jawabku. Aku lalu tersenyum dan melanjutkan perjalanan kembali setelah bercakap sebentar. Ah iya, pondok pesantren. Kepalaku tiba-tiba saja memutar ingatan tentang tempat yang sebentar lagi mungkin akan menjadi tempatku menimba ilmu.

Menurutku pondok pesantren adalah pilihan yang tepat karena  di samping biayanya yang tidak mahal, juga di sana tidak hanya diajarkan ilmu dunia. Tapi biasanya orang yang keluaran dari pondok pesantren punya nilai plus. Itulah yang aku liat di lapangan. Tapi kembali lagi aku bertanya pada hatiku sendiri. Bagaimana dengan adik-adiku tanpa aku?

“Waktu itu lebih mahal daripada emas dan tidak akan pernah kembali hari-hari yang telah berlalu,” tiba-tiba ayah berkata seperti itu. Seolah tahu apa yang sedang aku pikirkan.

Ayah sangat menyayangkan jika pendidikanmu terhenti sampai di sini. Karena kamu punya kualitas. Lanjut ayah yang membuatku bingung dengan maksud perkataannya sehingga membuatku bertanya lagi. Apa maksud dari ucapan ayah itu  “kamu sudah siap menikah?”

Deg… Sontak membuatku hampir terpeleset dan hampir jatuh ke sawah guys. “Oh my god. Apa ayah tidak sedang bercanda?” tanyaku dengan diiringi tawa ringan.

 Seseorang yang selama ini baik sekali dan bahkan ia membantu keluarga kita saat berada dalam kesusahan. Ayah rasa ia punya maksud, hanya belum berani bicara padamu. Mungkin kamu tau siapa yang ayah maksud. “Ka Maman” jawabku ragu. “Yaaah” sambung ayah.

“Tapi,aku rasa itu tidak mungkin karena bagaimana mungkin ada seseorang yang mau padaku yang setiap harinya hanya berteman dengan alam. Kalaupun memang ada aku rasa orang itu mungkin matanya buta,” jelasku dengan setengah yakin.

Terkadang “seseorang tidak perlu alasan untuk bisa jatuh cinta,” sanggahan ayah membuatku bengong seketika. “Kenapa kamu jadi bengong? Pertanyaannya sekarang adalah “apakah kamu siap atau tidak”? Pertanyaan ayah seperti sangat butuh kepastian.

Saat ini aku tidak sedang memikirkan menikah. Jawabku sambil mendongak sejenak ke atas langit. Mengamati beberapa pohon yang daunnya telah hampir habis. Satu di antaranya masih bertahan hidup meski tak lagi berbuah.

Aku tersenyum merapatkan tanganku di dada. Dinginnya daerah rangkas pagi ini terasa begitu menggigil. Aku jadi ingin secepatnya sampai di tempat tujuan.

***

            “Assalamualaikum.. Iiiii, Aiiiii” sergah ayah begitu sampai di depan pintu rumah, yang aku sendiri tidak tahu rumah siapa itu. Mungkinkah ini rumah bos ayah? Lalu siapa yang tinggal di rumah yang letaknya ada di tengah perkebunan begini?”  tanyaku dalam hati.

Tanpa aku sadari ternyata ayah sudah tidak ada di tempat. Aku langsung mencari ayah.

Pandanganku tertuju pada sekelompok orang yang sedang berkumpul. Ketika  aku memastikan ternyata ada ayah di antara mereka. Langkahku terhenti saat sedang ingin menghampiri mereka. Mungkin mereka sedang membicarakan hal penting pikirku. Lalu kembali duduk di depan teras rumah tadi.

Sebuah tangan kurasa menyentuh bahuku dengan sedikit mengguncang. Disusul dengan suara seorang laki-laki yang berasal dari belakangku menyapaku lembut. “Assalamualaikum, siapakah dirimu? Kenapa ada di sini?” Ketika aku berbalik badan tidak langsung menjawab pertanyaan yang dia ajukan padaku.

Apa pertanyaannya, aku lupa dalam hitungan tiga detik saja. Aku justru terdiam menatap wajahnya hingga sekali lagi dia mencoba menyadarkanku dari rasa terkejutku.

”Halloo, are you ok?” Katanya seraya melambaikan tangan di depan wajahku. Mengerjapkan mata beberapa kali, aku tersadar.

