HIJRAH

Fiksiana92 Dilihat

Hijrah

Hijrah

Sri Sugiastuti

“Dan barang siapa berhijrah di jalan Allah. Niscaya mereka akan mendapat di bumi ini tempat hijrah yang luas dan rejeki yang banyak…..(QS.An-Nisa 4:100)

Hijrah sebuah keputusan yang diambil untuk mengubah suatu kehidupan yang lebih baik. Siapa yang berani berhijrah di jlan Allah dan meyakininya, insyaallah akan mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat. Sekelumit kisah di bawah ini adalah kisah nyata yang dijalani hamba Allah dengan episodenya.

Pak Ardani sering dapat telegram atau telpon di sekolah yang mengabarkan bahwa Ibunya sakit. Memang akhir-akhir ini kondisi Ibu di desa sering sakit. Bila kabar tentang sakitnya Ibu datang, Pak Ardani bingung, pikirannya bercabang. Maklum dia anak tunggal. Tanggungjawab penuh kedua orangtuanya yang sudah uzur ada di pundaknya.

Terpaksa dia pamit meninggalkan tugasnya untuk menengok ibunya di desa. Dalam 3 bulan ini dia sudah 2 kali pamit sekadar ngurusi Ibunya yang sakit. Lama-kelamaan terlalu banyak izin membuatnya sungkan, kerja pun tidak tenang karena pikirannya terbagi pada Ibunya yang ke luar masuk rumah sakit. Biaya yang dikeluarkan juga banyak.

Pak Ardani mengajak istrinya Bu Pratiwi pindah tugas. Dia ingin fokus mengurusi Ibunya yang sedang sakit. Selain itu ia juga sudah jenuh tinggal 29 tahun di Jakarta. Walau statusnya Kepala Sekolah dia tidak punya apa-apa. Asetnya cuma anak istri, dan SK pegawai negeri sebagai Guru. Dia belum punya rumah, selama ini rumah masih ngontrak.

Setelah menikah mereka tinggal di “Pondok Mrtua Indah”. Bu Pratiwi yang punya gagasan tinggal di rumah orang tuanya dari pada harusmengontrak rumah. Sebenarnya mereka sempat punya sebidang tanah di Jakarta. Mereka melepas tanah itu untuk biaya pindah ke desa dan ngurus pernak-pernik kepindahan. Urusan mutasi antar propinsi yang cukup rumit dan melelahkan.

Mereka hijrah dan menempati rumah orangtua Pak.Ardani yang letakknya 15 km dari Solo. Boyongan keluarga dengan 3 anak yang usia sekolah lumayan ribet. Mereka naik kereta, sementara barang furniture diangkut dalam 1 truk penuh. Jadi lah mereka hidup berdekatan dengan orang tua demi berbakti kepada beliau, sekaligus memulai hidup baru dalam suasana baru.

Orang tua Pak Ardani yang tinggal di desa memang dari keluarga amat sederhna. Sementara istrinya Bu Pratiwi termasuk golongan menengah ke atas. Saat pindah ibunya Bu pratiwi ikut mengantar keluarga tersebut.

Terjadi keributan kecil saat mertua Pak Ardani marah besar, ia tidak siap melihat kondisi rumah besannya dimana tempat anaknya akan tinggal bersama suami dan anak-anaknya.Sambil menebak lantai sang mertua berikrar.

“ Aku tidak rela, anakku diajak hidup dalam kondisi seperti ini. Anakku sarjana, pintar, bisa cari uang, mengapa harus ikut suami yang tinggal di desa? Bagaimana karirnya, bagaimana kenyamanannya?“ Tentu saja Bu Pratiwi kaget melihat sikap ibunya yang arogan.

“ Ibu, Ibu sabar ya. Ingat Tiwi, sekarang harus patuh pada suami. Kemana suami mengajak hijrah, Tiwi harus mau. Apalagi saat ini kondisi ibu mertua sedang sakit. Doakan saja Tiwi kuat dan bisa hidup tenang di desa.” Bu Pratiwi berusaha mendinginkan suasana hati ibunya.

