Awal dan Akhir Kesumat Ojhung

Terbaru46 Dilihat

Awal dan Akhir Kesumat Ojhung

Oleh : Aidi Kamil Baihaki

Komariyeh menatap anaknya lekat-lekat, penolakannya begitu kuat, “Ibu tetap tidak setuju!” 

Mat Tasan tertunduk. Tak berani dia menentang pandangan itu. Tapi tekadnya tak terbendung. “Kalaupun Bapak memang harus menderita, maka dia tak boleh sendirian!” ujarnya gemetar.

Seketika mata Komariyeh berkabut. Air suci itu mengalir perlahan dari kedua matanya.

“Cong, itu takdir. Andaikan Bapakmu bisa berbicara, dia juga akan melarangmu!” Komariyeh terisak pelahan. “Aku yakin dia tidak menyimpan dendam. Sebab sejak awal bapakmu tahu bahwa itulah resikonya permainan ojhung.”

Ah, percuma! Bahkan andaikan Komariyeh mengundang tokoh sekampung untuk memberikan pencerahan, Mat Tasan tidak akan merubah kemauan. Sudah diputuskan, dia harus memperbaiki nama besar bapaknya sebagai Jawara Ojhung. Predikat yang disandangnya sekian tahun hingga akhirnya diruntuhkan oleh Dul Mukti, tahun lalu.

Bukan saja Dul Mukti merebut gelar jawara dari Toraji, bapak Mat Tasan. Bahkan Toraji mengalami cedera parah yang mengakibatkan kelumpuhan. Ojhung adalah permainan ketangkasan tradisional. Lebih sering ditampilkan sebagai pertunjukan sekaligus ritual meminta hujan di beberapa daerah di Jawa Timur, termasuk di Desa Lamparan tempat Mat Tasan dibesarkan. 

Tapi Ojhung sebenarnya bukan sekedar permainan atau pertunjukan menghibur. Bagi para pesertanya, Ojhung adalah kancah peruntungan menaikkan nama baik dan kehormatan dengan mengadu kekuatan ilmu kanuragan. Sebab pemenang permainan ini otomatis akan disegani siapapun.

Bukan rahasia lagi jika setiap peserta menggunakan tirakat tertentu. Tak jarang beberapa peserta seperti sengaja membiarkan tubuhnya yang telanjang dada, didera sabetan manjhelin lawannya yang dilakukan sekuat tenaga, untuk memamerkan ilmu kebalnya.

Tubuh biasa, jika terkena sabetan manjhelin pasti akan terluka atau setidaknya memar. Jangan tanya sakitnya! Konon manjhelin yang digunakan sebelumnya sudah dipersiapkan dengan lelaku tertentu, agar mempunyai efek pukulan berkali lipat menyakitkan.

Ketika manjhelin disabetkan, luka berdarah sudah menjadi tontonan biasa. Di arena permainan ojhung inilah Toraji, bapak Mat Tasan mengalami kenahasan. Tubuhnya oleng saat menangkis sabetan Dul Mukti.

Entah bagaimana kejadian persisnya, tubuhnya kemudian digotong keluar arena. Seminggu dia dirawat di Rumah Sakit, dan pulang dengan status menderita kelumpuhan. Bahkan tidak bisa berbicara.

Tahun ini Mat Tasan sudah menyiapkan semua sesuatunya. Pada perhelatan permainan ojhung kali ini dia bertekad ikut untuk pertama kalinya. Tapi motif sebenarnya bukan ingin menjadi jawara, melainkan membalas dendam atas nama bapaknya. Padahal jangankan menyetujui, bapaknya malah tidak tahu niat keikutsertaan Mat Tasan.

Dul Mukti… Hari itu akan datang, Tunggulah!

Entah atas dasar restu Tuhan ataukah restu Iblis, nama Mat Tasan bersanding dengan nama Dul Mukti, demikian Bhubhuto mengumumkan.

Mat Tasan merasakan desah napasnya memburu. Kesempatan ini ibarat segunung emas.