“Ah, ya, aku baik-baik saja. Maaf aku tadi sedang tidak fokus. Kataku dengan rasa bercampur malu. Aku harus pergi, permisi. Sambil melanglah pergi. Tiba-tiba ia menahan tanganku, yang membuatku berbalik dengan kedua alis yang terangkat seolah bertanya ada apa.

Seketika suasana berubah  canggung. ”See you next time” katanya. Dengan senyuman yang mampu membuat jantungku berdetak lebih kencang. “Maybe” jawabku singkat sambil melepaskan tanganku dari genggamannya dan bergegas pergi meninggalkannya dan kembali pulang ke rumah karena aku rasa aku sedang tidak baik baik saja saat ini.

 

BAGIAN KEEMPAT

PERTEMUAN KEDUA

Pagi berganti sore, seperti biasa setelah aku beres dengan pekerjaan rumah, aku mandandani kedua adik kembarku. Kupakaikan mereka rok jeans yang hanya selutut dan kemeja lengan pendek berwarna moca motif kotak-kotak. Dengan rambut yang diikat ala Upin Ipin.

Aku memang sengaja mencarikan baju yang twins pula. Karena kalau tidak, bisa ribut mereka. Apapun harus sama, bahkan piring, gelas, punya mereka pun harus sama. Paling hanya beda warna saja. Itulah uniknya twins.

 Lalu, mengajak mereka bermain di halaman yang letaknya tidak jauh dari rumah, tepat di samping jalan raya. Terlihat begitu lucu dan menggemaskan, ketika mereka sedang berlomba mengambil bola yang ada di tanganku saat ini.

Tiba-tiba, seseorang dari arah belakang menggelitik pinggangku seraya berkata lembut di telingaku “hi” ucapnya. Suara yang sepertinya tidak asing lagi bagiku. Hal yang sama, ketika aku berbalik memutar ke asal suara itu, aku seperti tiba-kekurangan oksigen.

Aku seperti tidak mau beranjak dari suasana ini. Tapi aku tidak membiarkan diriku terlena dalam lamunan.” Sial, mengapa aku harus bertemu dengannya kembali” gerutuku dalam hati.

 By the way tadi pagi belum sempat kenalan, karena kamu langsung pergi begitu saja. Tegasnya. Aku memang sengaja menghindarinya. Karena bisa dikatakan aku belum siap jatuh cinta untuk saaat ini. Namaku “Ai” dengan tangannya yang diulurkan padaku.

Kali ini aku tidak bisa mengelak, toh dia juga sudah tahu rumahku. Kusambut uluran tangannya. “Juminah, bisa panggil Jumi saja. Salam kenal Ka Ai” jelasku.

“Terima kasih sudah mau berkenalan,” sambungnya. “Bagaimana bisa dirimu ada di sini?” tanyaku penasaran. Aku menanyakan pada pegawai yang lain kenapa ada anak gadis duduk di depan rumahku dan ternyata kamu anaknya Pak Juhri. Lalu aku menawarkan diri untuk mengantar ayahmu pulang agar aku bisa bertemu kamu kembali. Jawabnya detail.

“Oh, jadi begitu, boleh juga” sahutku. Boleh apanya?”  tanya dia kembali. “Boleh besok-besok antar  bapak pulang lagi. Biar gak cape jalan kaki” jawabku.

“Bisa saja kamu” jawabnya sambil mencubit hidungku. Oh My God. Manusia ini benar-benar membuatku semakin salah tingkah dan mati gaya. Ah, sudah. Sekarang lebih baik pulang karena sebentar lagi magrib” kataku sambil mendorongnya ke arah di mana ia parkirkan motor.

“Kejam amat” ini aku gak ditawarin masuk dulu gitu, atau tawarin minum dulu, pintanya.

“Gak perlu” jawabku ketus.

“Kejam amat” jawabnya dengan pasang muka kesal.

 “Emang” jawabku sambil tersenyum ke arahnya.

“Ok. See you next time,” jawabnya sambil membalas senyum pul dan langsung gas motor, berlalu pergi.

BAGIAN KELIMA

APAKAH DIA SEDANG MEMBERIKU HARAPAN

 

Sudah jam 7 pagi, aku belum beranjak dari tempat tidurku. Berbaring,menatap layar ponsel. Hari ini adalah hari pertama aku pegang hp. Jari menggulir linimasa gallery. Lalu, aku berhenti pada satu foto. Seorang laki-laki berdiri tegap dengan latar langit biru tanpa awan, tersenyum tipis tanpa memandang camera. Tanpa aku sadari, aku ikut tersenyum pula.