“ Ibu ingat, yang menginginkan pernikahan ini? Tiwi mematuhi permintaan Ibu, untuk menerima pinangan Pak Ardani yang beranak 3 itu. Ibu kasian dengan 3 anak Pak Ardani yang tidak punya ibu karena meninggal saat melahirkan anaknya yang nomer 3. Ibu juga yang meyakinkan Tiwi, bahwa semua akan baik-baik saja selama ada Ibu. Sekarang Tiwi harus mengikuti apa yang jadi keputusan suami. Maafkan Tiwi, bila belum bisa membahagiakan Ibu ya.” Bu Pratiwi mengajak ibunya bicara dengan tenang. Terlihat emosinya sudah mereda.

Masa transisi dari kota ke desa membutuhkan keikhlasan dan kesabaran yang luar biasa. Ibarat tanaman yang sudah berdiri tegak, tiba-tiba harus dicabut dan dipindah ke tempat lain. Pohon itu perlu adaptasi di tanah yang baru, daun dan rantingnya pun berguguran. Ia butuh nutrisi dan penyesuaian agar bisa tumbuh daun baru, dan akar yangmencari makanan di tanah yang baru.

Penghasilan yang diperoleh walaupun sudah mengepakkan sayap kanan kiri, sebagai guru PNS di zaman rezim Soeharto itu tidak bisa diandalakan apalagi lebih dari cukup. Ya kaji Bu Pratiwi dan Pak Ardani hanya cukup untuk makan dan kebutuhan lain selama 10 hari.

Kelangsungan hidupnya sampai tanggal berikut. Bu Pratiwi membuka usaha baru bekerjasama dengan penduduk desa setempat. Bu pratiwi mencium ada peluang untuk usaha pengrajin membuat emping mlinjo secara manual.

Bermodalkan uang pinjaman dari koperasi Bu Pratiwi memiliki rekanan pengrajin emping mlinjo. Ada 10 pengrajin yang mengambil klatak ( buah melinjo yang sudah dipisah kulitnya untuk dijadikan emping ), Bu praatiwi menerima pesanan atau dijual di pasar. Ia menekuni usaha ini cukup lama. Pesanan ramai saatjelang Idul Fitri atau banyaknya orang hajatan di sekitar desa. Merka menjadikan emping sebagai kudapan ringan sebagai teman kue dengan rasa manis.

Alhamdulillah dari usaha emping mlinjo ekonomi kel Bu Pratiwi stabil. Lalu bagaimana dengan ketiga jagoannya yang sedang masa pertumbuhan Mereka pun secara tiak langsung terkena dampak hijrah mereka. Yang paling terasaasupan gizi mereka. Bu Pratiwi harus pandai mengatur menu yang terhidang agar seimbang antara kebutuhan anak-anaknya dan dana yang dimiliki. Kebiasaan anak-anak dengan gizi tinggi dan makanan serba enak, membuat mereka harus beradaptasi dengan menu sederhana makanan yang jarang mereka nikmati

Jelas selera makan mereka berkurang. Biasanya kesukaan mereka ayam digoreng, padahal kalau menu ayam goreng beberapa potong hanya untuk sekali makan. Maka menu disiasati oleh Bu Pratiwi diganti dengan opor ayam. Tapi apa yang terjadi, mereka tidak suka, dan pilih tidak makan. Mereka jadi agak kurus. Bu Pratiwi pun sempat dipanggil Guru BP di sekolah anaknya. Ia, diminta untuk memperbaiki gizi anakku, tentu saja Bu Pratiwi sangat malu.
Ia dianggapnya sebagai seorang ibu yang tidak bisa mengurus anak, dan memperhatikan gizi mereka.

Hidup di desa jauh dari keramaian hati Bu Pratiwi tenang. Ia bisa beradaptasi dengan lingkungan. Bu Pratiwi jadi akrab denganPasar tradisional, Kegiatan PKK, kegiatan sosial arisan RT, Posyandu, dan Pengajian rutin yang biasa diadakan di masjid dekat rumah maupun door to door. Bu Pratiwi perlahan tapi pasti menikmati kehidupan di desa. Saat pulang mengajar biasanya ia, turun di pasar tradisional, mampir belanja dan menuju rumah naik andong. Melewati jalan kampung, di kanan kiri ada sawah, angin yang semilir membuat matanya ngantuk.

