Catatan tanpa Bekas
Bimbingan
Oleh: Arfianto Wisnugroho
Ruangan itu kosong, sama sekali tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Ruangan berwarna coklat itu memiliki dua kaca bening berukuran 10×50 cm di setiap pintunya. Setiap orang yang berada di depannya dapat melihat beberapa isi ruangan melewati kaca bening tersebut. Jika dilihat dari luar, pintu ruangan terlihat gagah. Terlebih tergantung sebuah papan diatas pintu yang bertuliskan “Direktur,” membuat siapa saja akan melirik saat melewatinya.
“Wah orang penting, kira-kira siapa yang memiliki ruangan itu?” Tanya Harto pada mas Nyentrik.
Siang itu mas Nyentrik bermaksud menemui salah satu dosen dengan maksud mengkonfirmasi data. Tentunya data terkait akreditasi jurusan dimana mas Nyentrik merupakan salah satu mahasiswa yang dipercaya untuk membantu. Sebenarnya tidak hanya ruangan untuk direktur saja di gedung mereka berada saat itu. Didepan dan di samping ruang direktur masih ada wakil direktur yang bentuk, ukuran, dan properti di dalamnya sama semua. Kita dapat melihat bentuk dan ukuran ruangan tersebut sama jika berdiri di antara ruangan satu dengan yang lain. Namanya juga gedung untuk pejabat di pascasarjana, selain bagus pastinya juga bersih.
Namun itu semua bukan hal yang menjadi sorotan utama bagi mas Nyentrik. Saat melewati semua jalan di depan semua ruangan, ia selalu melihat kursi besi yang dapat memuat empat orang. Karena terletak di kiri dan kanan pintu, semua ruangan terdapat 8 tempat duduk. Yang menjadi menarik adalah banyaknya mahasiswa yang menduduki kursi tersebut. Semua memegang berkas berwarna putih dengan ketebalan untuk setiap mahasiswa tidak sama. Dapat dipastikan berkas tersebut adalah karya tulis mahasiswa. Mas Nyentrik dapat melihat bahwa hampir setiap berkas yang mereka bawa terdapat cover yang semua formatnya dapat dikatakan sama. Kurang lebih ada judul. Nama penyusun, logo universitas, dan juga jurusan masing-masing.
Mas Nyentrik juga dapat melihat beberapa mahasiswa yang sedang duduk di kursi tidak jauh darinya. Melihat hal yang menjadi ciri khas dalam dunia perkuliahan membuat mas Nyentrik untuk menikmati keadaan tersebut. Saat itu ia meminta Harto untuk duduk diam tanpa bersuara. Harto hanya mengikuti apa yang dikatakan mas Nyentrik. Seketika mereka mendengar dua mahasiswa yang sedang membicarakan dosen pembimbingnya masing-masing. Sebut saja mereka adalah Ana dan Tini. Menurut Ana, dosen pembimbingnya sangatlah ramah, santun, suka tersenuyum, dan peduli pada mahasiswa. Ana sering dikirim pesan oleh pembimbingnya jika terlambat mengirimkan revisi karya tulisnya.
Bahkan kata Ana, dosen tersebut tidak sungkan menelepon mahasiswa jika mereka terlambat mengirimkan revisi karya tulisnya. Dosen pembimbing ana ini benar-benar mengayomi menjadi seorang dosen. Karena Ana juga menyampaikan bahwa dosen tersebut sering mengumpulkan mahasiswa bimbinganya di waktu tertentu. Biasanya dilakukan di sebuah rumah makan atau café tertentu. Dari hal-hal tersebutlah kedekatan antara dosen dan mahasiswa terjalin. Meski demikian antara mereka tetap menjaga terkait batasan tertentu.
Beda lagi dengan cerita Tini, dosen pembimbingnya tidak pernah mengirimkan pesan padanya atau teman sesama bimbingan. Mereka harus aktif menemui dosen tersebut yang terkadang tempat dan posisi selalu berubah. Tini sendiri pernah mengalami hal yang tidak mengenakkan. Yakni ketika Tini mengirim pesan kepada dosen pembimbing terkait waktu luang agar Tini bisa kembali bimbingan. Dosen tersebut hanya membaca pesan dari Tini, tetapi tidak membalas sedikitpun. Karena tidak ada balasan, Tini menguirim kembali pesannya. Ia berpikir kalau pesannya tertumpuk oleh pesan lain. Setelah menunggu agak lama, Tini memberanikan diri untuk menelepon dosen karena tidak kunjung ada balasan. Berharap ada jawaban lewat telepon, tetapi telepon Tini malah di tolak. Sesaat kemudian pesan dari dosen tersebut masuk ke smartphone Tini. Inti dari isi pesan tersebut adalah Tini harus menemui langsung dosen bersangkutan.
Kalau diingat memang setiap dosen memiliki cara berbeda dalam hal membimbing mahasiswa. Mas Nyentrik sangat ingat ketika melewati di depan suatu jurusan dimana ia kuliah S-1. Ia melihat seorang dosen berhadapan dengan mahasiswa di suatu ruangan. Sedangkan mahasiswa lain harus antri di luar. Selain itu ada juga dosen yang suka agar mahasiswanya bimbingan bersama-sama.
Demikian keadaan mahasiswa saat melakukan bimbingan. Mereka akan sering bertemu dengan berbagai keadaan dosen yang bagi mahasiswa susah memahaminya. Namun yang demikian tidaklah sia-sia. Menurut mas Nyentrik, mahasiswa justru harus semangat saat mendapat perlakuan yang tidak pas menurut mereka. Dengan cara tersebutlah mahasiswa benar-benar mengerti rasa dari perjuangan. Dengan cara tersebutlah mereka dapat mengendalikan emosi. Mereka juga mampu untuk mengatur setiap waktu luang. Dengan demikian mahasiswa akan belajar bahwa suatu hal. Yakni yang saat itu menjabat direktur atau lainnya, dulu pernah mengalami hal yang sama.