27. Meraba Sukma
“Tidak perlu kamu katakan apa yang ada di hati kamu, Rani, saya sudah tahu dan saya bisa rasakan saat mengusap tangan kamu tadi.” Matt Paten sengaja mengarahkan matanya pada bola mata Rani.
“Apa yang mas ketahui tentang perasaan aku?” selidik Rani.
“Untuk apa saya katakan kalau kamu sendiri tidak ingin mengatakannya, Rani? Biarlah itu menjadi rahasia kamu sendiri.”
Rani baru menyadari kalau Matt Paten punya kemampuan untuk ‘meraba sukma’. Sehingga, tidak ada yang bisa dia rahasiakan terhadap Matt Paten.
“Mas mungkin menganggap aku munafik. Tapi, perlu mas ketahui bahwa, aku sendiri tidak memahami perasaan aku sendiri.”
“Rani, ada cara untuk menghargai diri sendiri, kuncinya harus jujur pada diri sendiri. Saat kamu tidak bisa menghargai diri sendiri, maka kamu akan sulit untuk menghargai orang lain.”
Rani seakan tersadarkan oleh ucapan Matt Paten, dia semakin merasa rendah di hadapan Matt Paten.
“Apakah ada terapi yang bisa mengubah pandangan terhadap diri aku sendiri, Mas?”
“Terapinya hanya berusaha untuk membuka diri, Rani. Sudah terlalu lama kamu hanya asyik dengan diri kamu sendiri.”
Rani kembali gundah, karena dia merasa hal itu memang tidak mampu dia lakukan sendiri.
“Aku butuh mas untuk mendampingi dalam menjalankan terapi itu, mas bersedia kah?”
Matt Paten kembali menghela napas sejenak, “Baiklah Rani, soal waktunya saya belum bisa janji, kapan kita harus memulainya.
“Kenapa mas? Mas sudah mulai disibukkan oleh pekerjaan Laras, ya?” Rani menatap Matt Paten. Dia sangat berharap pada jawaban Matt Paten.
“Saya tidak pernah mau disibukkan oleh sebuah pekerjaan dari seseorang, Rani. Yang sedang saya jalankan adalah amanah Allah. Saya hanya mau disibukkan hal-hal yang menyangkut amanah Allah.”
“Pemikiran aku belum mampu mencerna apa yang mas ucapkan. Ucapan mas itu penuh falsafah, ilmuku belum cukup untuk memahaminya.”
“Begini Rani, kalau saya disibukkan oleh pekerjaan Laras, itu bukanlah Laras yang menjadi fokus saya. Tapi, saya mengerjakannya atas dasar ‘Lillahita’ala’ semata karena Allah, bukan karena Laras.”
Rani mulai memahami apa yang dikatakan Matt Paten,
“Berarti, saat menolong aku mas pun begitu ya? Bukan karena Abah atau pak Barnus?”
“Betul sekali, bahkan juga karena saya suka pada kamu, Rani.”
Matt Paten terus berusaha untuk membuka pikiran Rani. Membuang berbagai pikiran negatif yang masih bersarang dalam pikiran Rani.
“Baiklah mas, aku siap menunggu kapan pun mas bisa datang. Dan aku tidak akan mencari saat mas tidak datang.”
“Saya sudah bisa merasakan kalau kamu mulai jernih berpikir, tidak lagi dikuasai hal-hal negatif yang ada dalam pikiran kamu.”
“Mas, bisakah terapi itu dilaksanakan sambil jalan-jalan ke kota? Aku ingin sekali mas menemani aku jalan ke kota.”
“Justeru itu lebih baik Rani, karena semakin banyak di kota yang bisa kamu lihat.”
Armaya dan isterinya masih terus mengintip Matt Paten dan Rani. Mereka ingin tahu seperti apa akhir dari pembicaraan Matt Paten dan Rani.
Sebuah nada sambung masuk di ponsel Matt Paten dari nomor yang tidak di kenal,
“Hallo.. Dari siapa ini?”
“Matt Paten! Tolong saudara saya, dia kemasukan arwah leluhurnya.”
“Maaf.. Ini siapa dan dari mana?”
“Saya tetangga dari kampung sebelah, Matt, saya dapat nomor ini dari mbak Laras.”
“Baik, tolong dikirim saja alamat lengkapnya ya, saya segera ke sana.”