Sesungguhnya, mungkinkah aku jatuh hati pada laki-laki ini. Siapa yang tak jatuh hati pada laki-laki ini? Dia tampan. Tapi itu bukan faktor yang utama sih. Lagi pula aku mikirnya gini. “Bukankah biasanya cowok yang cakepnya maksimal itu, dia suka mainin hati perempuan. Jawabannya tentu sangat mungkin.”

Dret.. dret… Sebuah pesan masuk menyadarkanku dari imagine yang tak berfaedah. Yang ternyata sudah hampir jam 8 pas aku buka ternyata nama Ai yang muncul.

Hy. Selamat pagi nona, how are today?

Aku sempat bingung, lalu aku balas dengan pertanyaan pula. “Bagaimana bisa kamu tahu no. Aku? dan bagaimana ceritanya ada foto kamu di hp aku?”

“Mudah bagiku nona. Kamu lupa, dari tangan siapakah kamu dapatkan hp itu?”  balasnya.

“Good job,” balasku dengan cepat dan bergegas bangun dari tempat tidur. Lalu memulai aktifitas.

***

Waktu dengan cepat berputar. Ujung senja membawa angin menari, menyisakan gundah ketika pagi menyepi sore. Kali ini aku memilih untuk sendiri dulu tanpa dibuntuti twins.

Aku duduk di pinggir jalan dataran tinggi. Cari signal guys. Heee..  Hanya beberapa langkah saja dari rumah. Gak jauh. Aku memakai celana jeans warna mocca dengan setelan kemeja hitam polos dan membiarkan rambutku  terurai dan terbuai dimakan angin lalu.

Teed.. teed… Suara klakson motor dari arah belakang yang sepertinya memang sangat disengaja. Sontak membuatku langsung berbalik badan.

“Aahh, ternyata kamu. Kamu iseng bangget sih?” Kataku dengan nada emosi.

“Ngapain sih duduk di jalan sendirian lagi,” tanyanya.

“Nunggu pangeran berkuda datang menjemput,” jawabku bercanda, diiringi tawa.

“Mari Nona kuantar kamu sampai ke depan pintu rumah,” pintanya sambil menepuk jok motor mempersilahkan aku naik.

“Cukup dengan berjalan kaki saja tuan. Terima kasih sebelumnya atas tawarannya.”

“Sayangnya ini bukan pilihan mau atau tidak nona, tapi ini adalah perintah yang tidak bisa lagi ditolak,” sedikit memaksa.

 Aku pun dengan terpaksa memenuhi permintaannya. Padahal sebetulnya tak bisa aku pungkiri bahwa aku seperti tidak mau beranjak dari motor itu.  Beberapa menit sampai.

“Habis magrib kita main catur ok.” Pintanya setelah turun dari motor.

 “Siiiaaapppp,”  jawabku.

***

“Permainan berlangsung, giliranmu,” pintanya mempersilakan padaku.

Saat aku sedang konsen memikirkan bagaimana jalannya sebuah patih agar bisa skak, laki-laki di depanku ini menepuk jidatku sambil tersenyum kecil.

“Kenapa tersenyum? Ada sesuatu yang lucu kah dari diriku?”

“Aku suka melihat pipi yang memerah seperti tomat” jawabnya.

Ya tuhan, seperti dia memang tahu betul kaalau aku sedang salah tingkah. Aku jadi semakin malu ucapku dalam hati.

“Kalau begitu kamu tau apa yang harus kamu lakukan setelah ini?”

“Maksudnya?”

“Anggap saja aku ini teman lama, karena kita bertemu cukup sampai di sini saja.”

“Aku semakin tidak paham,” sanggahnya.

“Sejak pertama kali kita bertemu aku sudah terkesan dengan dirimu. Aku terkesan dengan wangi yang kamu kenakan. Aku terkesan dengan dua mata indah di bawah alis kepalamu. Aku terpesona dengan wajahmu yang meneduhkan jiwa,” jelasku.

“Ok, lalu, masaalahnya di mana?”

“ Kamu pantas bicara seperti itu, tapi perasaan tidak bisa dimainkan. Kamu itu,ibarat senja dan jatuh hati pada senja itu sekaligus patah hati. Karena ia hadir, namun sudah di atur untuk pergi.”

