29. Cidera
“Kalau kamu ditakdirkan Tuhan menjadi jodoh saya, jelas saya lebih senang daripada kamu, Laras. Saya seperti mendapatkan durian runtuh.” ucap Matt Paten sembari menatap Laras yang masih tersipu.
Laras membalas tatapan Matt Paten, “Apa maksud dari ucapan mas itu? Apakah mas menganggap beruntung berjodoh dengan aku?”
“Kira-kira begitulah maknanya Laras, karena saya yang bukan siapa-siapa berjodoh dengan artis yang cantik.” Matt Paten sedikit merendah diri.
“Mas, bukankah derajat manusia itu sama dihadapan Allah? Yang membedakan antara satu dengan lainnya adalah ketaqwaannya, bukan begitu mas?”
Matt Paten memuji pemahaman Laras, “Tidak sia sia kamu hijrah, Laras, isi kepala dan pengetahuan kamu juga semakin luas.”
Laras berdalih, bahwa dia tidak ingin sekadar hijrah. Baginya, memahami agama Islam lebih dalam adalah kewajibannya.
“Seperti yang mas pernah katakan, jangan sampai hijrah hanya sebatas penampilan. Itulah yang aku hindari mas, aku memang ingin memahami Islam lebih jauh.”
“Alhamdullillah Laras, kalau seperti itu prinsip yang kamu pegang, In Shaa Allah kamu bisa berislam lebih baik. Bukan hanya menjadi penganut agama Islam.” Matt Paten semakin yakin kalau Laras pada dasarnya adalah wanita yang baik.
“Tapi mas, akan lebih baik lagi kalau mas mau mengajarkan aku mengaji. Mas bisa datang ke rumah, kapan pun mas sempat.”
Matt Paten menghela napas sejenak. Melihat itu Laras kembali bertanya, “Mas kenapa menari napas seperti itu? Mas keberatan?”
“Saya tidak bisa membayangkan, Laras, apa bisa saya mengajar seorang gadis yang cantik seperti kamu. Bisa-bisa saya hanya menatap wajah kamu, bukan malah mengajar kamu mengaji.” kelakar Matt Paten.
Laras mencubit pinggang Matt Paten yang ada disampingnya, “Iiih.. Mas mah bikin aku kegeeran deh, mau ya mas ajarkan aku ngaji?”
“In Shaa Allah Laras, kabari saya kapan kamu sudah siap untuk belajar mengaji. Saya mau pamit pulang ya, karena nanti malam saya mau tirakat untuk mengobati abang pak Sumirat.”
“Terima kasih ya mas, sudah mau mampir ke rumah aku. Mas hati-hati ya di jalan.”
Sebelum beranjak meninggalkan rumah Laras, Matt Paten titip salam pada ayah dan ibu Laras,
“Oh ya.. Saya titip salam pada ayah dan ibu kamu ya. In Shaa Allah suatu saat saya ingin kenalan.”
“Baik mas, nanti aku sampaikan. Ayah dan ibu pasti senang kenal dengan mas.”
Matt Paten menaiki dan menghidupkan motornya, “Semoga tidur kamu malam ini lebih nyenyak ya,” canda Matt Paten sambil meninggalkan Laras di depan rumahnya.
“Aku memang akan tidur nyenyak malam ini mas,” gumam Laras dengan sumringah.
Matt Paten hatinya pun berbunga-bunga, karena dia sudah memiliki pilahan lain selain Rani. Kalaupun tidak berjodoh dengan Rani, setidaknya dia berjodoh dengan Laras.
Sebagai seorang pria yang sudah lama melajang, Matt Paten memang sudah saatnya memiliki pendamping hidup. Dia tidak pernah menduga kalau profesinya hanya seorang tukang pijat, bisa dicintai lebih dari satu wanita.
***
Di sepertiga malam, Matt Paten menunaikan sholat Tahajud. Meminta Ridho Allah untuk menunaikan tugasnya menyembuhkan penyakit pasiennya.
Kali ini pasien yang dihadapinya bukanlah sekadar sakit. Tapi, juga menjadi tempat bersarangnya iblis.
“Ya Allah, tidak ada daya upaya hamba tanpa campur tangan Engkau. Hanya Engkaulah pemilik segala kekuatan, yang mampu mengalahkan kekuatan jahat. Limpahkanlah hamba kekuatan, agar hamba mampu menjadi perantara kekuatan-Mu.”
Matt Paten juga melakukan berbagai wirid yang biasa diamalkannya sebelum mengobati pasien. Terlebih pasien yang menganut ilmu hitam.
