Bayang Ketakutan (2)
Oleh: Aidi Kamil Baihaki.
Menjelang akhir bulan Agustus, Kwarran Pramuka Suboh biasanya mengadakan kegiatan Persami yang bernama Tunjungsari. Acara rutin tahunan.
Aurel dipercaya untuk bergabung pada regu Pramuka yang ditetapkan sebagai utusan dari SDN 1 Gunung Malang.
Mungkin penunjukan Aurel _beserta regunya_ bisa diharapkan akan mempersembahkan piala dari beberapa lomba yang dilakukan dalam kegiatan Persami tersebut. Setidaknya Aurel diandalkan karena Ayah Aurel adalah salah satu pembina Pramuka di sekolahnya sendiri, Gugus Depan 030. Ada beberapa teori atau praktek kepramukaan yang dikuasai Aurel sebagai bekal untuk memenangkan lomba-lomba yang bersifat perorangan atau pun perwakilan regu.
Tapi sayangnya, Aurel justeru menolak kesempatan itu. Kesempatan yang sebenarnya ditunggu oleh banyak teman-temannya.
Bisa jadi, karena teman-temannya atau Kakak Pembinanya menumpukan terlalu banyak harapan pada Aurel. Harapan yang nyaris menjadi target itu malah membuat Aurel merasa terbebani. Kekuatiran kalah yang akan berujung mengecewakan harapan mereka, lebih menakutkan Aurel dari pada pengalaman belajar hidup mandiri selama 2 hari tanpa membebani orang tua.
Ayah yang memang tidak menyadari dan tidak tahu asal muasal penolakan Aurel, tidak bisa berbuat banyak.
Bujuk rayu sudah tidak mempan. Dan Aurel memang tidak mau mengungkapkan alasan ketakutannya pada si Ayah.
“Oke, Aurel tidak usah ikut Persami.” Ujar ayah.
“Yes, Oke!” Sambut Aurel senang.
“Tapi Aurel mau kan, kalau Ayah mengajak ikut menyaksikan malam api unggun?”
“Memangnya boleh?” tanya Aurel.
“Lho, siapa yang melarang? Bahkan kamu boleh juga menginap di tenda Ayah.”
Ayah sebagai salah satu panitia memang akan ikut berada di Arena Persami, membawa tenda sendiri. Ia berencana mengajak Aurel ikut berkemah pula, tapi bukan sebagai peserta. Hanya penonton saja.
Begitulah… Saat hari pertama mempersiapkan kegiatan Persami, Ayah mengajak Aurel untuk mendirikan tenda doom yang ukurannya 2 meter persegi. Cukup untuk mereka berdua.
Ayah membolehkan Aurel untuk ke mana saja saat di sana. Tidak membatasinya untuk melakukan apa pun sesuka hati. Termasuk… kadang menyelinap ke tenda teman-temannya, regu Melati, yang menjadi peserta mewakili SDN 1 Gunung Malang.
Ayah berharap Aurel tidak meminta diantar pulang hingga Persami selesai. Dan itu memang terkabul.
Ketika Persami berakhir dan mereka mulai membongkar tenda, Ayah bertanya, “Menurutmu menyenangkan tidak?”
“Senang yah, menyesal tidak ikut resmi.”
“Tak apa… Tahun depan Aurel harus ikut!”
“Siapa takut?” Jawabnya dengan yakin. Tangannya diangkat menyilang dan menempel di pelipis, menunjukkan sikap menghormat. “Siap, Bos!”
Memang, tak seharusnya anak-anak mengetahui bahwa dirinya menjadi tumpuan harapan tertentu. Dikuatirkan itu menjadi penyebab tekanan mental berlebihan.
Sebisanya kita arahkan saja mereka, anak kita. Jangan memberinya target berlebihan.
Kalaupun memang kita ingin mereka melakukan pencapaian-pencapaian tertentu, sebaiknya kita hanya melempengkan jalan dan memberikan fasilitasnya. Tidak usah menyatakan bahwa hasil akhirnya harus begini atau begitu. Karena seperti itu malah menjelmakan bayang ketakutan bagi mereka.
Biarlah anak-anak kita mengerti dengan sendirinya bahwa jalan yang ditunjukkan oleh orang tua dan gurunya ternyata berujung seperti demikian dan demikian.
Memberikan target tujuan bagi anak-anak yang minder, akan menjadi bumerang tersendiri. Pijak kakinya akan terhenti bahkan sebelum melangkah. Dan bisa jadi malah langkahnya mundur. Kabur.