“Lalu, kenaapa kamu memintaku untuk pergi?

“Setiap orang punya cara nya sendiri untuk mengatasi perasaannya,” jawabku. Dengan menahan air mata yang hampir jatuh.

“Kamu adalah perempuan aneh yang baru kaali ini aku temui,” jawabnya seraya ia mengambil sesuatu dari kantong celananya. Sebuah kalung ternyata.

Aku tidak menyangka dia bisa melakukan hal seromaantis ini. Aku pikir itu hanya ada di film. Yang ketika si laki-laki memakaikan kalung pada wanitanya.

Aku sengaja datang ke sini untuk 2 hal. Bertemu denganmu dan memberikan ini. Sambil memakaikan kalung itu di leherku.

“Tapi ternyata tak hanya itu, kamu malah menyuruhku pergi untuk selamanya, awalnya aku bertanya, apa salahku? Tapi sekarang aku paham. Kamu bukan cuma aneh tapi jugaa unik,”  jelasnya.

“Lalu kenapa inisial liontinnya huruf “S” bukan “A”? tanyaku kembali.

“Nama lengkapku Syar’i,” jawabnya.

Sikapnya  membuatku berpikir kembali. Setelah ia berlalu pergi, aku duduk dan memandangi diriku di depan cermin. Aku hanya butuh jawaban, apakah setiap perempuan yang diperhatikan lebih.

Apa itu tandanya ia sedang memberikan harapan pula?  atau mungkin hanya diriku yang terlalu baper yaa?

Ahh, apa yang sedang aku pikirkan. Dia itu tidak penting,  yang harus pikirkan yaitu orang tua dan keluarga. Ucap batinku begitu aku tersadar dari  lamunan.

***

BAGIAN KEENAM

SITUASI DAN KONDISI

 

 Satu minggu berlalu sudah, dan Kak Ai benar-benar menepati permintaanku. Yang padahal sejujurnya aku sangat merindu kedatangannya. Jam 3 pagi, aku terbangun. Kini aku ingin melihat sekelilingku. Ternyata banyak hal yang sepertinya harus aku lakukan.

Aku melihat tilas tidurku hyang hanya beralaskan tikar permadani. Tapi walau begitu, selama ini enjoy saja tidur nyenyak. Sekali-kali terbangun kalau ada tumila atau digigit nyamuk.

Yang   justru jadi masaalah itu, saat  musim hujan. Genting pada bocor, sudah beberapa kali ayah betulakn tapi memang namanya rumah sudah tua banget. Jadi ya begitu. Mungkin betul nya itu kalau di lem biru. Lempar yang dulu,ganti dengan yang baru.

Aku pandang lagi sekelilingku. Bilik-bilik yang bolongnya sudaah tidak  sewajarnya, sepertinya kalau malam pertama menikah, itu bisa jadi yang ngintip pun leluasa… hahhaha… Beberapa kali ditutup pun pake koran misalnya. Yaa back to first, kembali ke semula. Apalagi banyak adik kecil, tangannya suka nganggur.

Kupandaangi lagi tiang-tiang rumah kayu yang sebagiannya sudah banyak yang rapuh karena 2 faktor. Faktor masa dan faktor adanya hewan rayap yang suka makan kayu. Satu-satunnya cara yaa harus diganti dengan yang permanen yaitu batu bata. Hmm..

Kini pandanganku terhenti pada mereka yang semuanya terbaring. Tidur di ruang tengah. Persis seperti ikan pindang. Mereka memang jarang  tidur di kamar. Karena memang kamarnya cuma ada satu dan jarang-jarang saja adik-tidur di kamar.

Kuperhatikan wajah adik-adikku yang masih bermuka polos. Sama sekali tidak nampak beban sedikitpun. Dunia bagi masa kecil hanyalah  mainan fana yang terus membumbung. Mengitari angkasa dan membuat kita terlena akan keindahannya.

Aku pernah merasakan kebahagiaan masa kecil itu, walau mungkin hanya sebentar saja. Karena ketika aku berusia 6 tahun, aku sudah punya adik.  Lalu disusul twins/adik kembar. Sehingga aku tidak lagi memikirkan dunia bermain. Melainkan lebih menyibukkan diri bersama adik-adiku.

Kini pandanganku beralih pada orang yang telah mengandungku dan melahirkanku juga membesarkanku sampai aku sedewasa ini. Ternyata aku baru sadar bahwa kulitnya semakin menua.