Sepertiga malam itu dimanfaatkan Matt Paten khusus untuk bermunajat kepada Allah. Dia tidak ingin takabur dalam menjalankan tugasnya.
Keesokan paginya Matt Paten sudah siap-siap untuk menuju ke rumah pak Sumirat. Namun, sebuah panggilan telepon masuk di ponselnya.
Matt Paten mengambil ponselnya yang berada di meja makan,
“Assalamu’alaikum Rani, bagaimana kabar kamu?” sapa Matt Paten.
“Wa alaikum salam mas, alhamdulillah aku baik-baik saja mas. Hari ini bisa datang ke rumah gak?”
“Maaf Rani, saya belum bisa datang ke rumah, karena masih mengobati pasien di desa Danau Legok. Ada apa Rani?”
“Yaudah, kalau gitu setelah mas selesai mengobati pasien saja deh. Ada yang ingin aku bicarakan dengan mas.”
“Baik Rani, nanti saya kabari kalau pengobatan pasiennya sudah selesai ya.”
Setelah menutup sambungan telepon dengan Rani, Matt Paten segera menuju ke rumah pak Sumirat. Dalam perjalanan menuju ke rumah pak Sumirat, Matt Paten bertanya-tanya dalam hati, “Jangan-jangan Rani ingin membicarakan serius tentang nazar pak Armaya. Kalau seandainya dia mau menerima dijodohkan denganku, terus gimana dengan Laras?” bisik hati Matt Paten.
Sampai di rumah pak Sumirat, kedatangan Matt Paten sudah ditunggu, karena abang pak Sumirat kembali mengamuk.
“Assalamu’alaikum pak Sumirat, ada apa pak? Kok sepertinya wajah bapak cemas seperti itu?”
“Barusan abang saya ngamuk lagi mas, dia mau dobrak pintu yang saya kunci dari luar.”
“Baik pak, saya akan segera tangani. Tolong bapak buka kunci pintu kamarnya. Nanti saya akan masuk tanpa dia bisa melihat saya.”
Matt Paten dan pak Sumirat bergegas menuju ke kamar belakang. Matt Paten berpesan pada pak Sumirat, “Nanti setelah saya masuk, pintunya bapak kunci lagi saja.”
“Baik mas, terus kalau terjadi apa-apa dengan mas di dalam bagaimana?”
“In Shaa Allah tidak terjadi apa-apa pak, doakan saja semoga saya bisa menyelesaikan amanah ini.”
Pak Sumirat membuka kunci pintu kamar belakang. Matt Paten perlahan-lahan menghilangkan wujudnya dan masuk ke dalam kamar. Pak Sumirat segera mengunci pintu setelah dia yakin Matt Paten sudah di dalam.
Matt Paten melihat pria sangar abang pak Sumirat sedang bertapa. Saat Matt Paten bergerak mendekatinya, dia membuka mata dan mengawasi sekitarnya. Dia seperti merasakan keberadaan seseorang di kamar itu. Namun, dia tidak bisa melihat wujudnya.
Matt Paten semakin dekat dengan pria sangar itu, dia mengambil posisi di belakang pria tersebut. Matt Paten siap-siap untuk menyalurkan tenaga ‘Bayu Suto’ ke arah pria sangar itu. Tiba-tiba ada kekuatan yang begitu dahsyat, membuat Matt Paten terjengkang ke belakang dan terhempas ke atas meja yang ringsek seketika.
“Heii! Siapa kau!! Berani-beraninya mengusik aku!!” hardik pria itu sambil mengitari pandangannya ke sekeliling kamar.
Masih dengan agak sempoyongan, Matt Paten berusaha untuk bangkit dan berdiri. Dia mencari akal untuk melumpuhkan pria tersebut terlebih dahulu.
Matt Paten menyiapkan diri dengan ilmu ‘Naga Geni’ sebagai pagar gaib untuk membentengi dirinya. Khodam Raja Naga Geni di yakininya sangat ampuh untuk menaklukkan pria sangar tersebut.
Dengan mengucapkan Basmallah terlebih dahulu, Matt Paten melancarkan serangannya pada tersebut dari belakang.
Blassst!!
Pria itu terjerembab dan pingsan di tempat. Matt Paten memperlihatkan wujudnya dan menghampiri tubuh pria itu.
“Mas!! Ada apa? Pintunya saya buka ya!? Teriak pak Sumirat dari luar.
“Buka saja pak!!” sahut Matt Paten.
Begitu masuk, pak Sumirat kaget melihat darah yang mengucur dari kening Matt Paten,
“Mas!! Keningnya berdarah! Apa yang terjadi mas!!?
Bersambung