Kritik yang Cerdas Bukan Onani

Birokrasi, Politik19 Dilihat

Mempunyai sikap kritis itu bagus, karena itu adalah bentuk dari kepekaan sosial yang tidak dimiliki oleh setiap orang. Namun yang terpenting dari setiap apa yang dikritisi, dipahami terlebih dulu persoalannya, supaya kritik tersebut tidak mubazir.

Kritik yang tepat kesasarannya akan efektif, akan menjadi perhatian, tapi jika kritik tersebut tidak tepat sasaran, yang mengkritik akan seperti orang Onani, sibuk sendiri dan puas sendiri.

Ketika mengkritik sebuah kebijakan yang tidak sesuai dalam aplikasinya, yang Pertama kita cari tahu adalah, apakah kebijakan tersebut sesuai dengan konstitusi yang ada, kalau sesuai konstitusi namun tidak bagus secara aplikasinya, perlu dipertanyakan apa yang mendasari Undang-undang (UU) yang menyangkut kebijakan tersebut disetujui, siapa yang menyetujui UU tersebut diberlakukan.

Ada proses untuk menggagalkan UU yang diberlakukan, ketika UU tersebut masih dalam tahap rancangan, dalam tahap inilah yang wajib dikritisi, jangan setelah ketok palu baru sibuk mengkritisi.

Inilah bentuk kritik yang tidak tepat. Bisa saja UU tersebut direvisi lewat uji materi, tapi apakah setiap UU harus disikapi seperti itu.

Masyarakat yang kritis adalah masyarakat yang aktif dalam mengawasi penyelenggaraan negara, sikap kritis itu bukanlah cuma kelatahan, ikut-ikutan kritis tapi tidak mengerti persoalan, sok kritis tapi tidak faham apa yang dikritisi, yang seperti ini akhirnya cuma menjadi ketololan yang kritis.

Sebagai illustrasi saya akan sampaikan contoh soal aturan Mantan Napi boleh ikut Pilkada, yang sempat menjadi kehebohan, karena ada mantan Napi yang terpilih sebagai Kepala Daerah.

Secara konstitusional memang memperbolehkan seorang mantan Napi menjadi kepala daerah, terus salahnya dimana? Karena acuan Pemerintah dalam penyelenggaraan negara adalah konstitusi, selama tidak melanggar maka aturan tersebut diperbolehkan.

Padahal secara moral, memang tidak patut seseorang yang memiliki rekam jejak sebagai Mantan narapidana menjadi Kepala Daerah, karena seorang kepala daerah itu harus memiliki moralitas yang baik, bukan cacat secara moral.

Yang menjadi persoalan, kenapa Undang-undang yang menyangkut persyaratan menjadi Kepala Daerah ini bisa disetujui, siapa yang menyetujui, dan siapa yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan Undang-undang tersebut.

Sebagai masyarakat kenapa tidak mengkritisi Rancangan Undang-undang (RUU) tersebut sebelum disyahkan.

Disinilah peran masyarakat seharusnya, bukan setelah UU itu diterapkan. Mengkritik secara membabi-buta, tapi tidak mengerti tanggung jawabnya sendiri sebagai masyarakat.

Contoh soal yang lain adalah, mantan Napi tidak boleh menjadi calon Legislatif. Ini yang pernah dipersoalkan KPU, yang kebetulan direspon secara kritis oleh masyarakat dengan mengeluarkan petisi.

Akhirnya diputuskan bahwa Mantan Napi tidak boleh mencalonkan diri sebagai Anggota Legislatif.

Jadi tidak ada lagi alasan seorang mantan Napi boleh menjadi anggota Legislatif, RUU ini pun sudah diterapkan, tapi kenyataannya tetap saja ada mantan Napi yang jadi anggota legislatif pada Pileg 2019.

Banyak contoh lain dari Kritik yang tidak cerdas, kritik yang cuma asal bunyi seperti tong kosong yang nyaring bunyinya, kritik yang tidak mendasar, tidak menggunakan data, kalau menggunakan data pun tidak valid, begitu dibantah secara comprehensive tidak bisa lagi argumentatif.

Yang begini inilah yang disebut onani, cuma sibuk sendiri dan asyik sendiri, yang mengaminipun seperti ikut beronani.

Tinggalkan Balasan