Aku punya suatu kebanggaan pada ibu. Bertahun-tahun sudah rumah tangga dalam keadaan yang serba  kekurangan, hidup susah, bahkan sebagai seorang ibu pekerjaannya merangkap. Ya mengurus anak-anak, yah juga setiap hari membantu kerja untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Bahkan dengan segala keterbatasan ayah. Ibu tetap setia berada di sampingnya.

Aku masih ingat terakhir kali kami pergi ke tempat kelahiran ibu itu ketika aku lulus SD.  Bagiku, ibu adalah wanita yang kuat, sabar, setia menerima segala kekurangan ayah.

Bagaimana jika aku berada di posisinya? Memiliki suami yang jauh, terbatas lautan. Hidup serba kekurangan, aku tidak yakin aku bisa sekuat dan sesabar inovel. Karena yang paaling menyedihkan yang kurasakan saat dewasa ini adalah ketika aku harus melihat orang-orang yang aku sayangi terutama adik-adikku harus menangis hanya karena melihat orang bisa jajan sedangkan ia tidak.

BAGIAN KETUJUH

MY PARENTS

 

Aku masih dalam keadaan tafakur. Mengajak berbincang dengan hati sendiri, dengan alam, dengan kenyaataan hidup. Sekilas boleh aku bercerita tentang my parents.

Inovel  adalah bungsu anak terakhir dari 5 bersaudara dan hanya dia yang perempuan. Bahkan dia pun tidak tahu bagaimana wajah seorang ibu. Karena sudah menghembuskan nafas terakhir saat melahirkan dirinya.

Ia dibesarkan oleh kakak-kakaknya.  Setelah ia lulus sekolah dasar. Ia bingung mau melanjutkan ke mana. Apalagi ketika mendengar kabar ayahnya mau menikah lagi. Ia tidak mau pulang-pulang ke rumah.

Lalu ada salah satu gurunya yang mau mengangkatnya sebagai anak. Mau menyekolahkan dll. Tapi kakak-kakaknya tidak mengizinkan, sehingga ibu memilih jalannya sendiri merantau ke Jakarta.

Semasa hidupnya ia merasa tidak menentu dan seperti tanpa arah tujuan, ia hanya berdo’a kelak ia bersuamikan orang yang paham agama. Walau itu harus menyebrangi lautan.

Lalu bagaimana dengan ayahku?  Ayah adalah seorang anak terakhir pula dari 6 bersaudara diantara ada 4 laki-laki dan 2 perempuan. Nanun sayangnya hanya ayahlah satu-satunya diantara mereka yang pernah belajar di pesantren yaitu memperdalam ilmu keagaamaan. Namun takdir punya jalannya sendiri. Ketika ayah tak punya biaya lagi untuk melanjutkan ngajinya pada akhirnya.

Pergi ke jakarta, mencari pengalaman, dan jelasnya ya bekerja. Padahal waktu di pesantren pun ayah sudah bisa tampil di panggung. Bisa dikatakan ceramah. Belajar sambil mengamalkan. Entah apalah yang membuatnya ingin mencoba dunia baru dengan merantau ke Jakarta pula. Yang pada akhirnya bertemulah 2 makhluk tuhan yang sekarang menjadi ayah dan inovel .

Jarak tak bisa jadi pemisah. Antara Lampung dan Banten mudah dipersatukan kalau memang sudah rencana Allah dan sampai saat ini mereka tetap menjadi pasangan suami istri yang menurutku patut diacungkan jempol.

Walau kadang sedikit ada permasalahn itu hal yang wajar. Karena aku pribadi sebagai anak tertua jika aku melihat ketidak benaran. Maka aku juga harus memberitahu mereka tetap dengan etika tentunya agar tidak salah dalam bersikap.

Berbagi tak hanya  membagi rasa susah dan sakit, namun berbagi kebahagiaan selalu dengan pasangan. Itu yang patut aku jadikan contoh dari my parents. Namun mungkin tanpa mereka sadar secara tidak langsung. Mereka juga telah membuat aku tidak sembarang mengambil langkah dan keputusan. Karena menyangkut hidup,kebahgiaan yang bukan hanya untukku, tapi juga bagi mereka pula sebetulnya adalah masa depan yang harus aku persiapkan segalanya untuk mencapai target sebelum menikah.

 *** BERSAMBUNG

Tinggalkan Balasan