Totalitas Kebaikan
Oleh: Aidi Kamil Baihaki
Bayangkan, ada seseorang yang tidak kita kenal, tiba-tiba datang menghiba minta pertolongan yang berkaitan dengan keuangan. Apa jawaban anda?
Hampir semua jawaban akan mengatakan kita harus lebih dulu mencari tahu apakah orang itu benar-benar patut dibantu atau tidak. Kalau perlu diinterogasi. Tak jarang juga kita malah serta merta menolak.
Dulu, saya juga pernah terjebak memilih bersikap seperti itu. Berbuat baik pada seseorang karena mengenal orang tersebut. Baik itu karena mengenalnya sendiri atau juga berkat rekomendasi orang lain.
Kenapa ada sedikit persyaratan bahwa bantuan itu sebaiknya diberikan pada orang yang kita kenal?
Pernah saya berpikir bahwa normal saja jika kita membantu seseorang dan berharap orang tersebut terus mengingat kebaikan itu, hingga suatu saat dia akan membalas hutangnya pada kita. Tapi sungguh mengecewakan, orang itu seakan melupakan kebaikan kita.
Timbul pikiran, untuk apa berbuat baik terhadap seseorang jika belum tentu dia akan memberikan hal serupa pada kita? Dalam artian, berbuat baik harus mempertimbangkan apakah kebaikan kita akan dibalas olehnya?
Dan tentu saja, menolong orang yang tidak kita kenal dan juga tidak mengenal kita adalah suatu kebodohan. Begitu pendapat saya dulu.
Suatu ketika, saya dalam perjalanan pulang menumpang bus dari Malang menuju Situbondo. Uang saya hanya cukup untuk ongkos saja.
Di terminal Arjosari perut saya sakit melilit. Mungkin sakit magh saya mulai kambuh. Terpaksa saya beli nasi di warung.
Alhamdulillah, setelah makan sakitnya mulai hilang. Tapi uang yang seharusnya pas untuk ongkos transport tentu berkurang, hanya tersisa untuk setengah perjalanan saja.
Saat kondektur menanyakan tujuan, saya menjawab terminal Pasuruan. Sisa uang memang hanya cukup untuk menumpang sampai di situ.
Sampai di terminal Pasuruan, saya tidak turun dengan harapan kondektur terkecoh, dengan begitu saya mendapat tumpangan gratis hingga Situbondo.
Beberapa saat setelah keluar dari terminal Untung Surapati, kondektur mulai menarik ongkos.
Saya berpura-pura tidur, dan kondekturpun melewati saya.
Tapi akhirnya ketahuan juga ada penumpang gelap setelah si kondektur menghitung jumlah karcis dan dibandingkannya dengan jumlah penumpang.
Si kondektur menggilir dari depan menanyai siapa saja yang belum bayar. Hingga sampai juga ke giliran saya.
Karena saya tidak bisa menunjukkan karcis, si kondektur marah. Mungkin saya dianggapnya penumpang nakal. Dia mengancam akan menurunkan saya. Padahal, sungguh saya sudah menunjukkan wajah _memelas dengan_ serius bahwa saya benar-benar tidak punya uang.
Mungkin karena kadung kesal telah disibukkan dengan pencariannya terhadap saya, dia pun tidak mau berbelas kasihan.
Tiba-tiba seorang ibu _yang duduk di sebelah saya_ kemudian menyela dan menanyakan berapa seharusnya saya membayar.
Saat kondektur menjawabnya, beliau mengambil dompet dan membayarkan tiket untuk saya. Bahkan beliau masih menanyakan apakah rumah saya di pinggir jalan atau perlu naik ojek.
Ya Allah, siapakah ibu ini?
Saya melihatnya dari segi cara berpakaian, jelas bukan orang yang berlebihan uang.
Dia tidak mengenal saya, dan tidak juga sebaliknya.
Saya tidak meminta beliau untuk membayarkan ongkos. Lalu kenapa begitu ringan hati Beliau menolong saya? Bukankah sangat mungkin beliau tidak akan bertemu saya lagi, sehingga percuma saja jika beliau menolong saya dan berharap suatu saat saya akan menolongnya juga?
Ya Allah, sungguh Engkau Maha Besar.
Akhirnya saya mengerti bahwa berbuat baik tidaklah perlu mempertimbangkan apapun mengenai imbal balik.
Jika saya menolong si Fulan dengan harapan si Fulan akan menolong saya juga, maka kekecewaanlah yang akan saya dapat. Sebab belum tentu si Fulan dapat menolong saya.
Tapi jika kita yakin bahwa Allah yang akan membalas kebaikan kita, maka sebenarnya kita tak akan sakit hati andai saja kebaikan kita justru dibalas kejengkelan oleh si Fulan.
Akhirnya Allah mengajarkan pada saya bahwa berbuat baik tak perlu melihat subyeknya. Kenal atau tidak, akan dibalas atau tidak.
Sungguh Allah akan memenuhi janjinya bahwa Dialah sebaik-baiknya pembalas.
Saya membayangkan, andaikan semua orang berpikiran sama seperti cara pikir saya pada awalnya, tentu saya akan terlantar di jalan. Maka satu-satunya cara untuk sampai ke Situbondo adalah dengan cara jalan kaki.
Sungguh benar bahwa kita harus menolong orang yang kita kenal, tapi itu jangan menjadi pembatas semangat berbuat kebaikan.
Memang betul, dalam Islam menganjurkan kita bersedekah pada orang terdekat. Itu bisa berarti dekat secara jarak, atau pun dekat secara hubungan. Artinya, kita dianjurkan untuk membantu orang yang kita kenal. Selain manfaat dari bantuan itu, ada nilai silaturrahim di baliknya yang juga tidak kalah pentingnya.
Silaturrahmi memperpanjang umur, demikian bunyi suatu hadith.
Tapi anjuran bersedekah seperti di atas tidak berarti kita harus membatasi diri dalam menolong. Tak ada batasan itu. Bahkan agama pun tidak menjadi pembatasnya.