Ternyata Tak Seberapa
Oleh: Aidi Kamil Baihaki
Sepupuku, Rina menangis meraung tak terkendali. Sesekali memukul-mukul lantai dengan keras. Nyaris lupa diri.
Sebagian orang ikut menangis karena iba, sebagian lainnya berusaha menenangkannya, tapi tidak berhasil.
Akhirnya kami biarkan dia melampiaskan emosinya sampai tuntas.
Sikap Rina tidak berlebihan. Memang tak mudah menerima kenyataan bahwa ibu yang sangat menyayangi dan begitu dekat dengannya tiba-tiba meninggal.
Rina pulang dari Pesantren karena ditelpon Ayahnya. Katanya, ada urusan keluarga yang sangat penting. Sementara Ayahnya masih dalam perjalanan pulang dari Tuban.
Saat perempuan yang mereka kasihi dinaza’, mereka berdua sedang tidak disampingnya.
Sengaja Rina tidak diberitahu yang sebenarnya, dikuatirkan dia akan mengalami hal di luar dugaan selama perjalanan pulang sendirian dengan naik bus.
Ibu Rina sebelumnya memang sakit, tapi tidak terlalu parah. Kondisinya tiba-tiba kritis dalam hitungan jam.
Tidak ada yang menyangka bahwa dia akan meninggal secepat itu.
Hampir 2 jam Rina meratapi kemalangannya. Akhirnya tubuhnya lemah kehabisan tenaga karena menangis.
Saat aku mengira Rina sudah mulai tenang, barulah aku mendekatinya.
Kuberikan isyarat agar orang-orang tidak terlalu berkerumun. Aku ingin berbicara dengan Rina tanpa orang lain yang ikut mendengarkan.
“Kalau kamu masih menangis, menangislah!” bisikku. “Tapi jangan seperti tadi, seperti kesurupan.”
“Kenapa Ibu meninggalkan aku, Om..” keluh Rina.
“Kenapa aku tidak diberitahu dan tidak disuruh pulang saat Ibu sedang parah-parahnya sakit?”
“Bukan begitu, Ibumu tadi pagi masih sempat menyapu di halaman. Kami tidak menyangka itu menjadi terakhir kali Ibumu bersih-bersih.”
“Kenapa nasibku begini, Om? Aku sudah rajin shalat dan berdoa, tapi kenapa masih begini?” Rina terisak lagi.
Tiba-tiba aku teringat Nita, teman Rina waktu masih SD. Seminggu yang lalu ayah dan ibunya meninggal karena kecelakaan.
Awalnya Nita juga demikian. Merutuk, meraung, berteriak, tidak terima kenyataan. Sekarang, seiring berjalannya waktu, Nita sudah lebih baik.
“Rin… Kamu merasa menjadi anak paling sedih? Paling malang?” Tanyaku.
Rina tak menyahut, dan itu kuartikan sebagai mengiyakan.
Aku keluar mencari Nita yang tadi sempat kulihat berada di teras.
Nita kuminta ikut, masuk ke kamar Rina. Di dalam kamar itu kami bertiga.
“Nita, tolong katakan pada Rina.. mana yang lebih pedih, kehilangan ibu ataukah kehilangan ayah dan ibu sekaligus?” Ujarku.
Rina terkejut!
Dia menoleh pada Nita yang matanya sembab sejak tadi. Merasa ikut prihatin atas musibah keluarga Rina.
Karena Nita malah sesenggukan, kuceritakan nasibnya pada Rina.
“Jika kematian orang tua adalah kemalangan, maka Nita lah yang paling malang!” Kataku akhirnya.
Rina menghambur memeluk Nita. Keduanya menangis! Tapi kemudian mereka saling menguatkan.
Sepertinya Rina mulai sadar bahwa kemalangannya tidak seberapa dibandingkan dengan kemalangan Nita. Bukan berarti harus mensyukuri musibah yang menimpanya, tapi ia harus kuat dan memantapkan hati bahwa dirinya bukanlah orang yang paling malang.
Masih banyak anak-anak lain yang jauh kurang beruntung.
Tuhan sudah menakarnya. Jika bersabar, maka akan ada keberuntungan sebagai balasan.