Begitu Bhubhuto memanggil nama mereka berdua, seperti badai Mat Tasan menghambur ke tengah arena. Matanya berkilat mencari lawan.

Ternyata Dul Mukti muncul dari arah belakang Mat Tasan.

Seketika Mat Tasan mengerutkan kening melihat Dul Mukti masuk ke arena dengan tangan kosong. Tanpa tangkes, tanpa bhungkos, juga tanpa lopalo. 

“Hmm.. Sombong sekali dia”, batin Mat Tasan. Bagi orang sepertinya, musuh yang memiliki kanuragan, tanpa senjata dianggap memamerkan diri atau meremehkan orang lain.

Mungkin Dul Mukti merasa memiliki kanuragan lebih tinggi sehingga tidak memerlukan senjata. Nah, di situlah letak angkuhnya!

Bukan hanya Mat Tasan, panitia dan sekian penonton juga tak mengerti melihat tingkah laku Dul Mukti.

Tidak pernah terjadi adu tangkas antara peserta bersenjata lengkap dengan lawan bertangan kosong.

Dul Mukti menjulurkan tangan mengajak bersalaman, tapi Mat Tasan tak acuh saja.

Dul Mukti tidak memaksa bersalaman. Dia tahu emosi pemuda di depannya masih labil, beda dengan dirinya.

“Sebelum sampai ke sini, aku bertemu ibumu. Dia memintaku mengurungkan niat ikut.” ujar Dul Mukti sambil menepuk bahu Mat Tasan. “Ibumu sudah cukup memberikan alasannya.” sambungnya.

Ingin rasanya Mat Tasan langsung menyabetkan manjhelin ditangannya. Tapi itu bukan perbuatan ksatria.

Walaupun kesumatnya berkarat, dia akan melampiaskan dengan cara yang benar.

“Dendam tak boleh dipelihara!” ujar Dul Mukti terakhir kali, kemudian menepi kembali ke pinggir arena.

Bhubhuto mulai dapat menebak dan menemukan titik masalahnya. Dia mendekat dan menepuk lengan Mat Tasan.

“Cong, Mat Tasan… Dalam permainan ojhung selalu ada resiko. Semua peserta harus memahami itu! Bapakmu Toraji, juga tak sekali mencederai lawannya. Bisa kamu tanyakan Pak Kalebun, Pak Kampung Mardi meninggal setelah bertanding dengan siapa…”

Palu godam raksasa seakan memukul putus rantai pasung kesadaran Mat Tasan.

Semua diam beberapa saat. Bibir Mat Tasan terkunci.

Sebelum ini, dia hanya tahu bahwa bapaknya menjadi korban. Tapi tidak pernah tahu bahwa bapaknya pernah juga membuat korban.

Tiba-tiba manjhelin di tangan Mat Tasan terjatuh. Sekian detik berikutnya, tubuh muda itu luruh. Dengan kepala menengadah, berlutut tak bertenaga.

Baru disadari oleh Mat Tasan, panas matahari begitu terik menerpa wajahnya. 

Glosarium

Kacong = Panggilan pada anak laki-laki yang usianya terpaut jauh, seperti antara Bapak dengan Anak, atau Paman dengan Keponakan. 

Ojhung = Permainan ketangkasan memukul dan menangkis menggunakan tongkat rotan. Biasanya diiringi dengan musik Okol, salah satu alat musik tradisional Madura.

Manjhelin = Bahasa Madura, berarti rotan.

Lopalo = Sebutan untuk tongkat pemukul dalam permainan Ojhung, terbuat dari rotan.

Bhungkos = Penutup kepala, untuk melindungi bagian kepala.

Bhubhuto = Sebutan untuk wasit dalam permainan ojhung.

Tangkes = Pembalut yang biasanya digunakan di lengan kiri, alat untuk menangkis pukulan. 

Kalebun = Lurah / Kepala Desa.     

Tinggalkan Balasan