Tiba di rumah sudah siang biasanya ia mengecek kegiatan anak anak dan apa acaranya di sore dan malam hari, mungkin arisan, pengajian atau berkunjung ke rumah orang sakit. Kadang memenuhi berbagai undangan, ya khitanan, sepasaran bayi, peringatan seribu hari, atau yang lebih sering ada lah undangan pengantin. Karena mertuanya termasuk sesepuh dan cukup dihormati, maka hampir semua even yang ada selalu melibatkan keluarga mereka.

Bu Pratiwi sangat menikmati kehidupan di desa dan juga tempat mengajarnya yang baru. Di desa ia bisa membaur dengan lingkungan dan mereka biasa memanggilnya Bu Guru. Ketika Bu Pratiwi hijrah Pengajian ibu-ibu baru dibentuk. Anggotanya masih sedikit. Mereka biasanya memanggil Ustadz atau Ustadzah dari desa lain, yang diminta untuk mengisi pengajian tiap minggunya. Kajiannya masih kajian umum, kadang Tauhid, fikih, tafsir Al’Qur’an dan kadang hadist.

Sebelum acara inti biasanya mereka menghapal bacaan tahlil. Suatu ketika Ustadz yang biasa memberikan ceramah dan memandu hafalan tahlil juga tidak hadir, maka Bu pratiwi lah yang ditujuk untuk memimpin. Ibaratnya bak orang rabun mengajari orang buta, atau baru hapal sedikit dan masih terbata-bata. Tetapi karena mereka menganggap ku seorang guru yang serba bisa mau tidak mau aku harus menerima permintaan itu.

Dengan hati-hati, takut salah ucap Bu Pratiwi membimbing jamaah ibu-ibu untuk belajar bersama mengkaji Al Qur’an dan menghapal tahlil. Bu Pratiwi terus terang bahwa ia juga masih belajar.ya, Bu pratiwi harus belajar dan belajar lagi. Ia merasa tenang dekat dengan ibu-ibu yang sudah tua, kebanyakan buta huruf, mereka lelah seharian ada yang di pasar, di sawah atau buruh membuat emping melinjo. Tapi semangat mereka untuk belajar ngaji dan selalu dekat dengan Allah membuat hati Bu Pratiwi semakin mantap untuk berpegang teguh pada Al;’qur’an dan Hadis.

Bu Pratiwi menerawang dan ‘ ngudar rasa” pada dirinya sendiri.
“Mereka saja yang diberi rezeki dan pengetahuan terbatas bisa tetap istikamah, mengapa aku yang diberi lebih dari mereka tidak bisa bersyukur, dan kurang menerima dengan apa yang sudah aku peroleh. Aku merasa mendapat hidayah dari jamaah pengajian di desa itu. Makanya aku mulai serius belajar mengaji, yang dulu pernah kupelajari setengah-setengah, sekarang aku tuntaskan. Aku ingin mengaji dengan cara yang benar. Berusaha memahami artinya, dan mengamalkan dalam perbuatan.”

Bu Pratiwi kian hari semakin bersemangat. Ia banyak belajar sabar, syukur dan ikhlas. Ketiga kata yang mudah diucapkan tapi sulit dilaksanakan. Karena yang namanya iman itu memang pasang surut bak air laut. Kadang semangat menggebu-bebu dalam beribadah, tapi kadang tiba-tiba surut tanpa alasan.
Biasanya manusia menjadikan setan sebagai kambing hitam. Saat keimanan goyah dikatakan bahwa setanlah dalangnya. sedang intinya setan dianggap setiap saat selalu menggoda dan berusaha membuat hati jadi was-was, takut lapar, takut miskin dan takut dilecahkan oleh orang lain. Sehingga perlahan bisa tersesat semakin jauh. Dan sulit untuk menemukan jalan yang lurus, jalan yang diridai Allah.

Keputusan Pak Ardani dan Bu Pratiwi hijrah dari Jakarta ke Sukoharjo punya banyak makna dan banyak hikmah yang mereka dapatkan. Setidaknya di rumah orang tua mereka memiliki banyak ladang ibadah, di lingkungannya yang baru mereka dianggap sebagai pendatang yang bisa mencerahkan kehidupan beragama di desanya. Mengajak kebaikan, memberi lapangan pekerjaan walau pun Cuma mempekerjakan sebagian dari ibu-ibu sebagai buruh membuat emping yang dibayar layak.

Tinggalkan Balasan