Matt Paten pamit pada Rani, “Rani, maaf mas ada pasien yang harus segera ditolong. Jadi mas pamit dulu ya, sampaikan salam saya pada abah dan Umi, ya”
“Baik mas, hati-hati dijalan ya mas.”
Matt Paten dan Rani berjalan berdampingan menuju ke motor Matt Paten yang di parkir di halaman depan.
“Kapan kira-kira mas bisa datang lagi?”
“Saya belum bisa janji Rani, nanti saya telepon kalau sudah bisa datang kemari.” Matt Paten menaiki motornya dan menghidupkan mesin motornya.
“Titip salam untuk abah dan Umi.” ucap Matt Paten sembari menjalankan motornya keluar halaman rumah Armaya.
Rani menatap kepergian Matt Paten sampai hilang dari pandangannya.
Matt Paten menuju ke desa Danau Legok, yang berada di sebelah utara desa Banyuaji. Dia menggunakan map untuk mendapat petunjuk arah jalan yang dituju.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih setengah jam, Matt Paten sampai di alamat rumah. Matt Paten memarkir kan motornya dan masuk ke dalam rumah.
“Assalamu’alaikum.. “ Matt Paten ucapkan salam
“Wa alaikum salam, mas Matt Paten ya.” ujar seorang lelaki yang membalas ucapan salam.
Matt Paten menyalami lelaki tersebut, “Saya Matt Paten, di mana saudara bapak yang keserupan?” tanya Matt Paten.
Matt Paten di ajak ke ruangan belakang rumah tersebut. Lelaki itu membuka pintu sebuah kamar yang sengaja di gembok dari luar.
Saat pintu terbuka, Matt Paten melihat seorang lelaki setengah baya, yang wajahnya sangat sangar. Kulitnya hitam legam seperti terbakar matahari.
“Assalamu’alaikum.. “ sapa Matt Paten dengan ucapan salam.
“Kau siapa Ki sanak!!? Mau apa kau datang kemari!!?”
Lelaki itu mendekati Matt Paten, temperamennya sangat keras.
“Saya Matt Paten Ki sanak, boleh saya bicara sebentar?”
“Kau mau bicara apa!!? Aku tidak mengenal kau!!”
Matt Paten mengulurkan tangannya untuk mengajak bersalaman. Namun, lelaki itu menepisnya.
“Tidak perlu persalaman!! Kau belum jawab pertanyaanku, apa perlu kau kemari!!”
Tidak ada yang berani masuk ke kamar itu, hanya Matt yang berani menemui lelaki itu. Lelaki itu perawakannya sangat kasar. Diajak bersalaman saja susah sekali.
Matt Paten tidak kehabisan akal, dia menghilangkan raganya seketika. Sehingga, wujudnya tidak lagi terlihat di dalam kamar itu.
“Hei bangsa!! Menghilang kemana kau!!” bentak lelaki itu dengan kasar.
Matt Paten mendekat ke arah lelaki itu, dia mengambil posisi di belakang lelaki tersebut. Matt Paten meletakkan telapak tangannya di atas kepala lekaki itu, tanpa menyentuh kepalanya.
Setelah mampu meraba Sukma lelaki tersebut Matt Paten beranjak ke luar kamar. Di depan kamar, wujud Matt Paten kembali terlihat. Dia meminta pintu kamar segera di tutup.
Matt Paten mengajak lelaki yang menghubunginya tadi untuk berbicara,
“Saudara bapak itu bukan kemasukan arwah leluhur,”
“Terus, kenapa dia bicara suara seperti arwah leluhur kami, Mas?”
“Saudara bapak itu menganut ilmu hitam, karena sajennya kurang maka dia diganggu oleh mahluk yang mengikutinya.” jelas Matt Paten.
“Apa bisa disembuhkan mas? Kami sangat terganggu dengan perilakunya, makanya kami kurung di kamar belakang.”
“Bisa pak, saya akan bersihkan raganya. Tapi, dengan begitu dia akan bersih dari ilmu hitam. Apa tidak masalah?”
Di tengah pembicaraan Matt Paten dan lelaki tersebut, sebuah ucapan salam terdengar dari depan rumah.
“Assalamu’alaikum.. “
“Wa alaukum salam.. “ balas Matt Paten.
Terlihat Laras masuk dari pintu depan dan berjalan ke arah Matt Paten dan lelaki pemilik rumah.
Bersambung